Mohon tunggu...
Zaid Makruf
Zaid Makruf Mohon Tunggu... Marketing -

Kelahiran Magelang. Pernah kuliah di Fisipol UGM Jogja. Merantau ke Jakarta. Bekerja sebagai marketer. Ayah dari Zidan dan Danis. Sekarang tinggal di Tangerang. The meaning of life is to give life meaning.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Budayakan Siaga Bencana Melalui Sandiwara Radio Kolosal

13 September 2016   03:47 Diperbarui: 29 Oktober 2016   02:23 925
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berdamai Dengan Sumber Bencana (Sumber Foto : www.dandansa.com)

“Pagi itu langit yang biasanya cerah berubah mendung. Tapi bukan berarti akan turun hujan. Awan semakin hitam pekat. Bunyi menggelegar sontak membuat kami panik dan berhamburan. Tampak awan mengepul dari arah Gunung Merapi. Bukan air yang jatuh. Tapi abu yang kian tebal. Kami pun segera dipulangkan dari sekolah.” (Magelang, 22 November 1994 jam 10.00 WIB)

Masih ingat dalam bayangan saya ketika kelas 5 SD, Gunung Merapi meletus. Saya beruntung tinggal agak jauh. Namun, suasana mencekam tetap kami rasakan. Hujan abu tebal mengguyur Magelang. Ternyata, letusan tersebut menyebabkan luncuran wedhus gembel (awan panas) hingga memakan korban 64 jiwa di Dusun Turgo dan Kaliurang, Kabupaten Sleman, Provinsi DIY (Kompas, 13 Maret 2012).1Sungguh pengalaman masa kecil yang menegangkan. Tak terbayangkan, bagaimana masyarakat di lereng gunung menghadapi bencana tersebut.

Indonesia adalah daerah rawan bencana. Negeri kepulauan ini terletak pada jalur cincin api (ring of fire) sehingga memiliki banyak gunung berapi. Potensi gempa bumi, letusan gunung dan tsunami adalah faktor resiko hidup yang harus dihadapi. Di Pulau Jawa saja terdapat konsentrasi gunung berapi tertinggi di Indonesia dengan 45 gunung berapi aktif, tidak termasuk 20 kawah dan kerucut kecil di komplek vulkanik Dieng (Jawa Tengah) dan kerucut muda di komplek kaldera Tengger (Jawa Timur).2

Ironisnya, kesiapsiagaan terhadap bencana alam di Indonesia masih rendah. Banyaknya korban jiwa ketika gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara (2004), gempa di Yogyakarta (2006), dan gempa di Sumatera Barat (2009) menjadi bukti nyata. Pemahaman, antisipasi dan penanggulangan bencana belum menjadi budaya atau cara hidup bersama (culture is common way of life). 

Kita harus terus belajar siaga bencana, baik secara individu maupun komunitas. Lihatlah Jepang pasca Gempa Kobe (1995), masyarakatnya semakin siap dalam menghadapi gempa bumi dan tsunami. Mereka gencar melakukan program pendirian monumen bencana dan pusat penanggulangan bencana di berbagai daerah serta melaksanakan program penyadaran dan pelatihan siaga bencana (Kompas, 22 Januari 2015).3  

Sandiwara Radio sebagai Media Penyadaran Sosial (Social Awareness)

Dalam rangka membudayakan siaga bencana di Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) meluncurkan program sandiwara radio kolosal dengan judul : Asmara di Tengah Bencana (ADB). Sandiwara ADB berjumlah 50 Episode yang diputar di 20 radio, terdiri dari 18 radio lokal dan 2 radio komunitas di seluruh Pulau Jawa. ADB dikemas dalam cerita roman sejarah berlatar belakang Kesultanan Mataram yang menggali nilai-nilai budaya lokal dengan sisipan pemahaman bencana gunung meletus.

