Mohon tunggu...
Zahrotul Mutoharoh
Zahrotul Mutoharoh Mohon Tunggu... Guru - Semua orang adalah guruku

Guru pertamaku adalah ibu dan bapakku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bincang Sedikit Kami

6 Agustus 2020   20:00 Diperbarui: 6 Agustus 2020   19:56 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebut saja namanya Dina. Aku mengenalnya saat mengikuti acara penulisan buku yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan beberapa tahun yang lalu. Tepatnya menulis buku guru dan buku siswa untuk siswa SLB, bidang studi Pendidikan Agama dan Budi Pekerti.

Dina ini beragama Kristen. Sekarang kami berdua berada di satu kantor. Entah kenapa kami seperti cocok kalau ngobrol tentang pendidikan. Tapi, tentu saja tidak semua cocok 100% sih. Hehe.

Sebenarnya banyak teman penulis buku agama yang juga dekat, baik yang beragama Islam, kristen, katholik. Tetapi Dina ini mempunyai nilai lebih menurutku. Dia seorang yang ceplas ceplos. Apa adanya. Aku juga mengenal suaminya dan putri cantiknya. 

Suaminya adalah seorang pendeta. Dina sendiri sering mengisi kegiatan sebagai seorang pendeta juga. Aku yakin, dia sangat kuat keimanannya. Begitu juga dengan suami dan anaknya.

Meski kami sangat bertolak belakang dalam keimanan, tetapi kami saling menghargai. Dina dan keluarga tentu tahu aku berasal dari keluarga yang juga memegang teguh ajaran agama kami. Islam. Tetapi kami tidak ingin saling mempengaruhi satu sama lain.

***

Beberapa waktu yang lalu, jelang hari raya iduladha, aku dan Dina ngobrol-ngobrol saat berjemur di sekolah. Yang kami obrolkan saat itu tentang meninggalnya bapak dari sahabat kami. Ika.

Bapaknya Ika meninggal di tanah suci dua tahun yang lalu. Tentu saja dimakamkan di sana. Tidak bisa dibawa pulang ke tanah air.

"Mesakke ya, bu", kata Dina.

"Iya, Din. Tetapi setiap orang yang berhaji itu berharap dapat meninggal di tanah suci. Meninggal di sana", ucapku.

Dina agak tidak menyangka dengan jawabanku.

"Ibuku dulu juga begitu, jika berhaji berkeinginan untuk meninggal di sana, Din. Tapi karena keadaan maka ibu tidak tindak haji", lanjutku.

Aku biarkan Dina meresapi apa yang aku katakan. Dan aku yakin, Dina paham. Kenapa bisa seseorang menginginkan seperti itu. 

Aku tak mencoba menjelaskan lebih lanjut, karena kami harus melanjutkan pekerjaan kami. Dia orang yang cerdas, dan pasti akan tahu jawabannya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun