Mencukur Anak Lebih Rumit!
Dulu sewaktu zaman kuliah, saya pernah mau jadi tukang cukur keliling. Hal itu dalam rangka mencari penghasilan untuk biaya hidup dan bayar uang kuliah tentu saja.
Serius, walau saya sadari pengetahuan dan keahlian saya dalam potong memotong rambut, sangatlah pas-pasan.
Biarpun saya kuliah dan menetap di kampung sendiri, yakni di Makassar, paling tidak saya punya perencanaan jadi tukang cukur keliling kampus, menawarkan potong rambut kepada rekan- rekan sesama mahasiswa.
Saya pikir, jadi tukang cukur keliling kampus itu juga mulia. Dan, halal tentu saja. Daripada ikut ajakan para senior yang aktifis senat untuk ikut-ikutan turun ke jalan, pergi demo, sementara apa yang saya teriakkan itu tak saya pahami dan kurang kumengerti.
Mending saya jadi tukang cukur keliling kampus saja. Enaknya jika dibayar, resikonya bila hanya dapat ucapan tengkyu saja. Dibayar, alhamdulillah. Enggak dibayar, ikhlas saja.
Dan saya membayangkan teman-teman mahasiswa lebih banyak ucapan terima kasihnya. Maksimal, saling mencukur.
Kan lebih bermartabat saling mencukur ketimbang saling tawuran antar fakultas! Lebih-lebih antar universitas, lebih berbahaya. Mau jadi apa generasi penerus bangsa jika suka tawuran?
Walau saya berkeinginan jadi tukang cukur keliling kampus, tapi sungguh-sungguh saya tak punya niat jadi tukang cukur keliling kampung.
Kenapa? Karena tukang cukur keliling kampung biasanya kebanyakan anak-anak yang dicukur. Mencukur anak-anak pasti lebih rumit dibanding mencukur orang dewasa. Sebab, anak-anak itu kebanyakan rewelnya. Kebanyakan geraknya. Dan tidak tenang di tempat duduk. Malah, banyak anak-anak sudah nangis-nangis sebelum dicukur.
"Tenang, Alif! Kamu lagi dicukur itu. Jangan banyak goyang, Nak!" ujar saya.