Padahal ia sudah setahun tercatat sebagai Aparatur Sipil Negara di Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, dengan latar ijazah D1. Statusnya itu telah ia korbankan. Ia kini menempuh pendidikan penyetaraan semester satu di Wismar Hochschule, sebagai syarat untuk menjadi mahasiswa S1 di Jerman.
Ia perempuan asal Bogor, berusia 21 tahun, bernama Asisah. Saya berbincang dengannya di Netto Supermarket, tak jauh dari apartemen ala asrama, tempat tinggalnya lima bulan terakhir ini. Ia bersama rekannya, Diah dari Cerebon dan Alizah dari Garut. Ketiga gadis berhijab ini punya impian bisa mendapat pendidikan yang bermutu di Jerman, yang nantinya bisa bersaing secara global.
Saya bangga bisa selfie dengan mereka, ketika saya berkunjung ke Wismar, Jerman, bulan lalu, sekaligus menghadiri acara graduation anak saya yang telah menyelesaikan student college di Wismar Hochschule.
"Saya pernah kuliah di Trisakti, Om," ungkapnya.
"Oh, jadi di Wismar ini sudah berapa lama?" tanya saya.
"Belum lama, Om. Baru semester satu. Dua minggu lagi baru ujian semester," jawabnya.
"Hmmm...semoga sukses yah."
"Terima kasih, Om. Ini masih panjang perjuangan." Ia lalu ngobrol sama Rifqi Nafiz.
Di gerai pakaian bermerek HM, saya bersua lagi dengan beberapa anak muda hebat. Salah seorang di antaranya bernama Seyno. Saya ingat pemuda ini. Siang tadi ketemu di Masjid sederhana di Wismar, saat sholat Jum'at.
Seyno juga pernah kuliah setahun di Universitas Trisakti Jakarta. Tapi demi impian dan cita-cita, ia berupaya keras untuk bisa tembus sekolah di Jerman. Dan, ia berhasil mendapatkan student college setelah beberapa kali ikut tes.
Ia mengakui, kuliah di Indonesia khususnya di Jakarta, tak sesuai dengan hatinya nuraninya. "Mahasiswa dikit-dikit pigi demo, atau selalu diajak bikin demo! Apa yang mau dicapai?" keluhnya.
Maka ia pun bertekad meninggalkan tanah air, mencari tempat yang layak untuk kuliah. Akhirnya ia terdampar di kota kecil nan tenang di Wismar ini.
Saya hanya bilang sama meraka, "Nanti malam jam sembilan, Rifqi mau traktir kalian makan pizza."
"Siyaaap, Om," jawab mereka serempak.
Kuliah di Jerman, sesungguhnya tidak berat ongkosnya seperti Amerika, Australia dan Singapura. Yang penting ada deposit di Bank Jerman sebesar 8.500 Euro per tahun atas nama anak itu, dan berhasil mendapatkan visa student tentunya. Deposit itu juga untuk living cost si anak selama berada Jerman, yang bisa ia tarik melalui ATM maksimal 700 sebulan.
Ketika sudah ada deposit 8.500 Euro itu, maka pihak Jerman akan memberikan visa student yang berlaku selama setahun. Nah, anak-anak diberikan kesempatan selama setahun untuk bertarung mendapatkan student college. di Fase ini biasanya banyak anak yang gagal. Habis masa berlaku visanya, tapi belum juga beroleh student college. Jadi harus balik dulu ke tanah air.
Tapi yang sukses lulus dalam kurun waktu setahun itu ke student college, sisa memperpanjang visanya di kantor Imigrasi Jerman. Diurus sebulan sebelum visa tersebut kadaluarsa. Dengan syarat, deposit lagi 8.500 Euro, untuk living cost yang bersangkutan selama satu tahun ke depan.
Bisa juga --jika tak sanggup menyiapkan 8500 Euro itu-- dengan cara orang tua di tanah air membuat pernyataan melalui notaris bahwa sanggup mengirim biaya hidup ke anaknya sebesar minimal 800 Euro per bulan. Surat pernyataan di hadapan notaris itu di terjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh lembaga penerjemah yang terakreditasi. Lalu dikirim ke anak tersebut di Jerman.
Biaya sekolahnya sendiri, atau SPP kalau di Indonesia, itu tak ada, alias gratis!
Yang berat adalah tembus ke student college-nya. Lebih separuhnya anak-anak yang berjuang untuk mendapatkan student college, harus kembali ke tanah air dengan membawa kegagalan.
Beberapa anak yang saya ajak ngobrol mengaku, sulit bisa kuliah di Jerman. Harus sabar, tabah, tahan banting, belajar lebih giat dan saling tolong menolong sesama perantauan. Mereka rata-rata ikut ujian berkali-kali baru bisa tembus. Di tempat yang berbeda-beda di Jerman.
"Susah, Om. Harus mendaftar di banyak tempat. Dan yang paling penting, yang senior harus membantu yang muda, dan yang muda harus rajin bertanya kepada kakak-kakaknya," ujar Adam, Mahasiswa jurusan Mekanika Elektronik di Wismar Hochschule. Ia anak Makassar. Bapaknya Toraja, Ibunya asal Jeneponto.
Bagi saya, tergantung kemampuan sang anak dan visi orang tuanya.
Kini Rifqi Nafiz sudah kuliah di Technische Hochschule Mittelhessen—University of Applied Sciences, Giessen. Ia mengambil jurusan Social Media System, jurusan yang baru di buka dua tahun lalu, dan belum ada alumninya.
www.kompasiana.com/zainaltahir/5ad1bd78cbe523528a01e4f2/status-perjalanan-15-tak-mudah-sekolah-di-jerman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H