Sejarah Kesultanan Mataram yang diangkat dalam sandiwara ADB cukup mampu merepresentasikan budaya lokal di Pulau Jawa sehingga diharapkan mudah dimengerti dan diterima oleh masyarakat. Pada masa keemasannya, Sultan Agung Mataram yang berpusat di Yogyakarta pernah menyatukan tanah Jawa hingga Madura, bahkan berkoalisi dengan Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten untuk berperang melawan VOC yang berpusat di Batavia.4 Roman percintaan tokoh-tokoh utamanya juga menjadi daya tarik tersendiri. Di masa kini, masyarakat khususnya kaum muda sangat menggemari cerita-cerita cinta, seperti tema sinetron atau telenova yang ditayangkan di televisi.

Sandiwara ADB juga menggali kearifan lokal dalam mengenali tanda-tanda alam sebelum gunung meletus. Sebagai contoh gejala gunung meletus yang diceritakan dalam sandiwara ADB yaitu : air sungai terasa panas, banyak pepohonan kering dan meranggas, suasana terasa senyap, berbagai macam hewan berlarian turun dari kaki bukit dan mendadak terdengar suara bergemuruh dari perut bumi. Kemudian, kesiapsiagaan warga desa untuk mengungsi dan kerelawanan bencana dari tokoh sandiwara dapat menjadi pembelajaran bagi masyarakat.    

Sandiwara radio pernah berjaya pada Era 80-90an. Tentu kita masih ingat dengan sandiwara Saur Sepuh, Tutur Tinular dan Misteri Gunung Merapi yang sangat populer pada saat itu. BNPB berusaha membangkitkan kembali sandiwara radio sebagai alternatif acara yang diminati masyarakat, sekaligus media penyadaran sosial terhadap bencana. Namun, saat ini sandiwara radio memiliki tantangan dalam implementasinya.

Menurut survei Nielsen (2014), konsumsi media di kota-kota, baik di Jawa maupun Luar Jawa menunjukkan bahwa Televisi masih menjadi medium utama yang dikonsumsi masyarakat Indonesia (95%), disusul oleh Internet (33%), Radio (20%), Surat Kabar (12%), Tabloid (6%) dan Majalah (5%). Dalam hal konsumsi Radio, konsumen di luar Jawa tercatat lebih banyak mendengarkan radio (37%) dibandingkan dengan konsumen di Jawa (18%). Oleh karena itu, BNPB harus memiliki strategi khusus agar sasaran dan tujuan program sandiwara ADB di Pulau Jawa dapat tercapai dengan baik.  

Strategi Penguatan dan Pengembangan Sandiwara ADB  

1. Memperluas jangkauan siaran radio kepada masyarakat sekitar gunung.

  • Siaran sandiwara ADB di 20 radio di Pulau Jawa sekarang ini sudah menjangkau kurang lebih 30 wilayah kabupaten/kota yang berada di sekitar gunung berapi teraktif. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, setidaknya terdapat 10 gunung berapi dan 2 kawah berapi di Pulau Jawa yang meletus atau mengalami peningkatan aktivitas vulkanik dengan status waspada, siaga hingga awas, yaitu : Gunung Anak Krakatau di Provinsi Banten; Gunung Tangkuban Perahu dan Gunung Papandayan di Provinsi Jawa Barat; Gunung Slamet, Kawah Dieng dan Gunung Merbabu di Provinsi Jawa Tengah; Gunung Merapi di Provinsi Jawa Tengah dan DIY; serta Gunung Kelud, Gunung Semeru, Gunung Bromo, Gunung Raung dan Kawah Ijen di Provinsi Jawa Timur (Analisis Berita Media, 2006-2016).

Siaran Sandiwara Radio "Asmara di Tengah Bencana" (BNPB, 2016)

Siaran Sandiwara Radio
Siaran Sandiwara Radio
  • Kedepan, BNPB perlu menambah kerjasama dengan radio-radio lokal untuk menjangkau daerah-daerah prioritas lainnya, yaitu : Cilegon dan Pandeglang (Gunung Anak Krakatau); Garut (Papandayan); Brebes, Banyumas, Tegal dan Pemalang (Gunung Slamet); Wonosobo dan Banjarnegara (Kawah Dieng); Blitar (Gunung Kelud); Probolinggo dan Pasuruan (Gunung Bromo); Lumajang (Gunung Semeru dan Bromo); serta Banyuwangi dan Bondowoso (Gunung Raung dan Kawah Ijen). Prioritas selanjutnya diperluas ke masyarakat sekitar gunung-gunung berapi di Pulau Jawa yang selama ini tidak aktif.
  • Radio-radio komunitas perlu diberdayakan karena biasanya dipakai untuk sosialisasi dan koordinasi masyarakat di sekitar gunung jika terjadi gempa vulkanik, letusan gunung berapi, kebakaran hutan lereng gunung, musibah pendakian dan tindakan SAR.

2. Sosialisasi sandiwara radio ADB untuk meningkatkan basis pendengar (audiens).

  • Sasaran utama dari basis pendengar sandiwara ADB adalah masyarakat pedesaan di lereng gunung karena mereka yang paling dekat dengan sumber bencana sehingga harus memiliki kesiapsiagaan yang tinggi. Mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai petani dan pedagang pasar tradisional. Oleh karena itu, BNPB dapat bekerjasama dengan penyuluh pertanian dan perkebunan (Dinas Pemda), kelompok-kelompok tani (Gapoktan) dan pengelola pasar untuk mensosialisasikan sandiwara ADB.
  • Sebagian besar kawasan gunung di Pulau Jawa ditetapkan sebagai Taman Nasional, sedangkan sisanya berstatus kawasan lindung. BNPB dapat bekerjasama dengan penyuluh kehutanan dan polisi hutan di Balai Taman Nasional (BTN), Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Perum Perhutani dan Dinas Kehutanan Provinsi/Kabupaten/Kota untuk mengalakkan sosialisasi sandiwara ADB kepada masyarakat sekitar gunung.
  • Sosialisasi sandiwara radio ADB perlu dilakukan melalui iklan Televisi karena sebagian besar masyarakat memiliki dan menonton Televisi. Selain itu, penyebaran poster atau pamflet ke masyarakat melalui perangkat dusun/dukuh dan desa/kelurahan, sekolah-sekolah dan pondok pesantren di sekitar gunung.
  • BNPB dapat bekerjasama dengan komunitas seni budaya di sekitar gunung untuk mensosialisasikan sandiwara ADB melalui pertunjukan sandiwara panggung, ketoprak, ludruk, dll sesuai dengan cerita ADB melalui festival gunung atau pentas kesenian rakyat. Beberapa festival gunung yang diadakan tiap tahun, diantaranya : Festival Gunung Tangkuban Perahu, Festival Lima Gunung di Jawa Tengah (Merapi, Merbabu, Sumbing, Andong, Menoreh), Festival Dieng dan Festival Gunung Bromo.
  • BNPB dapat bekerjasama dengan Kelompok Pecinta Alam dan Pramuka Saka Wanabakti di SMA dan Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) untuk ikut mensosialisasikan sandiwara ADB di sekolah dan kampus di sekitar gunung. 
  • Seiring dengan perkembangan internet, gadget handphone dan aplikasinya di kalangan masyarakat (terutama anak muda), maka BNPB perlu dengan gencar mensosialisasikan sandiwara ADB melalui sarana komunikasi tersebut, misal : pembuatan web khusus dengan teknologi radio internet sehingga masyarakat dapat mendengarkan episode ADB secara real time dan mengunduh episode yang sudah diputar. Selain itu, berbagi info siaran sandiwara ADB melalui berbagai aplikasi, misal : facebook, twitter, path, broadcast message blackberry messenger (BBM) dan what’sapp (WA) sehingga masyarakat yang tertarik dapat langsung mendengarkan sandiwara ADB dari radio handphone.  

3. Bekerjasama dengan pihak sekolah untuk menggunakan sandiwara ADB sebagai media edukasi siaga bencana sejak dini.

  • Generasi muda harus diajarkan siaga bencana sejak dini agar mereka dapat mengenali tanda-tanda bencana dan secara mental psikologis siap menghadapi bencana dengan bimbingan orang tua.
  • BNPB dapat bekerjasama dengan pihak sekolah, terutama SMP dan SMA di sekitar gunung untuk mewajibkan siswa membuat resume sandiwara ADB sebagai bagian dari pelajaran sejarah. Sandiwara ADB mengajarkan sejarah Mataram dan perlawanan Sultan Agung terhadap penjajah VOC, disamping pengenalan terhadap tanda-tanda gunung meletus dan kerelawanan bencana. Jika terdapat episode yang sudah diputar di radio, maka bagian itu dapat diputar kembali secara off air di sekolah. Selain itu, metode pembelajaran dapat dikemas dalam bentuk siswa belajar drama berdasarkan cerita ADB sebagai bagian dari pelajaran bahasa Indonesia atau kesenian daerah.   
  • Kedepan, BNPB perlu bekerjasama dengan Dinas Pendidikan setempat dan pihak sekolah untuk merumuskan agar pendidikan siaga bencana sejak dini dapat masuk dalam muatan lokal (kurikulum pendidikan).  

4. Pengaturan jam tayang dan pengemasan siaran sandiwara ADB yang tepat.

  • Pengaturan jam tayang sandiwara ADB perlu disesuaikan dengan siklus hidup masyarakat sekitar gunung di Pulau Jawa. Masyarakat pedesaan di lereng gunung yang umumnya  petani biasa bangun subuh, kemudian berangkat ke sawah hingga siang atau sore. Sementara pedagang tradisional, jam 2 pagi sudah berangkat ke pasar dan pulang di siang hari. Penduduk desa yang mayoritas muslim cukup rajin sholat maghrib dan isya di masjid atau mushola.
  • Jam tayang yang tepat untuk menyiarkan sandiwara ADB adalah 19.30-20.00 Wib (durasi 30 menit). Biasanya penduduk desa di lereng gunung tidur paling awal jam 20.00-21.00 Wib sehingga sandiwara ADB dapat menjadi pengantar tidur. Jam tayang tersebut juga cocok dengan jam belajar anak sekolah. Orang dewasa di perkotaan pun sudah pulang kerja. Namun, tidak semua masyarakat dapat mendengarkan dalam waktu yang sama. Alangkah lebih baik jika satu episode diputar 2 kali, misal : siang hari diputar (jam makan siang) dan siaran ulang episode yang sama pada malam hari. Petani dapat mendengarkan sambil makan siang di saung sawah. Pedagang tradisional dapat mendengarkan di pasar sambil berjualan. Sementara, ibu-ibu yang tidak bekerja leluasa mendengarkan di rumah.
  • Siaran sandiwara ADB perlu mempertimbangkan acara sebelum dan sesudah yang menarik minat pendengar, misalnya dengan sajian musik populer atau acara lain yang digemari masyarakat. Pop Indonesia dan Dangdut merupakan jenis musik yang banyak diminati oleh para pendengar radio. Harapannya, pendengar ketika menunggu sandiwara ADB tidak merasa bosan. Bagi yang menunggu acara selanjutnya seperti “setengah dipaksa” untuk mendengarkan sandiwara ADB.

Sandiwara radio merupakan media transfer ilmu. BNPB harus melakukan monitoring dan evaluasi tentang efektifitas sandiwara radio untuk mengajarkan siaga bencana kepada masyarakat.

Jika hasilnya efektif, maka BNPB dapat membuat konsep sandiwara radio yang disesuaikan dengan sasaran dan kerawanan bencana, misal : tsunami untuk masyarakat pesisir, banjir untuk masyarakat tepi sungai, tanah longsor untuk masyarakat perbukitan, gempa bumi untuk daerah geologi rawan serta kebakaran untuk pemukiman padat dan penduduk sekitar hutan. Jika belum efektif, maka perlu digali model-model penyadartahuan yang lain agar masyarakat Indonesia siap menjadi pelindung bencana bagi dirinya sendiri, keluarga dan komunitas.*       

Facebook Penulis :https://www.facebook.com/activex.proplus

Twitter Penulis :https://www.twitter.com/MakrufZaid

Bahan Rujukan :

Materi BNPB

1  | 23  | 4 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun