Mohon tunggu...
Zahrotul Mutoharoh
Zahrotul Mutoharoh Mohon Tunggu... Guru - Semua orang adalah guruku

Guru pertamaku adalah ibu dan bapakku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Daden Geni

3 November 2021   03:52 Diperbarui: 3 November 2021   03:58 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore ini aku, ibu dan bapak sudah sampai di rumah Simbah. Setelah perjalanan sekitar dua jam dari rumah. Kami memang berangkat setelah aku selesai sekolah daring.

Kami memang merencanakan untuk berlibur di rumah Simbah. Semasa pandemi sejak Maret 2020, kami sangat jarang ke rumah Simbah.
Dan Alhamdulillah, setelah sekian lama kami tak berjumpa, akhirnya berjumpa lagi dengan Simbah.

"Wis gedhe kowe, ndhuk..".

Itu komentar pertama yang disampaikan Simbah putri.

Ya, memang terakhir aku ke rumah Simbah, aku belum setinggi dan sebongsor ini. Hehe.

"Iya, mbah.. Banyak makannya itu Nara..", ledek bapak.

Aku cuma manyun mendengarnya. Haha.

Memang sih, selama pandemi ini aku lebih sering di rumah. Kegiatannya ya cuma sekolah online, makan, minum, tidur dan kadang membantu ibu. Selebihnya main.

"Nanti di sini kamu bantu Simbah lho, Ra..", sambung ibu.

"Ya.. siap, bu..".
***

Pagi harinya..

"Simbah lagi ngapain?", tanyaku kepada Simbah yang sedang asyik di dapur.

"Wah.. putuku.. Sini.. Rewangi Simbah..", sambut Simbah.

Ya, aku dan Simbah sedang berada di dapur. Kalau kata simbah sih nama jawanya pawon. Pawonnya Simbah masih tradisional banget. Tidak memakai kompor minyak, apalagi kompor gas.

"Iki jenenge keren, ndhuk..", kata simbah setelah mendengar pertanyaanku.

"Sing ngurupke nganggo blarak.. Blarak iku godhong kambil sing wis garing..", lanjut Simbah.

Kulihat Simbah menyalakan korek api. Rek jres. Gitu Simbah bilang.

Kemudian Simbah mengarahkan korek yang sudah ada apinya ke blarak yang sudah disiapkan Simbah. Kemudian Simbah memasukkan blarak yang sudah menyala ke dalam lubang keren. Kayu-kayu kering yang kecil-kecil dimasukkan. Ku perhatikan Simbah melakukannya.

Oh iya, kerennya simbah terbuat dari batu. Ada dua buah.  Setiap keren ada dua lubang. Depan dan belakang.

"Ah, kayaknya gampang..", batinku.

"Mbah, aku pengen mencoba dong..", pintaku kepada Simbah.
***
Ku pegang blarak segenggamanku. Lalu ku pantik korek api. Ku dekatkan ke blarak. Dan..

Ah.. ternyata tak semudah yang ku lihat dari Simbah tadi.

"Sulit ya, Mbah..", keluhku.

Simbah tersenyum mendengarnya.

"Dibaleni, ndhuk.. Nek wis terbiasa, pasti kowe isa daden geni.. Diulangi, ndhuk.. Kalau sudah terbiasa, pasti kamu bisa menyalakan api..", kata simbah.

Kuulangi berkali-kali. Akhirnya setelah berusaha berkali-kali, menyala juga apinya di keren yang satunya. Keren yang tadi dipakai Simbah untuk nggodhog banyu. Kalau yang kunyalakan apinya untuk nggodhog jagung panenan Simbah.

"Nah, kamu bisa membantu Simbah kan, Ra..", kata ibu dari arah belakang.

"Hehe.. iya, Bu.. tapi ternyata agak sulit juga ya..", kataku tersipu.

"Sulit kalau kamu berusaha selalu berusaha pasti akan menjadi mudah.. Tidak putus asa kalau belum bisa melakukannya.. begitu juga belajarmu, Ra..", lanjut ibu.

Benar kata ibu. Ternyata aku bisa belajar dari Simbah. Ya belajar untuk tidak menyerah dari daden geni yang gampang-gampang susah di keren ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun