Aku dididik oleh ibu dan bapak dengan disiplin. Bagaimana kerasnya pendirian bapak dalam mendidik. Saat masih masa sekolah dasar, aku dan saudara dibatasi dengan aturan yang ketat.
Kami tidak diperbolehkan menonton televisi. Di rumah ada televisi jadul. Televisi tabung kuno. Di rumah tidak ada televisi yang bagus seperti punya teman-teman. Nah, karena televisi jadul pada akhirnya terbatas yang kami tonton. Ini sungguh-sungguh terjadi.
Kami juga dibatasi untuk mendengarkan radio. Lebih sering radio disembunyikan bapak. Kesemuanya itu hanya demi belajar kami.
Awalnya tentu sangat berat untuk anak seusia kami. Akan tetapi, lama kelamaan kami terbiasa dengan ketiadaan barang-barang elektronik semacam itu.Â
Sejak Sekolah Dasar kami diajarkan untuk jujur, termasuk dalam hal belajar di sekolah. Jangan mencontek. Gunakan kemampuan semaksimal mungkin. Jadi ketika ada teman yang mencontek, kami membiasakan diri untuk mengerjakan sendiri. Apapun hasilnya. Entah bagus, entah jelek. Dan itu berkelanjutan hingga di bangku perkuliahan.
Dengan kejujuran, kami dapat bertanggungjawab terhadap perilaku kami. Ketika telah bekerja, maka bekerja dengan jujur dan penuh tanggungjawab. Menyelesaikan tugas pokok dan tugas tambahan dengan jujur dan penuh tanggungjawab.
Sejak SMP kami mulai dibiasakan memakai baju panjang dan berjilbab. Kami memakai seragam panjang dan berjilbab, bertiga dengan salah satu teman kami. Pada waktu itu belum banyak yang memakai jilbab ketika bersekolah.Â
Dari sisi keagamaan, kami dididik untuk berpuasa sunah. Kami dibiasakan berpuasa sunah Senin Kamis. Ibu mengatakan jika ingin berhasil maka berpuasalah Senin dan Kamis. InsyaAllah akan dimudahkan.Â
Selain itu kami dididik untuk melaksanakan shalat tahajud. Apakah berat? Tentu saja iya. Bagi orang dewasa saja hal tersebut sangat berat, apalagi bagi anak usia sekolah. Awal-awal melaksanakan shalat tahajud, kami merasakan kantuk dan malas yang luar biasa.
Akan tetapi, lama kelamaan dipermudah oleh Allah untuk bangun pagi-pagi buta. Sebelum tidur berniat bangun jam 03.00. Maka Allah akan membangunkan di jam itu.
Dalam hal sosial-pun, secara tidak langsung ibu mengajari kami. Ketika akhir bulan Ramadhan, Ibu selalu meminta kami untuk memasukkan uang-uang ke dalam amplop. Amplop itu diberi nama-nama orang-orang yang kurang beruntung.
Kemudian kami diberikan tugas untuk menyampaikan amplop-amplop itu kepada yang bersangkutan. Mungkin itu hal sepele, tetapi terpatri kuat dalam hati. Oh, ini zakat atau shadaqah. Dari seberapapun harta, maka keluarkanlah zakat atau shadaqah.Â
Penanaman itu sangat membekas bagi kami. Hingga kami sudah bekerja, kami selalu berusaha memberikan sedikit shadaqah dan zakat maal (zakat harta).Â
Dari yang kami pelajari di bangku sekolah maupun kehidupan, ketika mengeluarkan zakat atau shadaqah maka Allah akan membalas dengan kebaikan. Dan Allah akan selalu menyediakan kebutuhan kita dari jalan yang tak disangka-sangka. Akan selalu ada ketika kita membutuhkan sesuatu.
Kebaikan akan selalu berbalas dengan kebaikan.
Aku sangat beruntung menjadi anak ibu dan bapak. Semoga Allah selalu memberikan ampunan dan kasih sayangnya kepada almarhumah ibu. Dan semoga Allah juga selalu melimpahkan ampunan dan kasih sayangnya kepada bapak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H