Mohon tunggu...
Zainal Abidin El Hanifa
Zainal Abidin El Hanifa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sejarah Kebudayaan Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

saya saat ini sedang menempuh jenjang perguruan tinggi di Yogyakarta dan sedang mencoba untuk menulis di Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jamaluddin Al-Afghani: Tokoh Pembaharu Islam Pertama

20 Juni 2024   07:13 Diperbarui: 20 Juni 2024   09:38 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jamaluddin Al-Afghani, source: https://alif.id/read/safa/rekonstruksi-nalar-pemikiran-jamaluddin-al-afghani-b241051p

  • Biografi Jamaluddin Al-Afghani

Kebangkitan Eropa pasca renaissance ternyata tidak hanya berpengaruh di wilayah Eropa saja. Sejak kemunculan ideologi modernisme, maka muncul pula tokoh-tokoh yang berupaya untuk menyebarkan pengaruh ideologi ini sampai ke wilayah-wilayah Islam seperti Mesir, Turki, dan lainnya. Modernisme menjadikan bangsa Eropa mengalami kemajuan pesat hampir disetiap lini kehidupan. Hal ini kemudian memunculkan kesadaran negara-negara Islam yang merasa sudah sangat jauh tertinggal. Sehingga beberapa tokoh-tokoh muslim pembaharu mulai bermunculan.

Akan tetapi perlu kita cermati bahwa upaya pembaharuan dan kebangkitan yang terlihat di dunia Islam memiliki corak yang berbeda dengan yang terjadi di Eropa. Bila mana di Eropa kebangkitan dilakukan oleh hampir seluruh lapisan masyarakat, maka yang terjadi di dunia Islam tidaklah sama. Pembaharuan atau kebangkitan yang dilakukan di dunia Islam hanya dilakukan oleh segelintir orang dan cenderung bergerak sendiri. Tidak hanya itu corak serta pola pembaharuan masing-masing dari mereka cenderung berbeda. Hal inilah yang kemudian menyebabkan pembaharuan di dunia Islam cenderung lambat dan stagnan.

Salah satu tokoh pembaharu Islam periode pertama adalah Jamaluddin Al-Afghani. Jamaluddin Al-Afghani dilahirkan pada tahun 1838 M. Beliau dari garis keturunan ayah bersambung kepada silsilah Sayyidina Hussein bin Ali bin Abi Thalib, sehingga digelari sebagai sayyid. Mengenai tempat kelahiran beliau, terdapat 2 versi. Pertama,  ada yang mengatakan bahwa Jamaluddin lahir di kota As'adabad, Afghanistan. Al-Afghani sendiri mengaku bahwa ia lahir di kota ini. Pendapat kedua  mengatakan bahwa  ia dilahirkan di kota Mazandaran, Irak. Pendapat yang kedua diperkuat dengan pola pemikirannya yang banyak mengambil sumber dari Filsafat Islam yang tumbuh subur di pendidikan Syi'ah kala itu.

Di usia belasan tahun, Al-Afghani sudah mampu menghafal Al-Qur'an dan menguasai berbagai disiplin ilmu, baik ilmu agama seperti ilmu tasawuf dan syari'ah maupun ilmu umum misalnya matematika dan filsafat. Selama di tempat kelahirannya, ia banyak belajar pada ulama dan ilmuan Syi'ah. Akan tetapi meskipun ia belajar pada ulama Syi'ah, ia pada dasarnya merupakan seorang alim Sunni. Menurut Murthada Mutaharri, pengetahuan luas yang Al-Afghani miliki menjadikannya tidak fanatik dalam bermazhab, ia bahkan tidak ingin terjebak dalam jurang perdebatan antar mazhab.

Setellah mengemban pendidikan di tempat keahirannya, Al-Afghani melanjutkan belajarnya ke India ketika berusia 19 tahun. Di negara inilah ia kemudian mulai berinteraksi dengan pemikiran Barat. India yang saat itu diduduki oleh kolonial Inggris secara tidak langsung menjadikan Al-Afghani sebagai tokoh Islam yang anti terhadap Inggris. Sebagai orator ulung, ia berhasil membangkitkan semangat para pemuda India untuk bangkit dari belenggu penjajahan. Dengan kepandaiannya dalam berorator, ia bertekad untuk berkeliling dunia dan menebarkan semangat persatuan Islam.

Pada usia 22 tahun, ia memutuskan untuk pergi ke Afghanistan, di sini ia mendapatkan posisi yang strategis di pemerintahan. Al-Afghani sempat diangkat menjadi penasihat bahkan sebagai perdana menteri. Akan tetapi setelah Inggris menguasai Afghanistan, ia kemudian dilengserkan dan terpaksa pergi. Pengembaraan dilanjutkan ke kota Istanbul. Di  sana ia berusaha mendekati petinggi pembaratan dan sekularis. Upaya ini dilakukan sebagaimana cita-citanya untuk membangun persatuan umat Islam. Sejak awal, trobosan yang dilakukan Afghani mengalami penolakan dari kalangan ulama Utsmani. Puncaknya ia akhirnya diusir dari Istanbul karena pemikirannya dituduh menyimpang dari agama.

Di tahun 1871 M Al-Afghani akhirnya berpindah ke Cairo, Mesir. Perpindahannya kali ini ia lakukan untuk memfokuskan diri pada bidang keilmuan, dan berusaha menjauhi dunia politik. Ia membuka kelas bagi semua kalangan seperti mahasiswa, hakim, dan dosen. Diantara muridnya yang kemudian menjadi tokoh pembaharu yaitu Muhammad Abduh dan Sa'ad Zaghlul.

Masuknya kolonial Inggris ke pemerintahan Mesir akhirnya membangkitkan semangat Al-Afghani untuk kembali ke dunia perpolitikan. Demi memuluskan kehendak tersebut, ia akhirnya bergabung dalam kelompok Freemason Mesir. Upayanya ini mendapat dukungan dari rakyat Mesir, ia pun membentuk partai nasional yang dinamakan Hizbul Wathan. Pembentukan partai ini sebagai langkah untuk memperjuangkan suara rakyat Mesir. Salah satu rencana dari partai ini adalah menggulingkan pemerintahan Raja Khedewi Ismail. Akan tetapi karena mendapat bantuan dari Inggris, Khadewi akhirnya berhasil mengusir Al-Afghani dari Mesir. Selama 8 tahun tinggal di Mesir, Al-Afghani membawa pengaruh yang cukup besar bagi rakyat Mesir. Kehadirannya terbukti melahirkan kaum pembaharu yang berupaya membangun gerakan berfikir di Mesir.

Dari Mesir ia berpindah ke kota Paris Prancis. Di sini ia bertemu dengan orang-orang Muslim dari berbagai belahan dunia. Pertemuan ini tidak ia sia-sakan, Al-Afghani kemudian membentuk  perkumpulan yang bernama al-'Urwah al-Wusqa. Perkumpulan ini berusaha menyebarkan pemikiran mereka lewat majalah yang diterbitkan. Akan tetapi langkah ini terhenti tatkala dunai Barat melarang penyebaran majalah ini ke negara Muslim yang saat itu mereka kuasai.

Pada tahun 1892 M, Sultan Abdul Hamid mengundang Al-Afghani untuk tinggal ke Istanbul. Undangan ini bukanlah tanpa sebab, kala itu Utsmaniah berada di ambang tekanan negeri barat. Maka dari itu Sultan Hamid mengundang Al-Afghani untuk memperkuat posisi politiknya. Akan tetapi Al-Afghani yang memegang pemikiran-pemikiran demokratis  tentang pemerintahan  berbanding terbalik dengan Sultan Abdul Hamid yang menginginkan pemerintahan yang otokrat. Abdul Hamid akhirnya menghawatirkan jika nanti pemikiran-pemikiran Al-Afghani mampu mempengaruhi rakyat Utsmani. Akhirnya sampai Al-Afghani wafat di tahun 1897 M, ia menjadi tahanan sultan Hamid dengan tidak boleh keluar dari Kota Istanbul.

  • Pemikiran Jamaluddin Al-Afghani

Jamaluddin Al-Afghani merupakan intelektual muslim yang hadir untuk menegakkan nasionalisme dan patriotisme Islam. Berangkat dari keprihatinannya terhadap kemunduran Islam, ia kemudian mengembangkan pemikiran mengenai ilmu pengetahuan secara lebih rasional dan meninggalkan segala aspek kekakuan. Upaya lain yang dilakukan adalah melawan segala bentuk dominasi dan imperialisme Barat. Demi melawan segala bentuk dominasi dan imperialisme Barat, Al-Afghani menggunakan media dakwah maupun tulisan yang disebar ke berbagai belahan negara. Selain itu di setiap negara yang disinggahi, Al-Afghani konsisten dengan seruannya untuk  mewujudkan negara yang tumbuh berdasarkan semangat nasionalisme. Adapun nasionalisme yang dimaksud adalah nasionalisme yang berdasarkan kesamaan budaya dan bahasa.

Ketika berada di India, Al-Afghani menghembuskaan semangat nasionalisme kepada kaum muda yang saat itu negaranya  sedang mengalami krisis karena kolonialisasi Inggris. Di Mesir ia membuka kelas diskusi yang diikuti berbagai kalangan akademis, bisa dibilang Mesir adalah negara yang mendapat pengaruh yang cukup besar dari pemikiran Al-Afghani. Ketika berada di Paris, ia mengumpulkan pemuda muslim dan membentuk kelompok Urwatul Wustqa. Kelompok ini banyak menerbitkan majalah-majalah seruan kepada setiap muslim untuk meninggalkan fanatik kelompok dan bersama-sama menumpas penjajahan Barat.

Selama memperjuangkan semangat persatuan Islam, Al-Afghani banyak menerbitkan karya tulis dan beberapa di antaranya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seperti:

  • Hakikati Madhhabi Naychari wa Bayani Hali Naychariyan (kritik dan penolakan terhadap Materialisme)
  • Refutation of the Materialists (pembelaan terhadap agama)
  • al-Mu'assasah al-Arabiyyah li ad-Dirasah wa an-Nasyr
  • al-'Urwah al-Wusqa (ikatan yang kuat)
  • Makidah asy-Syar'iyah (tipu muslihat orientalis)
  • Diya al-Khafiqain (hilangnya timur dan barat)
  • Ma Ya'ulu laihi Amr al-Muslimin (hal-hal yang melemahkan orang-orang Islam)

Al-Afghani dalam perangko tahun 1967, source: https://www.shutterstock.com/id/image-photo/stamp-depicts-jamaluddin-alafghani-mark-afghanistan-14131057
Al-Afghani dalam perangko tahun 1967, source: https://www.shutterstock.com/id/image-photo/stamp-depicts-jamaluddin-alafghani-mark-afghanistan-14131057
  •  Pan-Islamisme

Salah satu sumbangsih Al-Afghani dalam upayanya untuk memajukan Islam yaitu idenya mengenai Pan-Islamisme. Al-Afghani sejatinya ingin mempersatukan umat Islam dari segala penjuru dunia, baik di negara yang merdeka maupun di sebuah negara jajahan. Ikatan ini didasarkan pada solidaritas akidah Islam, yang mana berupaya untuk membina kerukunan, kesetiakawanan, dan persatuan umat Islam dalam berjuang menentang segala bentuk penjajahan. Mereka akan bermusyawarah untuk merumuskan sistem pemerintahan yang baru sesuai tuntunan Islam.

Perlu digarisbawahi bahwa Pan-Islamisme tidak bermaksud mempersatukan umat Islam dalam satu kesatuan pemerintahan. Akan tetapi diharapkan agar setiap muslim memiliki rasa tanggungjawab dan solidaritas dalam mengupayakan tercapainya kesejahteraan, kemajuan, dan kemakmuran bersama. Al-Afghani yakin bahwa kebangkitan umat Islam perlu untuk segera dilakukan dengan menyatukan presepsi yakni kembali kepada ajaran Islam yang berasal dari Al-Qur'an dam Sunnah.

Secara garis besar Pan-Islamisme memiliki dua tujuan utama, yaitu membebaskan umat Islam dari kolonialisme Barat serta menentang bentuk pemerintahan yang dzhalim. Dilihat dari perjalanan politiknya, Al-Afghani memang sangat anti terhadap bentuk kolonialisme Barat, walaupun tetap mengakui keunggulan mereka dalam bidang teknologi. Bisa dibilang bahwa Al-Afghani adalah pembaharu muslim pertama yang menggunakan term Islam dan Barat sebagai dua fenomena yang selalu bertentangan, yang mana harus dijadikan patokan berfikir kaum muslimin agar bisa terbebas dari eksploitasi Barat.

Pemikiran Pan-Islamisme Al-Afghani kemudian diteruskan oleh dua orang muridnya yang bernama Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Hasilnya, buah pemikiran ini mampu ditransformasikan oleh kedua tokoh tersebut menjadi sebuah gerakan nyata. Terbukti bahwa beberapa gerakan ini memantik munculnya tokoh pembaharu Islam modern masa ini misalnya Hasan al-Bana dengan gerakan Ikhwanul Muslimin, Abul A'la dengan Jam'atul Islam, dan juga di Indonesia yakni Muhammad Natsir dengan Masyumi.

Tokoh-tokoh Muslim sepakat bahwa Al-Afghanilah yang mulai menghembuskan pembaharuan di kalangan umat Muslim yang hidup di tengah-tengah modernism dan kekangan Barat. Dia pula yang melahirkan upaya-upaya pembebasan dan konstitusional yang dilakukan di negara-negara Islam setelah zamannya. Pendidikan yang ia dapat di Eropa kemudian Al-Afghani gabungkan dengan ilmu-ilmu tradisional. Semua hasil pemikirannya disebarkan melalui makalah-makalah politik yang membangkitkan semangat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun