Pada 17 Maret 1991, Pemerintahan Uni Soviet mengadakan referendum untuk kedua kalinya. Referendum ini berupaya untuk menyelamatkan Uni Soviet dengan mengubah tatanan pemerintahan Uni Soviet menjadi sebuah 'federasi negara-negara republik yang sekedudukan dan berdaulat' (Sakwa, 2002). Referendum ini menjadi alasan bagi elite Partai Komunis di Uni Soviet untuk melancarkan kudeta, menganggap Referendum 1991 melemahkan integritas wilayah Uni Soviet (McFaul, 2001). Kudeta ini mengakselerasi transformasi Uni Soviet menjadi Rusia dan menghancurkan sisa-sisa pengaruh Partai Komunis Uni Soviet (PKUS), sebab kudeta tersebut menerima oposisi yang signifikan. Boris Yeltsin, presiden Republik Rusia pada saat itu, memimpin perlawanan di Gedung Putih Moskow, sedangkan kelompok pro-demokrasi lain berdemonstrasi di Gedung Dewan Kota Moskow dan di jalan-jalan (McFaul, 2001). Kudeta ini menyebabkan delegitimasi hampir seluruh institusi Uni Soviet, sehingga Uni Soviet ditinggalkan oleh hampir semua republik anggota kecuali Rusia dan Kazakhstan (Sakwa, 2002).Â
Demokratisasi di Rusia dipengaruhi oleh sirkulasi elite, yaitu pergantian elite lama dengan elite politik yang baru. Sirkulasi elite disebabkan oleh melemahnya elite lama yang kemudian diganti oleh elite baru. Kelemahan elite lama di Uni Soviet disebabkan oleh melemahnya kohesi kader-kader PKUS di mana muncul faksi-faksi dalam partai. Liberalisasi dan demokratisasi yang dilakukan oleh Gorbachev, meskipun bertujuan untuk mereformasi PKUS dan Uni Soviet menjadi institusi yang lebih efektif dan kompetitif, juga membuka pintu bagi aktor-aktor politik lain untuk menjadi elite saingan dan faksionalisasi dalam PKUS yang lebih jauh. Kelemahan elite lama mencapai puncaknya ketika beberapa elite komunis melancarkan kudeta terhadap Uni Soviet untuk mencegah perombakkan sistem federasi, yang malah menghancurkan legitimasi PKUS dan melegitimasi pihak liberal-demokrat sebagai elite baru. Upaya demokratisasi ini sangat dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi di antara para elite sebagai pemegang sumber daya. Kelemahan elite lama mendukung tumbuhnya elite baru yang memanfaatkan kekosongan kekuasaan dan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap ideologi lama.
Pareto (1968) menjelaskan bahwa perubahan akan lebih cepat terjadi di kalangan para elite. Reformasi yang dimulai Gorbachev justru memicu ketidakstabilan politik yang semakin mendelegitimasi PKUS. Kekosongan politik yang ditinggal oleh elite lama dimanfaatkan oleh elite baru untuk mengambil alih kekuasaan. Di sisi lain, upaya reformasi ini juga memperparah krisis religius di mana komunisme dianggap tidak mampu lagi beradaptasi dengan tuntutan zaman. Liberalisme dianggap sebagai jawaban dari permasalahan-permasalahan yang ada  saat PKUS berkuasa. Janji kebebasan yang ditawarkan oleh liberalisme berhasil menggaet kekuatan politik yang besar. Kekalahan dalam persaingan ideologi menandai berakhirnya dominasi PKUS dan menyingkirkan elite-elite yang terafiliasi dalam ideologinya. Elite baru dengan ideologi alternatif kemudian menjadikan krisis religius yang ada sebagai justifikasi untuk menumbangkan kekuasaan elite lama, sehingga dapat mengantarkan Boris Yeltsin, pemimpin gerakan pro-demokrasi untuk menduduki kekuasaan.
Kemunduran Elite Lama
Menurut Lane dan Ross (1998), kemunduran elite politik di Rusia disebabkan oleh degenerasi sistem Nomenklatura sejak 1986. Sistem Nomenklatura adalah 'kelas politik' yang menjadi sumber perekrutan elite ke pemerintah (Lane dan McRoss, 1998). Di masa Brezhnev, hak partai untuk memilih kader dari Nomenklatura telah disaingi oleh jaringan-jaringan faksi yang mulai lahir di dalam partai yang muncul dengan meningkatnya sentralisasi partai dan pembasmian disidensi (Sakwa, 2002). Sakwa (2002) menganggap bahwa pengelolaan partai yang lebih ketat di masa Brezhnev mematikan dorongan ideologis yang dimiliki PKUS, menciptakan kader-kader yang lebih pragmatis dan tidak terikat kepada nilai-nilai Marxis-Leninis. Oleh karena itu, elite PKUS di masa akhir Uni Soviet terdiri atas jaringan-jaringan patronase yang dikepalai beberapa persona penting yang memiliki kepentingan--kepentingan pribadi masing-masing (Lane dan Ross, 1998). Faksionalisasi PKUS secara tidak langsung melemahkan institusi-institusi politik yang ada di Uni Soviet, sebab signifikansi institusi tersebut semakin kecil dibanding pengaruh jaringan-jaringan faksi yang semakin mendominasi politik Uni Soviet. Pada akhirnya, Nomenklatura kehilangan solidaritas ideologisnya dan fungsinya, dengan banyaknya anggota yang memegang jabatan yang tidak memiliki kekuasaan ataupun otoritas nyata (Lane dan Ross, 1998).
