Betapapun juga aku tidak akan menyerah sekalipun tindakanku ini akan berakibat fatal bagiku. Entah bui atau bahkan maut atau apapun namanya aku harus terima. Perlawanan. Aku harus mengadakan perlawanan sekuatku. Aku enggan melakukan kompromi meski aku tahu bahwa kompromi mungkin menjanjikan kehidupan yang lebih layak. Sekali lagi aku tidak akan menyerah, tekadku sudah bulat. Aku membatin. Aku memang sering diajak untuk kompromi dengan imbalan yang memang menggiurkan, tetapi hingga kini aku masih tetap pada pendirianku, khittah jihadku, bahwa kompromi hanya bisa dilakukan untuk kemaslahatan orang banyak, bukan untuk kejahatan bahkan menyengsarakan sesama anak bangsa. Tidak, aku tidak akan menyerah, sekali lagi kunyatakan tekadku.
Gerimis di luar tempatku bersembunyi ini belum juga berhenti sementara malam mulai menyeruak menelan senja bulat-bulat. Gemuruh ombak dari pantai di belakang gubuk persembunyianku terdengar deras menggambarkan kekukuhannya, seperti memberiku kekuatan, seolah mendukung keputusan yang telah kuambil, seperti mendorongku untuk maju meneruskan niatku mengadakan perlawanan, apapun resikonya. Sebuah lolongan anjing menghentikan renunganku. Mungkin ada patroli yang melewati tapal batas yang selama ini kujaga dengan ketat. Benar dugaanku, sebuah tembakan menghentikan lolongan anjing tersebut.
Aku menyusup keluar gubuk dengan sangat hati-hati melewati dua anak sungai yang cukup dalam. Sejak ayahku dan seorang teman karibku tertangkap dan terbunuh beberapa hari yang lalu, sisa aku saja yang tertinggal yang mempertahankan gubuk ini. Ketika gubuk ini dikepung yang berakhir dengan penangkapan ayahku dan seorang teman karibku, aku bisa meloloskan diri. Aku memastikan ada mata-mata yang memberitahukan bahwa masih ada satu eksterimis yaitu aku yang belum tertangkap. Perkiraanku ternyata benar, dari semak-semak kusaksikan seorang patroli berpakaian lengkap memberi komando kepada tiga orang rekannya untuk mengadakan pengepungan. Syukur, fikirku. Ini adalah kesempatan bagiku melakukan perlawanan untuk membayar kematian ayah dan teman karibku dan tentu saja untuk mempertahankan kemerdekaan tanah airku. Aku akan menunjukkan kepada mereka bahwa aku sanggup melakukan perhitungan dengan mereka dengan caraku sendiri.
Badik pamor pusaka milik ayahku kucabut dari sarungnya kemudian dengan penuh keyakinan aku mengendap-ngendap mengikuti salah seorang dari mereka. Ya, Allah Tuhan Rab Yang Mahakuasa, beri aku kekuatan, beri aku petunjuk untuk membantai mereka berempat dalam waktu sekejap sebelum bala bantuan mereka berdatangan. Ketika salah seorang dari antara mereka yang aku tahu dia adalah komandan persis berada di hadapanku, aku melompat menikamkan badikku dari belakang, patroli tersebut jatuh terkapar dan dalam sekejap patroli ini dapat kubereskan. Senjatanya kulucuti dan kemudian dengan tiarap aku berhasil menguntit-untit tiga temannya yang lain. Mereka memasuki gubuk yang pintunya sengaja kubuka. Dari percakapan mereka aku tahu bahwa mereka memang mencari aku. Dan hujan tiba-tiba bertambah deras dan terkurunglah ketiganya di dalam gubuk yang telah kupersiapkan sebagai perangkap maut. Kilat tercelak berkali-kali disusul guruh menggelegar dan bersamaan dengan itu aku melepaskan tembakan dari pintu rahasia yang telah kupersiapkan sebelumnya. Ya, Tuhan! Engkau benar-benar mengabulkan permintaanku, mereka bertiga mampus sebelum sempat mencari temannya yang telah tewas di ujung badikku.
Aku bisa leluasa sesaat sampai patroli yang lainnya berdatangan. Ternyata tidak, sebelum sempat aku merapatkan pantat pada balai-balai yang ada di gubuk, sebuah deru mobil sedikit menciutkan nyaliku. Ini pasti anggota patroli lainnya yang mungkin memiliki firasat buruk tentang keempat rekannya. Ya, Allah apa yang harus kuperbuat. Aku tidak mungkin melawannya sendiri, aku harus mencari jalan bagaimana meloloskan diri. Tetapi sebelum aku tahu dari arah mana mobil itu datang, tiba-tiba deru itu menghilang. Tetapi aku tetap waspada, kalau-kalau ini adalah siasat mereka menjebakku. Aku mencoba mengendap-ngendap lewat pintu rahasia, tetapi celaka sebuah lampu senter hampir menamatkan riwayatku. Aku benar-benar terdesak.
Hujan di luar belum lagi reda dan tiba-tiba sebuah ide muncul di benakku. Dengan gerak cepat dan dengan pertolongan sebuah lampu minyak aku terpaksa membakar gubuk sambil mengatur siasat. Sekali lagi syukur. Siasat ini berhasil karena ketika aku tiarap menuju sungai di belakang gubuk aku tak menemukan kesulitan apa-apa.
Sekarang aku sedikit bisa mengatur nafas, namun bahaya maut masih tetap mengancam. Patroli itu terperangah melihat api dan ketika mereka menemukan mayat keempat temannya, mereka geram. "Ini pasti ulah eksterimis keparat itu, kamu orang harus mencarinya dan menyeretnya ke sini. Ekstrimis itu harus digantung!" teriak salah seorang dari mereka yang aku pastikan adalah komandan rombongan kedua ini. Secepat kilat aku menceburkan diri ke dalam sungai dan menyelam beberapa menit, lalu kemudian muncul di tengah rawa-rawa dengan hati-hati. Setelah kusaksikan jumlah mereka yang cukup besar, dan aku yakin tidak bisa kulawan sendiri maka kuputuskan untuk meninggalkan gubuk yang selama ini kuanggap kubu pertahanan ini untuk memberi informasi kepada kubu lainnya.
Dan ketika aku sudah hampir meloloskan diri sebuah suara menghentikan langkahku, 'Eksterimis berhenti. Angkat tangan. Kau memang licik, ha, haaaaa"  Aku mengangkat tangan, tetapi sebelum  perintahnya dilanjutkan aku berbalik dan meloncatinya secepat kilat dan terjadilah pergelutan maut. Aku berhasil mengunggulinya, senjata dan lampu senternya berhasil kurampas. Dan aku sudah siap menghunjamkan badikku langsung ke dadanya.
"Anjing Belanda, kini giliranmu menjemput maut." Gertakku.
"Aku bukan anjing Belanda, aku Husni sahabatmu, kau mungkin mengira aku sudah meninggal."
"Apa, Husni?"