Pemanis tanggal 14 Februari yang populer di berbagai kalangan dengan istilah Hari Kasih Sayang  kali ini, adalah penayangan perdana Eiffel... I'm in Love 2, serentak di bioskop seluruh nusantara. Saya menyempatkan diri menontonnya di Mal Ratu Indah, Makassar. Saya penasaran, sebab film pertamanya saya pernah tonton sekitar 14 tahun yang lalu, walau alur ceritanya sudah tak segar lagi di ingatan saya. Dan, saya tak musti menyaksikannya kembali untuk bisa menikmati sekuelnya ini.
Hebat, penontonnya membludak di hari pertama tayang. Saya bersyukur, masih ada satu tiket kosong, walau saya harus puas terjepit di bangku paling pinggir, agak depan pula. Di samping saya, deretan pasangan muda menyesaki ruangan teater.
Di sini saya tak akan mengulas alur cerita yang terbangun dari konflik percintaan antara Tita (Shandy Aulia) dan Adit (Samuel Rizal), yang ternyata sudah berlangsung 12 tahun terhalang dua per tiga hari perjalanan pesawat itu,  dan menuliskannya dalam sinopsis, atau menggoreskan resensi film bergenre remaja itu sekalipun. Selain karena sudah banyak  orang yang mengulas dan menuliskannya, saya bukanlah pengamat film. Saya hanya penikmat sahaja.
Yang saya mau sentil adalah; lebih kepada emosi penonton ketika menyaksikan film itu. Dan, apa motivasinya sehingga mereka berbondong-bondong memadati gedung bioskop? Saya pikir bukan hanya sekadar ingin merayakan Valentine Day bersama pasangan masing-masing. Bukan pula karena penasaran seperti saya yang ngebela-belain sendirian menonton, terselip di antara remaja yang mayoritas sebaya anak saya itu.
Saya menganggap bahwa animo remaja menyaksikan sekuel film garapan Rizal Mattovani yang tetap mempercayakan tokohnya kepada hampir seluruh pemeran dalam film sebelumnya yang mulai kelihatan menua itu --kecuali beberapa tokoh seperti Adam (Marthino Lio) dan Nanda (Shakira Alatas), terdorong karena eforia kebangkitan film-film Indonesia bertema  percintaaan remaja dengan berbagai suka dukanya, seperti Dilan 1990 yang ditonton hampir 5,5 juta orang itu. Atau AADC 2 dua tahun lalu yang begitu menghipnotis remaja Indonesia lewat akting Dian Sastro dan Nicolas Syahputra.
Mungkin pula para penonton ini telah membaca novel Eiffel... I'm in Love karya Rachmania Arunita yang begitu meremaja, kocak dan mengemaskan. Boleh jadi kesuksesan film ini sebelumnya, yang memicu antusiasisme anak-anak muda itu. Dan, mereka begitu gampang untuk menonton kembali via Youtube, sebelum menikmati sekuelnya ini.
Namun menurut saya, kekaguman terhadap Paris dengan Eiffel Tower sebagai iconnya, itu yang bikin penonton Eiffel... I'm in Love 2 begitu ramai. Di hari perdana ditayangkan. Saya yakin,taksampai separuh yang pernah berkunjung dan menyaksikan langsung Eiffel Tower. Padahal, Eiffel dan Paris yang terkenal sebagai kota romantis sedunia, tak segitu-gitu amat. Bagi saya, Paris bukanlah kota yang nyaman saat ini. Kesimpulan ini setelah saya menikmati malam tahun baru yang beku baru-baru ini di kawasan Eiffel Tower.
ZT - Makassar, 15 Februari 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H