Ia mengakui, kuliah di Indonesia khususnya di Jakarta, tak sesuai dengan hatinya nuraninya. "Mahasiswa dikit-dikit pigi demo, atau selalu diajak bikin demo! Apa yang mau dicapai?" keluhnya.
Maka ia pun bertekad meninggalkan tanah air, mencari tempat yang layak untuk kuliah. Akhirnya ia terdampar di kota kecil nan tenang di Wismar ini.
Saya hanya bilang sama meraka, "Nanti malam jam sembilan, Rifqi mau traktir kalian makan pizza."
"Siyaaap, Om," jawab mereka serempak.
Kuliah di Jerman, sesungguhnya tidak berat ongkosnya seperti Amerika, Australia dan Singapura. Yang penting ada deposit di Bank Jerman sebesar 8.500 Euro per tahun atas nama anak itu, dan berhasil mendapatkan visa student tentunya. Deposit itu juga untuk living cost si anak selama berada Jerman, yang bisa ia tarik melalui ATM maksimal 700 sebulan.
Ketika sudah ada deposit 8.500 Euro itu, maka pihak Jerman akan memberikan visa student yang berlaku selama setahun. Nah, anak-anak diberikan kesempatan selama setahun untuk bertarung mendapatkan student college. di Fase ini biasanya banyak anak yang gagal. Habis masa berlaku visanya, tapi belum juga beroleh student college. Jadi harus balik dulu ke tanah air.
Tapi yang sukses lulus dalam kurun waktu setahun itu ke student college, sisa memperpanjang visanya di kantor Imigrasi Jerman. Diurus sebulan sebelum visa tersebut kadaluarsa. Dengan syarat, deposit lagi 8.500 Euro, untuk living cost yang bersangkutan selama satu tahun ke depan.
Bisa juga --jika tak sanggup menyiapkan 8500 Euro itu-- dengan cara orang tua di tanah air membuat pernyataan melalui notaris bahwa sanggup mengirim biaya hidup ke anaknya sebesar minimal 800 Euro per bulan. Surat pernyataan di hadapan notaris itu di terjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh lembaga penerjemah yang terakreditasi. Lalu dikirim ke anak tersebut di Jerman.
Biaya sekolahnya sendiri, atau SPP kalau di Indonesia, itu tak ada, alias gratis!
Yang berat adalah tembus ke student college-nya. Lebih separuhnya anak-anak yang berjuang untuk mendapatkan student college, harus kembali ke tanah air dengan membawa kegagalan.
Beberapa anak yang saya ajak ngobrol mengaku, sulit bisa kuliah di Jerman. Harus sabar, tabah, tahan banting, belajar lebih giat dan saling tolong menolong sesama perantauan. Mereka rata-rata ikut ujian berkali-kali baru bisa tembus. Di tempat yang berbeda-beda di Jerman.