Mohon tunggu...
Zainal Abidin
Zainal Abidin Mohon Tunggu... profesional -

Hanyalah orang yang ingin belajar. Belajar membaca dan menulis. Melalui corat-coret yang dipublikasikan, semoga dapat dinikmati atau dikritik bahkan di kecam pun boleh. Sehingga bisa menyemangati untuk terus menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Derita Anak-anak yang Dipekerjakan

12 Januari 2011   12:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:40 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_84387" align="alignright" width="298" caption="Ilustrasi/Admin (tribunkaltim.co.id)"][/caption] Sore itu anak-anak mulai bermain di sepanjang jalan gang kampung. Meski tempatnya begitu sempit, namun kecerian mereka tidak berkurang sedikitpun. Ada yang duduk-duduk sambil bercanda, ada pula yang berlari-lari dengan temannya. Sehingga suasana begitu meriah dengan kecerian mereka. Berbeda dengan Nanik (13 th), sore itu lebih memilih duduk-duduk dirumahnya, dekat Jendela yang berdinding gedheg, dinding yang terbuat dari anyaman bambu, yang mulai berlubang. Semenjak pagi tadi, Nanik harus bekerja di sebuah pabrik konveksi. Ia baru pulang sore hari, dan sampai di rumah pukul lima. Sebenarnya jarak antara rumah dan tempat kerja tidak begitu jauh, hanya lima belas menit dari rumahnya, bila naik sepeda. Namun kerja hari ini baginya cukup melelahkan, sehingga harus memilih istirahat dirumah daripada bermain dengan teman-teman. Sebenarnya Nanik ingin sekali melanjutkan sekolah SMP yang telah terputus. Namun tahun ini, orang tuanya masih tidak mampu membiayai Nanik untuk melanjutkan Sekolah yang berada di dekat Kecamatan. Baginya sekarang ini pilihan satu-satunya adalah bisa bekerja dengan sebaik-baiknya. Awal mula bekerja, Ia diajak oleh tetangganya, bernama Surti (25 th) untuk mendaftar di perusahaan konveksi. Menurut informasi,  perusahan konveksi yang saat ini mempekerjakan seratus orang tersebut membutuhkan tenaga pengepakkan barang. Saat mendaftar, Nanik dan Surti harus terlebih dahulu menemui Satpam perusahaan. Pada saat itu, Nanik dan Surti ditemui oleh kepala Satpam, katanya, untuk bisa diterima diperusahaan tersebut harus membayar dua puluh lima ribu rupiah per-orang. Tanpa pikir panjang, Surti-pun menyerahkan uang ke Kepala Satpam. Kemudian Kepala satpam memberitahukan, kalau esok pagi Surti dan Nanik bisa langsung kerja. Upah Rendah Bekerja sebagai buruh, belum pernah terlintas sama sekali dalam pikiran Nanik selama ini. Baru semenjak orang tuanya di PHK sebagai buruh pabrik, perekenomian keluarganya mulai kacau. Saat ini Bapak Narti bekerja sebagai penarik becak, sedangkan ibunya bekerja sebagai pedagang pasar. Bagi keluarga yang berjumlah lima orang ini, hasil yang didapat sebagai penarik becak atau pedagang pasar sangatlah tidak bisa diharapkan sama sekali. Maka tidak heran, jika sebagai anak yang paling tertua, Narti harus terpaksa bekerja, guna membantu meringankan beban orang tuanya. Bagi orang tuanya, Narti bisa bekerja di Konveksi adalah sebuah anugerah. Sebab dengan bekerja di perusahaan, sedikit banyak memberikan tambahan pendapatan bagi keluarga, meski tidak menyelesaikan persoalan kemiskinan yang dihadapinya. Kenyataannya, selama bekerja di Perusahaan koveksi tersebut, upah yang diterima Narti hanyalah Rp. 500.000 per bulan. Tentunya ini masih jauh dari standart upah yang layak. Berdasarkan ketentuan yang ada sekarang, standart upah di Kota Surakarta sebesar Rp. Rp 826.252 per bulan, mengacu pada surat keputusan (SK) Nomor 561.4/69/2010 tentang Upah Minimum 35 kabupaten/kota di Jateng 2011. Meskipun  SK tersebut sempat mendapat protes dari serikat buruh, karena dianggap terlalu rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan layak buruh, yang seharusnya Rp 835 ribu/bulan. Namun bagi Pemerintah Propinsi, pepatah "anjing menggonggong, kafilah berlalu" masilah tetap berlaku. Bukan tempat Pendidikan Sebagai anak, Narti merasakan betul beratnya pekerjaan yang di jalani sekarang ini. Berdasarkan perjanjian awal secara lesan, Ia hanya bekerja di bagian pengepakan barang. Namun kenyataan setelah sebulan bekerja, Narti harus melakukan berbagai macam pekerjaan, yang terkadang Ia sendiri tidak mampu lakukan.  Pernah Ia diharuskan oleh Mandor untuk memindahkan barang yang begitu berat. Jika menolak resikonya adalah potong gaji. Sehingga dengan segala resikonya, Narti harus menjalankan perintah tersebut. Bahkan jika terjadi kesalahan sedikit, atau kerusakan pada barang, bisa-biasa Mandor marah-marah seharian. Pernah suatu ketika, ada teman Narti yang harus di hukum oleh mandor gara-gara datang terlambat atau melakukan kesalahan dalam pekerjaan, harus menjalani hukuman dengan berdiri selama dua jam, atau terkadang dipotong gaji tanpa toleransi. Bahkan yang lebih menyedihkan adalah jika ada operasi mendadak (Sidak) dari tenaga Pengawas Disnakertrans, biasanya pihak perusahaan tahu dan mendapatkan bocoran dari oknum petugas. Lalu yang anak-anak disuruh masuk kamar mandi atau kalau tidak disuruh keluar perusahaan, sampai petugas dari Disnakertrans pulang, baru kembali bekerja. Menurut pengakuan dari salah satu aktivis buruh yang ada diperusahaan, tindakan perusahaan tersebut dilakukan sebagai upaya untuk menghindari kewajiban menjalankan pembentukan serikat perusahaan. Tentunya keberadaan serikat pekerja dianggap sebagai ancaman bagi perusahaan. Dengan banyak peristiwa kekerasan yang terjadi perusahaan, maka tidak sepantasnya anak-anak berada dilingkungan tempat kerja, sebab perusahaan bukan tempat pendidikan bagi anak-anak. Macetnya Kebijakan Negara Dalam mengatasi persoalan pekerja anak, Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi Konvensi No. 182 tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Dengan ratifikasi ini, pemerintah

berkewajiban  untuk segera mengambil tindakan agar praktik buruh anak segera dihapuskan. Sebagai tindak lanjut dari ratifikasi, Komite Aksi Nasional (KAN) untuk Penghapusan Bentuk-Bentuk Terburuk Pekerja Anak pun dibentuk melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 12 tahun 2001. Namun dilapangan, banyak sekali kebijakan ini justru mandek ditengah jalan. Hal ini yang patut menjadi keprihatinan. Berdasarkan pengalaman yang ditemukan dilapangan, terutama di daerah-daerah, masih banyak yang belum menjalankan Rencana Aksi Daerah untuk penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk. Ketika ditanyakan, seringkali hambatan pendanaan yang selalu menjadi alasan untuk melakukan upaya penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Jika demikian adanya, lalu apakah Pemerintah akan membiarkan anak-anak tersebut akan tetap melakukan pekerjaan-pekerjaan yang terburuk ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun