Kenapa kita tak pernah mau berkaca pada berbagai pengalaman masa lalu? Ini menyangkut soal investasi bodong, Â money game, MLM, atau apapun nama, jenis dan bentuknya. Â Muaranya yang jelas adalah selalu bikin merana dengan sejumlah kerugian yang kita alami.Â
Apapun alasannya, tabiat sebagian orang yang telah dikuasai nafsu serakah, umumnya menghendaki keuntungan setinggi langit, dengan modal seminimal mungkin --jika perlu modal dengkul!Â
Jika kita mengharap keuntungan dari modal terbatas yang kita miliki, mengapa kita tak menekuni saja bisnis, atau berinvestasi pada sesuatu  yang memiliki kepastian --setidaknya jelas harapannya,  dan  yang save, untuk melidungi diri sendiri dari kerugian. Atau,  upayakan selalu untuk memperluas wawasan tentang bisnis dan investasi yang akan kita jalankan tersebut.Â
Jika memang kita memiliki dana menganggur, cobalah untuk belajar dan memulai investasi yang benar dan mencoba berbagai peluang usaha yang baik. Jangan sampai keserakahan sesaat menjerumuskan hanya karena silau oleh tawaran muluk nan manis. Investasi logam mulia misalnya.Â
Saya pun punya pengalaman masa lalu.
Dulu, Â ada yang namanya Pentagono. Sejenis money game yang entah datangnya dari mana. Ada Kospin di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Ada Koperasi Milik Bersama di Makassar. Ada Kanjeng Dimas. Ada Pandawa. Ada berbagai jenis MLM. Ada macam-macamlah!
Semua itu sukses menyusahkan orang yang tergiur jadi investor pada akhirnya.
Racikannya pun sudah merambah ke hal-hal yang bersentuhan dengan ibadah. Lihatlah kasus First Travel! Dan, Â boleh jadi akan menimpa ribuan jemaah haji Abu Tours di Makassar yang tertunda keberangkatannnya, jika tidak ditangani dengan baik dan sesegera mungkin memenej keresahan jemaahnya itu. Toh yang dibutuhkan para jemaah adalah berangkat ke tanah suci sesuai dengan janji pihak travel. Bukan maklumat ini dan opsi itu.
Dan, sekarang bos Abu Tours sudah tersangka. Polisi menahannya pula! Jadi gimana nasib ribuan jamaah yang belum berangkat itu?
Siapa yang salah?
Yang pasti, orang Bugis Makassar bilang, "Cedde reso mega saro, ero ande tea eco."