Mohon tunggu...
Zahrotul Mutoharoh
Zahrotul Mutoharoh Mohon Tunggu... Guru - Semua orang adalah guruku

Guru pertamaku adalah ibu dan bapakku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kilas Balik tentang Nama Itu

27 November 2021   20:12 Diperbarui: 27 November 2021   20:16 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kalau ada waktu luang konsultasi sama pak War saja, dik..".

Pesan itu seperti membuka jalan untukku. Setelah sebelumnya aku menanyakan tentang kemungkinan tak ku masukkan tunjangan pasanganku.

"Alasannya apa?"

Begitu kurang lebih ketika ku tanyakan kemungkinan itu kepada saudara sepupuku yang kebetulan bekerja di bagian kepegawaian dinas.

Ya, aku tahu mas Said tahu masalahku. Dari pakdhe dan budheku. Bapak dan ibunya mas Said.

Masalah rumah tanggaku yang diambang kehancuran. Suamiku telah menyatakan akan maju ke Pengadilan Agama, meski pada akhirnya sampai saat ini tak dilakukan. Dia mbolak mbalik dengan kata cerai dan tak berniat cerai. 

Terserah.

Dan memang tunjangan ini pada akhirnya menjadi bebanku, meski seharusnya tidak seperti itu. Tetapi setidaknya dia, yang sampai saat ini masih berstatus suamiku pernah menanyakan tunjangan suami yang melekat pada gajiku.

Hai kau suamiku, bagaimana dengan tanggungjawabmu kepadaku? Ku tak pernah menerima nafkah darimu. Kenapa harus seperti "minta jatah" dariku. 

***

Kilas balik dari hatiku. 

Beberapa hari kemarin aku kebetulan tak sengaja berjumpa dengannya. Suami yang telah mengabaikanku hampir satu tahun ini.

"Dik..".

Hanya itu ucapmu. Aku terhenyak ketika tahu keberadaanmu di tempat yang sama ini.

Ya, saat itu aku mendatangi sebuah tempat bersama teman kantorku. Dik Yuni. 

Aku mencoba cuek saja. Terlalu sakit hatiku. Dia telah menjelek-jelekkan aku dan keluargaku. Hati dan harga diriku yang kau injak-injak dengan kata-kata tak berniat cerai di satu saat. Dan di saat lain kepada orang lain kau katakan akan menceraikanku.

"Mbak..", kata dik Yuni saat mendengar aku disapa oleh laki-laki itu.

Aku tahu, mungkin dik Yuni heran denganku. Bagaimana aku bisa cuek kepada orang. Padahal aku orang yang tak secuek itu.

Dan aku tahu, mungkin dik Yuni lupa-lupa ingat dengan wajah suamiku. Aku saja lupa. Ya mungkin dik Yuni berpikir kalau orang yang menyapaku itu suamiku, kenapa aku bersikap seperti itu.

Ah, dik.. Memang tak semua teman tahu dengan kehidupan rumah tanggaku. Yang mereka tahu aku terlihat ceria di sekolahan, tempat kita bekerja.

***

"Aku wis judheg mas.. Ya, aku manut saja kapan waktu luangnya jenengan dan pak War..".

Kalimat itu ku tulis untuk kakak sepupuku itu. Sebuah harapan akan kehidupan yang lebih baik untukku.

Ingin ku hapuskan nama itu dari hidupku. Aku berhak untuk bahagia. Aku berhak menyayangi diriku sendiri. Yang tak pernah ku dapatkan darinya.

Biarlah waktu yang mengubah keadaan ini. Aku percaya kepada Sang Maha Cinta. Aku akan baik-baik saja. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun