Persoalan sampah masih terjadi di Candi Borobudur. Volume sampah mencapai 3-5 kontainer per hari, bahkan pada libur Lebaran rata-rata 9,6 kontainer per hari dimana satu kontainer berisi 4,5-5 meter kubik sampah. Wisatawan masih ada yang membawa botol minuman, permen atau kue kecil hingga ke atas candi. Sampahnya masih terlihat berceceran di tangga dan lorong candi. Belum semua wisatawan tertib membuang di tempat sampah yang sudah tersedia.
Padahal, pengelola Candi Borobudur telah menempatkan tempat sampah di setiap jarak 10-20 meter, dimana jumlah tempat sampah kecil ada lebih dari 200 buah dan 14 kontainer penampung sampah di kawasan Candi Borobudur. Tempat sampah di Candi Borobudur juga didesain unik yang berbentuk pot persegi empat mirip bebatuan candi. Ada juga tempat sampah yang terbuat dari bahan karet ban.
Peran serta masyarakat lokal dalam menjaga kebersihan, keindahan dan pelestarian Candi Borobudur yaitu sebagai tenaga lokal di Balai Konservasi Borobudur (Pengelola). Mereka berperan sebagai tenaga konservasi, tenaga kebersihan candi, dan tenaga ketertiban wisatawan. Sebagai contoh, petugas kebersihan yang hanya diberi upah sebesar 60 ribu per hari untuk bekerja dari jam 8 pagi hingga 4 sore, namun mereka tetap bekerja dengan semangat.
Tenaga konservasi bertugas untuk memelihara bangunan dan batuan candi dari kerusakan, misal : membersihkan lumut, kotoran atau debu yang menempel. Tenaga kebersihan bertugas untuk mengurus sampah dan mengingatkan wisatawan untuk tidak membuang sampah sembarangan atau melakukan corat-coret (vandalism). Sedangkan, tenaga ketertiban wisatawan bertugas untuk mengawasi dan mengingatkan wisatawan untuk mematuhi peraturan yang berlaku. Terkadang mereka harus menegur wisatawan yang memanjat stupa candi.
Kepedulian masyarakat sekitar terhadap pelestarian Candi Borobudur di antaranya diwujudkan dengan keterlibatan mereka sebagai pemandu wisata lokal yang dikoordinir oleh organisasi HPI (Himpunan Pramuwisata Indonesia). Selain bertujuan meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar, pemandu wisata lokal juga berkewajiban untuk memberikan edukasi lingkungan kepada wisatawan agar menjaga kebersihan dan keindahan candi. Ini merupakan bentuk kampanye penyadaran sosial.
Saya teringat ketika dulu bersekolah di SMA Negeri 1 Magelang. Kami diajak guru sejarah untuk belajar Candi Borobudur secara langsung di lapangan. Kami pun ikut memungut sampah wisatawan yang dibuang sembarang. Ini merupakan bentuk wisata edukasi yang bermanfaat untuk mendorong kepedulian para pelajar di sekitar Candi Borobudur. Bahkan, terdapat juga program KKN (Kuliah Kerja Nyata) dari para mahasiswa di kampus sekitar untuk berpartisipasi aktif dalam perlindungan dan pelestarian warisan dunia tersebut.
Bagi masyarakat Jawa, khususnya yang tinggal di sekitar Candi Borobudur, budaya “senyum, salam dan sapa” merupakan tata karma (unggah-ungguh) yang diajarkan secara turun-temurun. Adat Jawa mengajarkan bahwa senyum, salam dan sapa bukan hanya kepada saudara atau teman, namun juga orang lain yang belum kita kenal. Hal ini merupakan penghormatan kepada orang lain dan orang yang lebih tua sebagai bentuk keramahtamahan, kerendahan hati, sopan santun dan keterbukaan. Kami terbiasa untuk bilang “permisi” (Dalam Bahasa Jawa : monggo, nderek langkung atau nuwun sewu) ketika bertemu, berpapasan, melewati atau mengawali pembicaraan dengan orang lain.
Bersih Tersenyum : Dunia Pun Akan Datang