Memusatkan perhatian pada kemajuan peradaban dan kebudayaan juga menjadi penyebab banyaknya kekuasaan yang berada di perbatasan memilih untuk memisahkan diri. Menurut Badri Yatim, ada dua model  kepemimpinan lokal yang berhasil memisahkan diri dari Abbasiyah, yaitu; pertama,  seorang penguasa di suatu daerah menghimpun kekuatan untuk melakukan pemberontakan sehingga memperoleh kekuasaan penuh, seperti halnya Idrisiyah di Maroko dan Andalusia di Spanyol. Kedua, seorang gubernur yang ditempatkan di sebuah daerah pada akhirnya memiliki kedudukan yang kuat sehingga memiliki kuasa oenuh dalam memerintah, contohnya seperti Ibrahim bin Aghlab yang memerintah di Tunisia dan berhasil mendirikan Dinasti Aghlabiyah.
Menurut pendapat Watt, keruntuhan Abbasiyah sudah terlihat sejak abad ke 9 M. Tepatnya tatkala beberapa pemimpin yang berorientasi militer mulai memasukkan prajurit-prajurit dari bangsa lain untuk memperkuat keamanan Abbasiyah. Seperti contohnya ketika Khalifah al-Mu'tasim mulai merekrut tentara professional Turki dalam sistem perbudakan. Tidak hanya itu, khalifah juga membuatkan kota khusus bagi prajurit tersebut agar tidak bercampur dengan penduduk Abbasiyah. Kemunculan tentara ini pada perkembangannya justru menjadi petaka bagi kekuasaan Abbasiyah. Hal ini diperparah dengan adanya gerakan syu'ubiyah yang bertujuan untuk menentang dominasi orang Arab dalam lingkup pemerintahan. Gerakan yang berporos pada fanatisme kebangsaan ini pada akhirnya memberikan inspirasi bagi munculnya gerakan-gerakan politik.
Beberapa gejolak politik tersebut nampaknya tidak dianggap persoalan besar oleh khalifah yang memimpin saat itu. Beberapa diantara mereka justru terlibat langsung dalam konflik kebangsaan tersebut. Beberapa bangsa yang kemudian memutuskan memisahkan diri diantaranya; Bangsa Persia (Thahiriyah di Khirasan, Samaniyah di Transoxania, dan Buwaihiyah yang sempat berkuasa di Baghdad), Bangsa Turki (Thuluniyah di Mesir, Ikhsyidiyah di Turkistan, dan Seljuk di beberpa wilayah di Bhagdad, Syiria, Irak, dan Asia Kecil), dan Bangsa Arab (Idsrisiyah di Mroko, Alawiyah di Tabaristan, dan Aghlabiyah di Tunisia). Kemunculan dinasti-dinasti ini tidak hanya dilatarbelakangi oleh perkara politik, konfrotasi antara Sunn dan Syi'ah juga turut menjadi sebabnya.
2. Â Politik Multi-Dimensional dan Perebutan Kekuasaan di Pusat Pemerintahan
Faktor kedua yang menyebabkan kemunduran Dinasti Abbasiyah adalah perebutan kekuasaan yang terjadi di pusat pemerintahan. Konflik perebutan ini sebenarnya sudah terjadi pada pemerintahan Islam sebelumnya, akan tetapi perebutan kekuasaan pada masa Abbasiyah lebih kompleks dan dilatarbelakangi oleh beberapa kepentingan.
Syari'at Islam memang tidak menyebutkan bagaimana tuntunan dalam memilih seorang pemimpin. Nabi Muhammad sendiri tidak menentukan calon pengganti yang akan memerintah setelah beliau wafat. Beliau tampaknya menyerahkan masalah ini kepada kaum Muslimin sehinga pada penerapannya terdapat perbedaan di setiap terjadinya pergantian kepemimpinan. Pada masa khulafaurrasyidin sendiri terdapat beberapa metode pemilihan yang digunakan, ada yang memakai sistem demokrasi, penunjukan langsung, serta dengan membentuk badah yang ditugaskan utnuk memilih pemimpin yang sesuai dengan kriteria.
Konflik terkait pemilihan kepemimpinan sendiri pertama muncul ketika perebutan kekuasaan pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Saat itu terjadi dua peperangan besar yang terjadi antar kaum muslimin, sehingga disebut sebagai perang saudara. Perang pertama pecah dilatarbelakangi oleh keluarga Utsman yang tidak mau mengakui kekhalifahan Ali ka. dikarenakan keengganan khalifah Ali bin Abi Thalib mengusut dan menghukum dalang pembunuhan Utsman ra. Namun diluar daripada itu, Abdullah bin Zubair ditengarai menjadi penyebab perang itu berkecamuk. Keinginannya untuk berkuasa memaksa ia menghasut ibu tirinya Aisyah ra. untuk memberintak kepada pemerintahan Ali bin Abi Thalib.
Perang saudara kedua berlanjut satu tahun setelahnya antara Ali dengan pesaing politiknya yaitu Mu'awiyah. Perang yang berlangsung di daerah Shiffin ini pada akhirnya melahirkan arbitrase yang berisi kesepakatan antara pihak Ali dengan Muawiyah bin Abu Sufyah. Akan tetapi di sisi lain, kesepakatan ini akhirnya memecah kelompok Ali ka. menjadi dua, yaitu kelompok yang mendukung yang dikenal dengan syi'atul Ali  dan kelompok penentang yang disebut dengan kelompok khawari.
Konflik-konflik seperti itu sebenarnya sering terjadi pada pemerintahan Abbasiyah, terutama pada masa awal kekuasaan. Akan tetapi pada masa setelahnya disebabkan oleh khalifah yang lemah maka maka konflik-konflik lebih sering muncul. Walaupun berlatar konflik perebutan kekuasaan, akan tetapi kekuasaan khalifah sendiri tidak menjadi tujuan, hal ini dikarenakan mereka menanggap bahwa posisi khalifah adalah posisi yang sakral dan tidak boleh diambil sembarangan. Maka dari itu, tentara Turki mengambil kekuasaan dengan tujuan untuk mengontrol kebijakan khalifah sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Tidak segan terkadang mereka membunuh sang khalifah dan mengatur rekayasa sehingga dapat mengangkat khalifah lain yang dianggap bisa dikendalikan. Pada masa ini, khalifah diibaratkan layaknya sebuah boneka yang dikendalikan oleh pemegang remot. Setelah orang-orang Truki memegang dominasi pada period ke II (334 H/945 M-447 H- 1055M), kekuasaan beralih kepada Bani Buwaihi pada period ke tiga.
Bani Buwaihi berasal dari tiga orang anak Abu Syu'ja Buwaih yang bernama Ali, Hasan, dan Ahmad. Berangkat dari keluarga yang miskin, mereka memutuskan untuk merantau dan akhirnya bergabung dengan pasukan Mardawij bin Zayyar Al-Dailami. Kepiawaian mereka membuat Mardawij mengangkat Ali menjadi gubernur Al-Karaj dan dua saudaranya pada kedudukan yang penting. Dari sini kemudian Bani Buwaihi membentangkan sayapnya dan berhasil menguasai berbagai wilayahnya di daerah Persia.