Hujan. Saat itu. Ku ingat deras. Laksana diguyurkan air dari langit malam itu. Jelang pernikahanku denganmu.
Hujan itu membawa kabar bahagia untukku. Dan juga untukmu.Â
Doa ku panjatkan agar pada hari H pernikahan, tak hujan deras. Begitu juga ibu dan bapakku. Mendoakan yang sama untuk kelancaran pernikahanku.
Sebuah pernikahan yang diharapkan, tidak hanya aku. Tetapi juga harapan keluarga besarku. Terutama ibu dan bapakku. Saat itu ibu masih membersamaiku di hari bahagiaku.
Aku yakin ibu lega dengan pernikahanku. Karena aku anak yang ragil ini akhirnya akan menikah.
Tetapi, aku tahu ibu sangat merasa agak sedih. Bukan karena aku akan menikah. Tetapi lebih kepada keadaan ibuku yang tak bisa kesana kemari untuk persiapan pernikahanku.
Ibu tak mampu kemana-mana. Hanya bisa berjalan dengan tongkatnya dengan tertatih-tatih. Ibuku stroke.
"Ibu doakan lancar, Ra.. Ibu juga puasa ntuk kelancaran pernikahanmu ini..".
Dengan agak terbata-bata ibu ngendika seperti itu. Ya, tak bisa dipungkiri. Ibuku mendoakan dan melaksanakan laku puasa untukku. Puasa yang aku yakin ibu sudah terbiasa melakukannya.
"Ya, bu..".
Hanya itu yang mampu ku katakan kepada ibu saat itu. Memang ibu sering shalat tahajud, dan puasa.