Mohon tunggu...
Zaim Saidi
Zaim Saidi Mohon Tunggu... -

Penulis sejumlah buku, antara lain, Euforia Emas, Tidak Syarinya Bank Syariah, Soeharto Menjaring Matahari. Pengguna Dinar emas dan Dirham perak. ikuti saya di twitter @ZaimSaidi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mati dan Gagalnya Demokrasi

14 Agustus 2014   14:34 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:35 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MATI DAN GAGALNYA DEMOKRASI

1.Dalam beberapa bulan terakhir ini perhatian dan enerjimasyarakat sangat tersedot olehpemilihan legislatif dan pemilihan presiden.

2.Sampai hari ini suasana euforiaitu bahkan belum berakhir. Sehingga tidak ada yang menyadari, atau sekadar berefleksi, kalau demokrasi sudah mati.

3.Secara prosedural proses demokrasi yang mengandaikan “jujur, adil, langsung, dan bersih”, sudah dari awalnya tidak terjadi.

4.Pelaksanaan proses demokrasi, sejak jatuhnya Orde Baru,malah semakin buruk. Politik uang,manipulasi, dan kecurangan lain, makin marak.

5.Manipulasi dan kecurangan-kecuranganitu semakin kasar, semakin luas, dan kasat mata,semakin dimaklumi,dan diterima saja.

6.Sedangkan akibat buruk dan langsung dari prosesdemokrasi sudah semakin diketahui secara umum: kepemimpinan yang sangatkoruptif.

7.Apa lagiyang bisa kita katakan kalau otoritas resmi, Mendagri RI, Gamawan Fauzi,telah mengungkapkan 296 Kepala Daerah tersangkutmasalah hukum?

8.Dan bahwa 86% dari seluruh Kepala Daerah di RI yang tersangkut hukum itu terlibat dalam kasus korupsi. Banyak di antaranya sudah masuk bui.

9.Dan watak koruptif itu bukanpada produknya saja tapi juga prosesnya itu sendiri, artinya dari awalnya sampai di akhirnya.

10.Di awalnya dimulai dengan pincitraan manipulatif, di tengahnya denganjual-beli suara, dan di akhirnya pada penyelesaian sengketa di tingkat mahkamah.

11.Proses demokratis, dengan demikian, tidak lain adalahmenjadi mesin yang mekanistis,serta mudah dimanipulasi, dan selalu dimanipulasi.

12.Pemilihan pemimpin melalui proses demokrasi adalah formula matematis, kelebihan satu suara pun, cukup menjadikan seseorang pemenang.

13.Tidak peduli bila satu orang penyumbang kemenangan itu tukang becak, seorang bandit,profesor atau seorang kiyai. Yang dapat, dia yang menang.

14.Sebagai formula matematis proses demokrasi malalui pencoblosan suara mudah dimanipulasi, pada setiap tingkat, dari ruang pencoblosan sampai hitungan suara.

15.Dari prosesyang tengah berlangsung saat ini kita mendapatkan konfirmasi:korupsi danmanipulasi dalam demokrasi bukan teori.

16.Demokrasi adalah korupsi dan manipulasi itu sendiri.Justru yang ada dalam teori, Jurdil dan Luber di atas, hanyalah teori belaka. Demokrasi telah mati.

17.Lima belas tahun kita berdemokrasitelah mengajari bahwa bukan cuma prosedurnya saja yang mati, secara substansialadalah gagal.

18.Demokrasi, secara substansial, gagal menghasilkan pemimpin dan kepemimpinan yang terbaik dari lapis masyarakat.

19.Yang muncul, dan lahir dari proses demokrasi,adalah kepemimpinan buruk dari lapis masyarakat terburuk. Para petruk yang menjadi ratu.

20.Telah disebut di atas pernyataan otoritas paling resmi di negeri ini: 86% kepala daerah tersangkut korupsi.Di lembagalegislatif, DPR, sama saja.

21.Tidak usah ditanya di sayap ketiga demokrasi,lembaga yudikatifnya, bahkan Mahkamah Konstitusi – pintuterakhirnya pun – sudah bobol dikorupsi.

22.Maka, renungkan dan pikirkan beberapa kritik atas sistem demokrasi itu, bukan saja yang datang sekarang, tapi dari asal-muasalnya dulu.

