“ Jangan lupa pilih saya, coblos nomor dua ! “
Andai ada pemilu setiap hari, mungkin ayahku tak perlu lagi repot-repot mencari kayu bakar di hutan kami yang mulai gundul. Cukup mencoblos sebuah foto berkumis dan berpeci, kami sekeluarga sudah bisa makan kenyang. Calon lainnya pun tak mau kalah. Demi mengambil hati kami, dengan loyal dia membagi-bagikan paket sembako, lengkap dengan amplop di dalamnya. Segala macam acara musik pun berlangsung meriah di tengah desa kami yang biasanya sunyi. Dorprizenya pun tak main-main, sebuah sepeda motor di pajang dipanggung sebagai hadiah utama. Tak usah kuatir kalau tak dapat sepeda motor, setidaknya kami sudah cukup senang disuguhi makan malam gratis dan diberi kenang-kenangan kaos bergambar sang calon pemimpin yang kualitasnya hampir setara dengan kain pel. Harganya juga paling tak sampai lima ribuan.
Kami tidak bodoh. Jangan pikir kami percaya dengan semua bualan itu. Tapi apa daya, perut kami pun turut menuntut. Haram atau halal tak lagi jadi soal. Yang penting kami tak perlu mati karena lapar. Walaupun hati kami menjerit pesimis. Lalu bagaimana nasib kami setelah ini ?
*****
Tapi bukankah selalu ada secercah harapan. Aku langsung terpesona melihat sosoknya yang penuh kharisma. Dengan berwibawa dia berorasi memaparkan program-progamnya. Dan mimpiku termasuk satu diantaranya. Dia bilang akan fokus pada pendidikan. Dia bilang prihatin dengan tingginya angka putus sekolah di desa kami karena ketiadaan akses dan juga biaya. Dia berjanji jika terpilih akan membangun sebuah sekolah di desa seberang. Selambat-lambanya tahun ajaran mendatang sudah bisa dibuka. Dia juga berjanji akan segera memperbaiki jembatan untuk mempermudah akses kami kesana. Dengan gamblang bahkan dia berani memaparkan target waktu pelaksanaannya. Sebagai langkah awal dia langsung membagi-bagikan seragam sekolah, sepatu, dan beberapa buku pada anak-anak usia sekolah. Sangat meyakinkan bukan? Aku tak tahan lagi. Kali ini aku benar-benar termakan bujuk rayunya. Kusuruh semua keluargaku untuk memilihnya agar kelak aku bisa sekolah.
Usai pemilihan, pesta rakyat di desa kami pun turut usai. Tapi aku tetap bahagia karena jagoanku terpilih. Tak sabar kumenanti janjinya. Tahun ajaran barupun tiba. Aku bergegas untuk menagih janjinya. Tapi apa yang kudapat? Jembatan itu masih rusak terbengkalai, sekolahpun tak ada. Semua hanya omong kosong belaka. Ya sudahlah. Apa daya, kami terlanjur menukar mimpi dengan bualan janji. Sang pemimpin telah berjaya di singgasananya. Kehidupan kembali berjalan normal. Desa kami kembali terlupakan.
Untuk membaca karya peserta lain silakan menuju akun Fiksiana Community
Silakan bergabung dengan grup FB Fiksiana Community
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H