Mohon tunggu...
Zainal Abidin El Hanifa
Zainal Abidin El Hanifa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sejarah Kebudayaan Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

saya saat ini sedang menempuh jenjang perguruan tinggi di Yogyakarta dan sedang mencoba untuk menulis di Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kemunduran Dinasti Abbasiyah: Perpecahan Dinasti hingga Politik Multi-Dimensional

20 Juni 2024   09:45 Diperbarui: 20 Juni 2024   09:45 673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dinasti Abbasiyah adalah salah satu daulah yang mewarnai silsilah kemajuan peradaban umat Islam di era klasik sampai awal masa pertengahan. Dinasti yang memusatkan peradabannya di kota Baghdad ini berdiri selama 5 abad sejak tahun 132 H sampai 656 H. Selama berdirinya dinasti ini, tidak kurang dari 37 khalifah silih berganti menjalankan estafet kekuasaan dengan model kepemimpinan dan kebijakan yang berbeda-beda. Abbasiyah sejatinya berdiri dipelopori oleh gerakan yang menginginkan adanya persamaan dan kesetaraan hak antara kaum muslim Arab dan non-Arab (mawali). 

Dalam perjalanan kekuasaannya, Abbasiyah berhasil merongrong wilayahnya hingga ke Asia Tengah, yaitu wilayah yang disebut dengan Transoxania. Sebagai dinasti yang memerintah selama 524 tahun, tentu dalam perjalanannya diwarnai oleh masa keemasan dan masa kegelapan. Pada masa kejayaannya, Dinasti Abbasiyah berhasil membawa Islam pada puncak  peradaban dunia. Abbasiyah juga melahirkan ilmuan-ilmuan muslim yang banyak menciptakan karya-karya monumental dan dirujuk oleh ilmuan barat sampai saat ini. Pusat-pusat keilmuan juga dibangun sebagai upaya untuk mendukung kajian keilmuan yang ada di Baghdad, salah satu contohnya adalah dengan hadirnya Baitul Hikmah sebagai salah satu perpustakaan terbear pada zamannya.

Akan tetapi kekuasaan Abbasiyah tidak hanya dipenuhi dengan masa kemajuan dan keemasan. Selayaknya peradaban dunia terdahulu, Dinasti Abbasiyah juga memiliki masa kegelapan dan kehancuran. Kemunduran dinasti ini tidak lepas dari kompleksitas golongan dan kepentingan yang menyelimuti perjalanan dinasti ini.

Kondisi Dinasti Abbasiyah pada Masa Kemunduran

Membahas mengenai kemunduran Dinasti Abbasiyah, maka tidak lepas dari problematika yang terjadi pada periode pertama Dinasti Abbasiyah. Periode awal Abbasiyah sebenarnya telah bermunculan gerakan-gerakan frontal yang sempat mengganggu stabilitas politik. Akan tetapi gangguan tersebut masih bisa dibendung oleh khalifah-khaifah yang berkuasa kala itu. Keberhasilan ini justru menjadikan penguasa Abbasiyah sebagai pemimpin yang tangguh dan disegani oleh rakyat serta diperhitungkan oleh lawan. Namun setelah berakhirnya periode pertama, khalifah-khalifah yang tidak cakap dalam memimpin mulai bermunculan. Mereka seakan-akan hanyalah boneka yang dikendalikan oleh entitas lain.

Pesatnya kemajuan dan peradaban yang berhasil pada periode pertama berefek pada hedon-nya kehidupan khalifah-khalifah setelahnya. Perilaku bermewah-mewahan, memperkaya diri, dan cenderung ingin terlihat mencolok dari penguasa sebelumnya mencerminkan melemahnya moral dan keimanan para khalifah. Kegemilangan harta para penguasa ini berbanding terbalik dengan apa yang nampak pada rakyat Abbasiyah. Beberapa kelompok masyarakat justru berada pada ambang kemiskinan dan keterpurukan disebabkan kesenjangan yang timbul dari beberapa masalah ekonomi. Keadaan ini mulai dimanfaatkan oleh kalangan tentara profesional asal turki yang sebelumnya telah diangkat oleh khalifah al-Mu'tasim untuk mengendalikan pemerintahan.

Keputusan al-Mu'tasim memilih orang-orang Turki dalam hal keprajuritan sendiri tidak lepas dari persaingan yang terjadi antara orang Arab dengan Persia pada masa Al-Ma'mun dan sebelumnya. Secara umum, ada dua kondisi yang terjadi pada masa kemunduran ini, yaitu banyaknya wilayah yang memisahkan diri dan membentuk dinasti serta perebutan kekuasaan yang terjadi di lingkup pemerintahan.

Source: https://www.kompas.com/stori/read/2021/04/19/182951479/kekhalifahan-abbasiyah-sejarah-masa-keemasan-dan-akhir-kekuasaan?page=all 
Source: https://www.kompas.com/stori/read/2021/04/19/182951479/kekhalifahan-abbasiyah-sejarah-masa-keemasan-dan-akhir-kekuasaan?page=all 

 1.  Dinasti-Dinasti yang Memerdekakan Diri dari Abbasiyah

Jika dirunut lebih panjang, disintegrasi politik mulai muncul di akhir masa Dinasti Umayyah. Akan tetapi kemerosotan politik antara Umayyah dengan Abbasiyah memiliki perbedaan dari lingkup sejarah. Sejak awal berdiri hingga akhir kekuasannya, Wilayah Umayyah tetap berada pada batas wilayah kedaulatan Islam. Berbeda halnya dengan kekuasaan Abbasiyah, beberapa wilayah yang dikuasai pemerintahan Islam tidak mengakui tunduk pada pemerintahannya. Misalnya wilayah Umayyah kecil di Andalusia. Beberapa juga hanya mengakui kedaulatan Abbasiyah secara nominal, artinya hubungan dengan khalifah sebatas simbolisasi dengan pembayaran upeti, seperti halnya yang dilakukan Dinasti Fatimiyah di Mesir. Hal ini disebabkan karena kontrol yang kurang dari pemerintahan pusat juga para khalifah yang menganggap bahwa pembayaran upeti sudah cukup menjadi bukti bahwa wilayah itu masih berada di bawah kekuasaan mereka.

Memusatkan perhatian pada kemajuan peradaban dan kebudayaan juga menjadi penyebab banyaknya kekuasaan yang berada di perbatasan memilih untuk memisahkan diri. Menurut Badri Yatim, ada dua model  kepemimpinan lokal yang berhasil memisahkan diri dari Abbasiyah, yaitu; pertama,  seorang penguasa di suatu daerah menghimpun kekuatan untuk melakukan pemberontakan sehingga memperoleh kekuasaan penuh, seperti halnya Idrisiyah di Maroko dan Andalusia di Spanyol. Kedua, seorang gubernur yang ditempatkan di sebuah daerah pada akhirnya memiliki kedudukan yang kuat sehingga memiliki kuasa oenuh dalam memerintah, contohnya seperti Ibrahim bin Aghlab yang memerintah di Tunisia dan berhasil mendirikan Dinasti Aghlabiyah.

Menurut pendapat Watt, keruntuhan Abbasiyah sudah terlihat sejak abad ke 9 M. Tepatnya tatkala beberapa pemimpin yang berorientasi militer mulai memasukkan prajurit-prajurit dari bangsa lain untuk memperkuat keamanan Abbasiyah. Seperti contohnya ketika Khalifah al-Mu'tasim mulai merekrut tentara professional Turki dalam sistem perbudakan. Tidak hanya itu, khalifah juga membuatkan kota khusus bagi prajurit tersebut agar tidak bercampur dengan penduduk Abbasiyah. Kemunculan tentara ini pada perkembangannya justru menjadi petaka bagi kekuasaan Abbasiyah. Hal ini diperparah dengan adanya gerakan syu'ubiyah yang bertujuan untuk menentang dominasi orang Arab dalam lingkup pemerintahan. Gerakan yang berporos pada fanatisme kebangsaan ini pada akhirnya memberikan inspirasi bagi munculnya gerakan-gerakan politik.

Beberapa gejolak politik tersebut nampaknya tidak dianggap persoalan besar oleh khalifah yang memimpin saat itu. Beberapa diantara mereka justru terlibat langsung dalam konflik kebangsaan tersebut. Beberapa bangsa yang kemudian memutuskan memisahkan diri diantaranya; Bangsa Persia (Thahiriyah di Khirasan, Samaniyah di Transoxania, dan Buwaihiyah yang sempat berkuasa di Baghdad), Bangsa Turki (Thuluniyah di Mesir, Ikhsyidiyah di Turkistan, dan Seljuk di beberpa wilayah di Bhagdad, Syiria, Irak, dan Asia Kecil), dan Bangsa Arab (Idsrisiyah di Mroko, Alawiyah di Tabaristan, dan Aghlabiyah di Tunisia). Kemunculan dinasti-dinasti ini tidak hanya dilatarbelakangi oleh perkara politik, konfrotasi antara Sunn dan Syi'ah juga turut menjadi sebabnya.

Dinasti Seljuk, source: https://bincangsyariah.com/khazanah/dinasti-seljuk-dinasti-kesatuan-suku-suku-turki-saat-dinasti-abbasiyah-melemah/ 
Dinasti Seljuk, source: https://bincangsyariah.com/khazanah/dinasti-seljuk-dinasti-kesatuan-suku-suku-turki-saat-dinasti-abbasiyah-melemah/ 

2.  Politik Multi-Dimensional dan Perebutan Kekuasaan di Pusat Pemerintahan

Faktor kedua yang menyebabkan kemunduran Dinasti Abbasiyah adalah perebutan kekuasaan yang terjadi di pusat pemerintahan. Konflik perebutan ini sebenarnya sudah terjadi pada pemerintahan Islam sebelumnya, akan tetapi perebutan kekuasaan pada masa Abbasiyah lebih kompleks dan dilatarbelakangi oleh beberapa kepentingan.

Syari'at Islam memang tidak menyebutkan bagaimana tuntunan dalam memilih seorang pemimpin. Nabi Muhammad sendiri tidak menentukan calon pengganti yang akan memerintah setelah beliau wafat. Beliau tampaknya menyerahkan masalah ini kepada kaum Muslimin sehinga pada penerapannya terdapat perbedaan di setiap terjadinya pergantian kepemimpinan. Pada masa khulafaurrasyidin sendiri terdapat beberapa metode pemilihan yang digunakan, ada yang memakai sistem demokrasi, penunjukan langsung, serta dengan membentuk badah yang ditugaskan utnuk memilih pemimpin yang sesuai dengan kriteria.

Konflik terkait pemilihan kepemimpinan sendiri pertama muncul ketika perebutan kekuasaan pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Saat itu terjadi dua peperangan besar yang terjadi antar kaum muslimin, sehingga disebut sebagai perang saudara. Perang pertama pecah dilatarbelakangi oleh keluarga Utsman yang tidak mau mengakui kekhalifahan Ali ka. dikarenakan keengganan khalifah Ali bin Abi Thalib mengusut dan menghukum dalang pembunuhan Utsman ra. Namun diluar daripada itu, Abdullah bin Zubair ditengarai menjadi penyebab perang itu berkecamuk. Keinginannya untuk berkuasa memaksa ia menghasut ibu tirinya Aisyah ra. untuk memberintak kepada pemerintahan Ali bin Abi Thalib.

Perang saudara kedua berlanjut satu tahun setelahnya antara Ali dengan pesaing politiknya yaitu Mu'awiyah. Perang yang berlangsung di daerah Shiffin ini pada akhirnya melahirkan arbitrase yang berisi kesepakatan antara pihak Ali dengan Muawiyah bin Abu Sufyah. Akan tetapi di sisi lain, kesepakatan ini akhirnya memecah kelompok Ali ka. menjadi dua, yaitu kelompok yang mendukung yang dikenal dengan syi'atul Ali  dan kelompok penentang yang disebut dengan kelompok khawari.

Konflik-konflik seperti itu sebenarnya sering terjadi pada pemerintahan Abbasiyah, terutama pada masa awal kekuasaan. Akan tetapi pada masa setelahnya disebabkan oleh khalifah yang lemah maka maka konflik-konflik lebih sering muncul. Walaupun berlatar konflik perebutan kekuasaan, akan tetapi kekuasaan khalifah sendiri tidak menjadi tujuan, hal ini dikarenakan mereka menanggap bahwa posisi khalifah adalah posisi yang sakral dan tidak boleh diambil sembarangan. Maka dari itu, tentara Turki mengambil kekuasaan dengan tujuan untuk mengontrol kebijakan khalifah sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Tidak segan terkadang mereka membunuh sang khalifah dan mengatur rekayasa sehingga dapat mengangkat khalifah lain yang dianggap bisa dikendalikan. Pada masa ini, khalifah diibaratkan layaknya sebuah boneka yang dikendalikan oleh pemegang remot. Setelah orang-orang Truki memegang dominasi pada period ke II (334 H/945 M-447 H- 1055M), kekuasaan beralih kepada Bani Buwaihi pada period ke tiga.

Bani Buwaihi berasal dari tiga orang anak Abu Syu'ja Buwaih yang bernama Ali, Hasan, dan Ahmad. Berangkat dari keluarga yang miskin, mereka memutuskan untuk merantau dan akhirnya bergabung dengan pasukan Mardawij bin Zayyar Al-Dailami. Kepiawaian mereka membuat Mardawij mengangkat Ali menjadi gubernur Al-Karaj dan dua saudaranya pada kedudukan yang penting. Dari sini kemudian Bani Buwaihi membentangkan sayapnya dan berhasil menguasai berbagai wilayahnya di daerah Persia.

Mereka pada akhirnya dapat memasuki Kota Baghdad setelah dibukakan pintu oleh Al-Mustakfa yang saat itu menjabat sebagai Khalifah Abbasiyah pada tahun 334 H. Pada saat itu, Baghdad sebenarnya sedang dilanda  kekisruhan politik akibat adanya perebutan antara wazir dan pemimpin militer. Maka daripada itu untuk mendapatkan kekuasaan, para pemimpin meminta bantuan kepada Bani Buwaih. Pada mulanya pihak Buwaih yang bermazhab Syi'ah-Zaidiyah hendak mengangkat khalifah dari keluargan Ali, namun beberapa tokoh Syi'ah-Zaidiyah berpendapat bahwa jika khalifah berasal dari keluarga Ali, maka akan menyulitkan kendali Buwaihi atas kebijakan khalifah nantinya.

Sebagaimana saat Turki mendominasi, kehadiran Bani Buwaih tak ayal membuat kekuasaan sang khalifah tinggal namanya saja. Pelaksanaan pemerintahan sepenuhnya dari kehendak Bani Buwaih. Kekacauan juga makin bertambah disebabkan pemberontakan dari kalangan Sunni atas berkuasanya Syi-ah-Zaidiyah yang dibawa Bani Buwaih.

Walaupun khalifah hanya dijadikan boneka, akan tetapi di sisi lain Bani Buwaih mampu mengangkat kembali kejayaan Abbasiyah seperti halnya pada periode pertama. Mereka berhasil menarik kembali wilayah-wilayah yang sebelumnya sempat menyatakan keluar dari kekhalifahan Abbasiyah. Pada bidang infrastruktur, Bani Buwaih banyak membangun kanal, masjid, rumah sakit, dan bangunan umum lainnya. Pada bidang keilmuan, mereka juga berhasil mengangkat kembali ilmu pengetahuan dan kesusastraan sehingga memunculkan ilmuan-ilmuan Muslim yang terkenal. Mereka di antaranya seperti al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Miskawaih, Al-Farghani, dan lain sebagainya. Kemajuan yang dicapai tidak lepas dari perkembangan pada bidang ekonomi seperti pertanian dan industri.

Kekuasaan Bani Buwaih pada pemerintahan Abbasiyah tidak bertahan lama, sepeninggalan tiga bersaudara tersebut, anak-anak mereka memperebutkan kekuasaan sebagai amir-umara. Hal ini menjadikan Buwaihi lemah dan lepas kontrol terhadap pemerintahan Abbasiyah. Persoalan bertambah ketika konflik muncul dalam tubuh militer yang berasal dari kubu Dailam dan keturunan Trurki.

Faktor eksternal yaitu gencarnya penyerangan yang dilakukan oleh Pasukan Byzantium. Selain itu, banyaknya dinasti-dinasti yang memisahkan diri  seperti halnya Dinasti Fatimiyah semakin melemahkan pengaruh Buwaihi pada tubuh Abbasiyah. Pada akhirnya kekuasaan direbut kembali oleh kalangan Sunni yang dipelopori oleh orang-orang Seljuk.