23.Plato sudah peringatkan bahwa dekadensi manusia ditunjukkan pada perubahan wataknya yang semakin hari semakin rendah, yangtercermin pada sistem politik.

24.Derajat manusia yang tinggi cinta pada pencarian kebenaran, yakni pada diri para filosof, yang turun kepada kecintaan kepada status, yaitu para kesatria.

25.Derajat itu kemudian melorot lagi pada mereka yang menonjolkan kecintaan akan harta benda, ini pada kaum plutokrat.

26.Lalu, masih lebih rendah lagi dari kaum plutokrat, yakni level terakhir, mereka yang mendahulukan kecintaan pada segala keinginan syahwatinya. Inilah para demokrat.

27.Bukan cuma pemikir kuno, Plato, pemikir modern, semisal Friedrich Nietzche,yang punya kritik serupa, menyatakan demokrasi hanyalah sistem yang benar-benar cocokbagi bangsa sontoloyo.

28.Demokrasi, bagi Nietzsche, adalah suatu gejala yang menunjukkan bahwa suatu masyarakat telah membusuk hingga tak lagi mampu melahirkan pemimpin-pemimpin agung”.

29.Lebih jauh ia mengatakan bahwa demokrasi, yang menyamakansemua manusia, bertentangan dengankodrat alamyang realitasnya membeda-bedakan derajat manusia.

30.Doktrin persamaan manusia itu hanyalah kebohongan. Bagi Nietzsche kawula adalah kawula, raja adalah raja.

31.Orang-orang yang layak jadipemimpin, bagi Nietzsche,hanyalah mereka yang dilahirkan sebagai Ubermensch,Manusia Unggul, yakni manusia yang lebih kuat, lebih cerdas, lebih berani, serta lebih melayani dan mengayomi.

32.Hanya para Kesatrialah (noble) yang memiliki daya panggil kekesatrian sejati (noblesse oblique)yang tak mungkin diperoleh secara instan melalui prosedur asal contreng.

33.Ya, demokrasi adalah cara pemilihan pemimpin yang paling dungu, dengan asal contreng, asaldapatsatu suara lebih banyak dari rivalnya. Para kere munggah bale!

34.Dan ada hal yang lebih mendalam lagi dari matinya prosedur demokrasi dan kegagalannya dalam menghasilkan kepemimpinan bermutu ini.

35.Yaitu: proses demokrasi itu hanyalah permukaan dari kesatuan sistem yang tengah membusuk, yakni konsepsi negara fiskal: demokrasi plus sistem finansial semu.

36.Seperti demokrasi, sistem finansial yang melandasinya, melalui uang kertas dan perbankan serta kredit berbunga, adalah numerologi.

37.Para pemimpin hasil demokrasi itu adalah penjaga dan pelaksana saja dari rezim finansial yang tiada basis riilnya kecuali angka-angka yang dianggap bernilai.

38.Melalui APBN, rezim perbankan menjalankan bisnisnya secara masif, melalui mekanisme utang nasional yang terus membengkak karena bunga berganda.

39.Saat RI merdeka, misalnya, negeri ini tiada berutang. Kini, 70 tahun kemudian, menanggung beban utang lebih dari Rp 3100 triliun.

40.Akibatnya, hidup wakyat bukan makin mudah dan senang, tapi makin susah dan menderita. Setiap orang ikut nanggung utang, sekuranngya Rp 12 juta.

41.Utang yang hanya membuat semakin banyak utang lagi dan semakin banyak dan luas negara memajaki rakyat yang sudah menderita itu.

42.NKRI memang belum runtuh. Tapi, lihat AS, dan negara-negara Eropa, sumber dan kampiun demokrasi dan negara fiskal: tengah membusuk dan hampir runtuh.

43.Negara fiskal, demokrasi dan sistem perbankannya, adalah produk kapitalisme yang rapuh karena berbasis pada fantasi, yakni angka-angka belaka.

44.Keruntuhannnya akan terjadi secara alamiah, dan tengah dalam hitungan waktu. Anda siap ataupun tidak. End.

Selanjkutnya follow saya di twitter @ZaimSaidi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun