Tanah. Merupakan salah satu aset yang diincar oleh kebanyakan orang. Setidaknya untuk masa depan keluarga dan keturunannya. Termasuk rumah atau bangunan lainnya.
"Aku ketipu, yu..".
Sebuah pesan ku terima. Dari sahabat karibku semasa kuliah tahun 2000 hingga 2004. Hingga sekarang kami masih tetap berkomunikasi melalui aplikasi whatsapp dan terkadang juga melalui telepon.
"Aku membeli sebuah tanah melalui suamiku.. Tetapi ternyata tanah itu menjadi sengketa..".
Ah, aku pusing juga membaca pesan dari temanku itu. Pusing karena tak bisa memberi masukan apapun, karena aku tak paham dengan pembelian tanah. Apalagi ternyata tanah sengketa.
Apalagi temanku itu. Tentunya pusing tujuh keliling. Uang yang tak sedikit. Uang dari kakak laki-lakinya.Â
***
"Suamiku melihat iklan di facebook, yu.. Terus komunikasi dengan nomer handphone yang tertera.. Modal percaya saja..".
Begitu cerita sahabatku itu selanjutnya ketika ku tanyakan membeli tanah itu dari siapa. Aku yakin sahabatku itu sangat marah dengan keadaan ini. Siapa yang mau tertipu dengan urusan tanah atau rumah? Tak ada tentunya.
Cerita itu sudah beberapa bulan kemarin. Setiap ada perkembangan dari kasusnya itu dia selalu bercerita. Bertemu dengan penjual yang menipu. Bertemu dengan notaris yang membantu penjual itu. Dan seterusnya.
Hingga beberapa bulan terakhir sahabatku itu mengabari bahwa maju ke pengadilan untuk menuntaskan kasusnya itu. Tentunya sangat melelahkan tenaga, pikiran dan uang juga. Bolak balik mengurus ini itu.