Dinasti Seljuk berasal dari beberapa kabilah kecil dari suku Ghuz yang berasal dari wilayah Turkistan. Mereka kemudian dipersatukan oleh Seljuk bin Tuqaq sehingga disebut dengan orang-orang Seljuk. Orang-Orang Ghuz bersama Seljuk bin Tuqaq bermigrasi ke daerah Transoxiana dan berada di bawah otoritas Samaniyah. Mereka masuk Islam dengan bermazhab Sunni. Mereka akhirnya berkuasa penuh saat Samaniyah akhirnya dikalahkan oleh Ghaznawiyah. Pada masa pemerintahan Thugrul Bek, Seljuk berhasil menguasai wilayah Khurasan setelah sebelumnya dapat mengalahkan Dinasti Ghaznawiyah. Sejak saat itu, Thugruk Bek memproklamirkan berdirinya Dinasti Saljuk pada tahun 432 H/1040 M.

Pada waktu yang bersamaan, Al-Bashasiri yang berorientasi Syi'ah ingin menghapus kekhalifahan dari Abbasiyah, ia kemudian memaksa Khalifah Al-Mustansir di Mesir untuk menyetujui permintaannya. Mengetahui niat tersebut, Khalifah Abbasiyah yang saat itu dipimpin oleh Al-Qaim kemudian mengirim surat kepada Thugrul Bek untuk meminta bantuan dan dukungan darinya. Permintaan ini disambut baik oleh Thugrul, kemudian ia menyurati sekutunya di Dainur dan Qarmisin untuk berangkat ke wilayah Abbasiyah. Akhirnya pada tahun 448 H, Thugrul Bek bersama orang-orang Seljuk memasuki Baghdad dan menangkap sultan terakhir Buwaihi, Malik Ar-Rahim.

Dibandingkan dengan periode Buwaihi, pada masa Seljuk khalifah kembali diberikan kekuasaan dalam memerintah, terutama dalam hal keagamaan. Meskipun memegang kuasa atas Baghdad, akan tetapi Thugrul Bek tetap memusatkan kuasanya di kota tempat orang-orang Seljuk memimpin, yaitu wilayah Ray. Sepeninggalan Thugrul Bek, pemerintahan kemudian dilanjutkan secara bergilir oleh 7 orang khalifah. Selain menguasai daerah Baghdad, Seljuk juga membangun dinasti di daerah Kerman, Khurasan, Suriah, dan Rum.

Pada masa pemerintahan Alp Arselan, terjadi peristiwa besar yang bernama Manzikart. Peristiwa ini merupakan perang yang dilakukan pihak muslim yang kala itu berjumlah 15.000 melawan Pasukan Romwi yang berjumlah 200.000. Tentara Alp Arselan akhirnya mengalahkan pasukan Romawi dan menguasai wilayah Manzikart di wilayah Asia Kecil. Alp Arselan juga berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dan mengalami kemajuan pada masa Sultan Malik Syah.

Dengan dibantu oleh perdana mentri Nizamul Mulk, Sultan Malik Syah berhasil membangun Universitas Nizhamiyah yang kelak akan menjadi model bagi seluruh Universitas yang ada di dunia. Pengembangan bidang Ilmu Pengetahuan ini juga melahirkan ilmuan-ilmuan seperti Al-Zamakhsyari, Abu Hamid Al-Ghazali, Farid Al-Din Al-'Aththar, dan sebagainya. Pemerintahan Malik Syah juga mendirikan banyak Masjid, sistem irigasi, jalan raya, dan jembatan.

Setelah pemerintahan Malik Syah, Saljuk mulai menunjukkan masa kemundurannya. Konflik internal untuk merebutkan kekuasaan mulai muncul. Hal ini mengakibatkan banyaknya wilayah yang melepaskan diri seperti Khawarizm, Ghuz, dan Al-Ghuriyah. Kekuasaan Seljuk di Baghdad akhirnya berakhir pada masa Khawarizm Syah pada tahun 590 H/ 1199 M.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun