Pendahuluan
Kebebasan beragama adalah salah satu hak asasi manusia yang diakui secara universal. Hak ini tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal 18 yang menyatakan bahwa setiap individu berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama, termasuk kebebasan untuk mengganti agama atau kepercayaan serta kebebasan untuk mengamalkannya, baik secara individu maupun kolektif, di ruang publik maupun privat. Namun, meskipun diakui sebagai hak fundamental, kebebasan beragama tidaklah bersifat mutlak. Ada batasan-batasan tertentu yang diperlukan demi menjaga harmoni sosial dan mencegah terjadinya konflik.
Kebebasan Beragama: Pilar Hak Asasi Manusia
Kebebasan beragama menjadi landasan penting dalam membangun masyarakat yang inklusif dan toleran. Hak ini melindungi individu dari segala bentuk pemaksaan untuk menganut atau meninggalkan suatu agama. Kebebasan beragama juga mencakup hak untuk tidak menganut agama tertentu, yang berarti individu memiliki pilihan untuk menjadi seorang ateis, agnostik, atau mengadopsi kepercayaan lain di luar agama formal.
Di negara-negara dengan keberagaman agama yang tinggi, seperti Indonesia, kebebasan beragama memainkan peran krusial dalam menjaga persatuan bangsa. Konstitusi Indonesia, melalui Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945, menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinannya masing-masing.
Batasan terhadap Kebebasan Beragama
Namun, kebebasan beragama tidak boleh dipahami secara absolut. Di banyak negara, kebebasan ini dibatasi oleh undang-undang untuk memastikan bahwa praktik keagamaan tidak melanggar hak orang lain, merugikan masyarakat, atau mengancam keamanan publik. Batasan ini diatur secara hati-hati untuk menghindari penyalahgunaan dan diskriminasi.
Sebagai contoh, di Indonesia, batasan terhadap kebebasan beragama diwujudkan dalam bentuk larangan penodaan agama sebagaimana diatur dalam Pasal 156a KUHP. Meskipun dimaksudkan untuk melindungi kerukunan umat beragama, penerapan aturan ini sering kali menuai kontroversi karena dianggap dapat digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi atau sebagai alat kriminalisasi terhadap kelompok tertentu.
Batasan lain terhadap kebebasan beragama juga mencakup pelarangan praktik yang dapat membahayakan kesehatan atau keselamatan umum. Misalnya, ritual yang melibatkan pengorbanan manusia atau tindakan ekstrem lainnya sering kali dilarang demi melindungi kepentingan publik.
Tantangan dalam Menyeimbangkan Hak dan Harmoni
Menyeimbangkan antara kebebasan beragama dan harmoni sosial adalah tantangan yang kompleks. Di satu sisi, negara harus menjamin hak asasi setiap individu, termasuk minoritas, untuk mempraktikkan keyakinannya tanpa rasa takut. Di sisi lain, negara juga harus mencegah munculnya gesekan antarumat beragama yang dapat memicu konflik horizontal.
Penting bagi pemerintah, masyarakat sipil, dan pemimpin agama untuk terlibat dalam dialog terbuka yang mengedepankan toleransi. Pendidikan multikultural dan penguatan nilai-nilai inklusif juga harus ditanamkan sejak dini untuk membangun generasi yang lebih memahami dan menghormati perbedaan.
Kesimpulan
Kebebasan beragama adalah hak asasi yang harus dihormati dan dijamin oleh setiap negara. Namun, hak ini tidak boleh dimaknai tanpa batas. Dalam konteks masyarakat yang majemuk, kebebasan beragama harus berjalan seiring dengan tanggung jawab untuk menjaga harmoni sosial. Dengan pendekatan yang seimbang dan inklusif, masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang menghormati perbedaan tanpa mengorbankan persatuan.
Hak asasi dan harmoni sosial bukanlah dua hal yang saling bertentangan, melainkan dua pilar yang harus berdiri berdampingan demi mewujudkan kehidupan yang damai dan adil bagi semua.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI