Di depanku duduk tiga orang laki-laki. Semuanya akan membinaku dalam urusan pengajuan ijin cerai. Ah, memang rumit untuk seorang PNS jika akan bercerai. Sebagai penggugat ataupun tergugat.
PNS memang dituntut untuk memberikan contoh yang baik, termasuk dalam berumahtangga. Dan aku sadar itu.
Oh iya, seharusnya ada enam orang yang akan membinaku. Dan juga suamiku di jam yang berbeda.
Aku duduk dengan agak tegang. Ya, siapa yang tak akan tegang menghadapi cobaan berat dalam hidupnya. Yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
***
"Aku ingin lepas. Biarkan aku yang maju ke PA ya, dik..".
Pesan dalam whatsapp itu masih aku simpan. Pesan yang membuatku syok. Perasaanku berkecamuk saat itu. Sebegitu parahkah aku dalam rumah tangga? Apa memang kesalahan hanya dari saya?
Satu bulan kemudian, ku balas pesan dari suamiku. Ku persilakan untuk maju sesuai keinginannya.Â
Aku sudah lelah menghadapi suamiku. Aku tak peduli dengan alasan dia akan menceraikanku. Yang semuanya mengada-ada. Tanpa melihat kewajibannya.
"Aku tidak jadi maju, dik..".
Pesan itu muncul di layar handphoneku. Jujur aku marah. Aku seperti dipermainkan oleh suamiku. Tidak hanya sekali ini.Â
***
"Kami sarankan untuk ibu dan suami menempuh jalan ke BP4 terlebih dahulu. Hematnya usaha menurut manusia dulu. Jika tidak ada jalan untuk bersama lagi maka sudah ada dasarnya. Ya, surat pengantar dari BP4. Bahwa antara suami istri sudah tidak bisa dirukunkan lagi..".
"Ada contoh yang menarik berkasnya karena bisa baikan setelah pergi ke BP4. Jadi, semoga ibu bisa konsultasi terlebih dahulu..".
Aku terdiam. Rasanya lelah sekali.
Branjang, 26 Mei 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H