[caption id="attachment_84387" align="alignright" width="298" caption="Ilustrasi/Admin (tribunkaltim.co.id)"][/caption] Sore itu anak-anak mulai bermain di sepanjang jalan gang kampung. Meski tempatnya begitu sempit, namun kecerian mereka tidak berkurang sedikitpun. Ada yang duduk-duduk sambil bercanda, ada pula yang berlari-lari dengan temannya. Sehingga suasana begitu meriah dengan kecerian mereka. Berbeda dengan Nanik (13 th), sore itu lebih memilih duduk-duduk dirumahnya, dekat Jendela yang berdinding gedheg, dinding yang terbuat dari anyaman bambu, yang mulai berlubang. Semenjak pagi tadi, Nanik harus bekerja di sebuah pabrik konveksi. Ia baru pulang sore hari, dan sampai di rumah pukul lima. Sebenarnya jarak antara rumah dan tempat kerja tidak begitu jauh, hanya lima belas menit dari rumahnya, bila naik sepeda. Namun kerja hari ini baginya cukup melelahkan, sehingga harus memilih istirahat dirumah daripada bermain dengan teman-teman. Sebenarnya Nanik ingin sekali melanjutkan sekolah SMP yang telah terputus. Namun tahun ini, orang tuanya masih tidak mampu membiayai Nanik untuk melanjutkan Sekolah yang berada di dekat Kecamatan. Baginya sekarang ini pilihan satu-satunya adalah bisa bekerja dengan sebaik-baiknya. Awal mula bekerja, Ia diajak oleh tetangganya, bernama Surti (25 th) untuk mendaftar di perusahaan konveksi. Menurut informasi, perusahan konveksi yang saat ini mempekerjakan seratus orang tersebut membutuhkan tenaga pengepakkan barang. Saat mendaftar, Nanik dan Surti harus terlebih dahulu menemui Satpam perusahaan. Pada saat itu, Nanik dan Surti ditemui oleh kepala Satpam, katanya, untuk bisa diterima diperusahaan tersebut harus membayar dua puluh lima ribu rupiah per-orang. Tanpa pikir panjang, Surti-pun menyerahkan uang ke Kepala Satpam. Kemudian Kepala satpam memberitahukan, kalau esok pagi Surti dan Nanik bisa langsung kerja. Upah Rendah Bekerja sebagai buruh, belum pernah terlintas sama sekali dalam pikiran Nanik selama ini. Baru semenjak orang tuanya di PHK sebagai buruh pabrik, perekenomian keluarganya mulai kacau. Saat ini Bapak Narti bekerja sebagai penarik becak, sedangkan ibunya bekerja sebagai pedagang pasar. Bagi keluarga yang berjumlah lima orang ini, hasil yang didapat sebagai penarik becak atau pedagang pasar sangatlah tidak bisa diharapkan sama sekali. Maka tidak heran, jika sebagai anak yang paling tertua, Narti harus terpaksa bekerja, guna membantu meringankan beban orang tuanya. Bagi orang tuanya, Narti bisa bekerja di Konveksi adalah sebuah anugerah. Sebab dengan bekerja di perusahaan, sedikit banyak memberikan tambahan pendapatan bagi keluarga, meski tidak menyelesaikan persoalan kemiskinan yang dihadapinya. Kenyataannya, selama bekerja di Perusahaan koveksi tersebut, upah yang diterima Narti hanyalah Rp. 500.000 per bulan. Tentunya ini masih jauh dari standart upah yang layak. Berdasarkan ketentuan yang ada sekarang, standart upah di Kota Surakarta sebesar Rp. Rp 826.252 per bulan, mengacu pada surat keputusan (SK) Nomor 561.4/69/2010 tentang Upah Minimum 35 kabupaten/kota di Jateng 2011. Meskipun SK tersebut sempat mendapat protes dari serikat buruh, karena dianggap terlalu rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan layak buruh, yang seharusnya Rp 835 ribu/bulan. Namun bagi Pemerintah Propinsi, pepatah "anjing menggonggong, kafilah berlalu" masilah tetap berlaku. Bukan tempat Pendidikan Sebagai anak, Narti merasakan betul beratnya pekerjaan yang di jalani sekarang ini. Berdasarkan perjanjian awal secara lesan, Ia hanya bekerja di bagian pengepakan barang. Namun kenyataan setelah sebulan bekerja, Narti harus melakukan berbagai macam pekerjaan, yang terkadang Ia sendiri tidak mampu lakukan. Pernah Ia diharuskan oleh Mandor untuk memindahkan barang yang begitu berat. Jika menolak resikonya adalah potong gaji. Sehingga dengan segala resikonya, Narti harus menjalankan perintah tersebut. Bahkan jika terjadi kesalahan sedikit, atau kerusakan pada barang, bisa-biasa Mandor marah-marah seharian. Pernah suatu ketika, ada teman Narti yang harus di hukum oleh mandor gara-gara datang terlambat atau melakukan kesalahan dalam pekerjaan, harus menjalani hukuman dengan berdiri selama dua jam, atau terkadang dipotong gaji tanpa toleransi. Bahkan yang lebih menyedihkan adalah jika ada operasi mendadak (Sidak) dari tenaga Pengawas Disnakertrans, biasanya pihak perusahaan tahu dan mendapatkan bocoran dari oknum petugas. Lalu yang anak-anak disuruh masuk kamar mandi atau kalau tidak disuruh keluar perusahaan, sampai petugas dari Disnakertrans pulang, baru kembali bekerja. Menurut pengakuan dari salah satu aktivis buruh yang ada diperusahaan, tindakan perusahaan tersebut dilakukan sebagai upaya untuk menghindari kewajiban menjalankan pembentukan serikat perusahaan. Tentunya keberadaan serikat pekerja dianggap sebagai ancaman bagi perusahaan. Dengan banyak peristiwa kekerasan yang terjadi perusahaan, maka tidak sepantasnya anak-anak berada dilingkungan tempat kerja, sebab perusahaan bukan tempat pendidikan bagi anak-anak. Macetnya Kebijakan Negara Dalam mengatasi persoalan pekerja anak, Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi Konvensi No. 182 tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Dengan ratifikasi ini, pemerintah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H