Reformasi-reformasi yang diusahakan Gorbachev bertujuan untuk memperbaiki kelemahan institusional pemerintahan Uni Soviet dan meningkatkan fleksibilitas partai dengan membuka pintu partisipasi politik kepada aktor non-PKUS, menciptakan kompetisi dan potensi kerjasama antara PKUS dan partai atau organisasi politik lainnya untuk menghidupkan kembali kehidupan partai yang stagnan (Kelley, 1992). Namun, hal ini melemahkan lebih jauh lagi kohesi dari kelas politik dan elite PKUS (Sakwa, 2002) yang menuntun kepada faksionalisasi yang lebih drastis menurut batas regional dan ideologis (Kelley, 1992). Hal-hal ini melemahkan kohesi dan kekuasaan elite lama, menciptakan jaringan patronase baru dan memperparah ketidakberdayaan institusi politik Uni Soviet yang semakin tidak berpengaruh. Dari hal ini, Kelonggaran yang diberikan elite lama memberi peluang bagi kelompok-kelompok oposisi baru untuk membangun kekuatan lebih jauh. Kebijakan demokratisasi dan liberalisasi Gorbachev membuka titik-titik akses di mana aktor-aktor politik, baik kelompok aktivis, partai politik baru, masyarakat madani ataupun republik anggota Uni Soviet bisa menggunakan titik akses tersebut untuk menggalang kekuatan politik (Kelley, 1992). Ketika elite lama memberikan ruang bagi partai baru, elite lama tidak lagi memiliki kohesi, aktivitas ataupun kekuatan politik yang kuat untuk mempertahankan kedudukan awalnya, sehingga reformasi yang dilakukan tidak dapat dikendalikan. Kompetisi politik yang tercipta tidak mampu memberi suatu 'peringatan' bagi elite lama untuk semakin bersatu dan melindungi kepentingannya. Justru, elite lama mengeksploitasi kompetisi tersebut untuk memaksimalkan keuntungan pribadi dan melemahkan institusi partai demi keuntungannya sendiri.
Krisis Religius
Malaise politik dan ekonomi yang ada menjadi pendorong pencarian alternatif baru selain dari komunisme, dibantu oleh pembukaan pintu-pintu politik oleh kelompok reformis di PKUS. Usaha liberalisasi dan demokratisasi yang dilakukan Gorbachev justru memperkuat sentimen-sentimen baru. Kebebasan yang diberikan memberi ruang bagi ekspresi nasionalisme regional dan pemikiran politik baru yang ditunjukkan dengan keberagaman partai baru dan organisasi politik informal yang muncul (Kelley, 1992). Berbagai ideologi alternatif tersebut menjadi poin-poin ekspresi politik bagi masyarakat di Uni Soviet. Jaringan organisasi politik informal menuntun kepada meningkatnya jumlah aktor politik. Namun, radikalisasi politik melumatkan berbagai organisasi informal tersebut menjadi front populer yang cenderung demokratis dalam ideologinya (Kelley, 1992). Di wilayah republik anggota Uni Soviet seperti Ukraina dan republik-republik Baltik, sentimen kemerdekaan dari Uni Soviet juga semakin mencuat (Sakwa, 2002). Munculnya alternatif yang menjanjikan masa depan lebih baik dalam sistem selain Uni Soviet menjadi penggerak utama massa yang akan mengusung elite baru.
Kenaikan Elite Baru
Kenaikan elite baru yang nantinya akan mengisi pemerintahan Rusia didorong oleh reformasi politik dan ekonomi. Aktor politik baru berasal dari berbagai bidang, namun Lane dan Ross (1998) menemukan bahwa banyak elite baru berasal dari strata inteligensia; Pengajar di perguruan tinggi, mahasiswa dan jurnalis. Lane dan Ross (1998) menyatakan bahwa meski hubungan antara pasar dan tenaga kerja tetap dibatasi oleh birokrasi Uni Soviet, kelas inteligensia dapat menyaingi dan kemudian menjadi kelas elite baru melalui reformasi-reformasi Gorbachev yang mengurangi solidaritas dan kohesi kelas administrasi. Namun, seperti kelas Nomenklatura, kelas inteligensia Uni Soviet juga bukan suatu kelas yang monolitis (Lane dan Ross, 1998), tapi memiliki kepentingannya masing-masing.Â
Kenaikan elite baru akhirnya terjadi ketika beberapa elite PKUS, dalam upaya mencegah fragmentasi politik lebih jauh, melancarkan kudeta pada 18 Agustus 1991 (McFaul, 2001). Kudeta ini menghilangkan sisa-sisa dari legitimasi yang dimiliki PKUS (Medvedev, 2002). Kudeta yang dijalankan tidak memiliki persiapan yang matang sedangkan pihak-pihak pro-demokrasi dapat memobilisasi sumber daya dan massa untuk memutarbalikkan momentum kudeta tersebut (McFaul, 2001). Maka, sirkulasi elite yang terjadi di sini disebabkan oleh tergerusnya otoritas dan kemampuan politik PKUS secara bertahap, diiringi dengan pelonggaran ruang politik yang menyebabkan naiknya. Kedua hal ini menyebabkan aksi yang dilancarkan oleh elite-elite lama tidak memiliki koordinasi yang cukup untuk mempertahankan kekuasaannya.