Seorang ibu adalah madrasatul ula atau tempat belajar anak yang pertama dan utama. Sebagai tempat belajar utama bagi anak-anaknya, ibu dituntut untuk hadir penuh dan utuh menemani setiap tahap perkembangan buah hatinya.
Ibu dianggap menjadi tokoh sentral dan seakan diwajibkan oleh dirinya sendiri untuk berlaku sebaik mungkin kepada anaknya.Â
Proses tersebut berlangsung sejak sang ibu tersebut masih remaja bahkan kanak-kanak, karena melihat pola asuh yang biasa terjadi dalam hidupnya.Â
Para perempuan seolah diharuskan untuk selalu hadir setiap waktu dan bertanggung jawab penuh terhadap anaknya. Lihatlah ketika anak kurus, atau mungkin terlambat bicara, orang yang pertama kali disalahkan biasanya adalah ibunya.
Para perempuan yang menganggap tanggung jawabnya demikian dan kurang dapat memenuhi hal tersebut, biasanya menjadi menyalahkan dirinya sendiri.Â
Ketika seorang ibu menyalahkan diri sendiri, maka akan berdampak pada pengasuhannya kepada anaknya. Seorang ibu cenderung akan marah-marah, mungkin menutup diri, kurang peduli pada anaknya, maupun hal-hal yang cenderung toxic lainnya.
Seorang ibu, selain harus membagi waktu untuk anak-anaknya, ia juga harus membagi waktu untuk suaminya. Belum lagi ketika ibu tersebut masih tinggal satu rumah dengan mertua ataupun orangtua, tentu peran yang dijalaninya menjadi semakin banyak. Hal tersebut tentu juga berdampak pada kesehatan mental sang ibu.
Membicarakan peran ibu tentu tidak akan habis karena pentingnya peran ibu dalam kehidupan seorang anak.Â
Selain seorang ibu yang hanya berperan di ranah domestik, era dewasa ini juga bertambah banyak ibu yang bekerja di ranah publik.Â
Ibu yang bekerja di luar rumah menjadi mempunyai kewajiban ganda/double burden. Ibu yang bekerja di ranah publik/luar rumah tetap diwajibkan bertanggungjawab pula terhadap area domestik terutama kepada anak dan suaminya.
Kewajiban dari double peran ini tak jarang menimbulkan konflik dan dilema pada diri seorang ibu. Jika tak pandai mengelola peran ganda ini, ibu dapat mengalami tekanan/stres, cemas, bingung, tidak berdaya, bahkan hingga depresi.Â
Tak jarang ada beberapa kasus ibu yang sampai tega membunuh buah hatinya sendiri kemudian bunuh diri. Naudzubillah. Hal tersebut karena banyak faktor yang menjadi penyebabnya, tentu bukan faktor tunggal.
Menjalani peran sebagai seorang ibu bekerja memang tidak mudah. Apalagi ketika suaminya cenderung suami yang kurang peka dan kurang memahami perannya sebagai seorang suami.Â
Suami seharusnya menjadi pengayom, mau berbagi peran dan tugas pengasuhan, serta mau mendengarkan ketika keluh kesah istri.Â
Tetapi di sisi lain, banyak suami yang berpikir bahwa dalam rumah tangga semua tugas adalah tugas istri. Ia sebagai seorang suami hanya mencari nafkah di luar.Â
Meskipun istrinya juga bekerja dan memiliki penghasilan, tetapi banyak suami yang tetap ingin dilayani dan tidak mau berbagi peran dan tugas dalam rumah tangganya.
Permasalahan ibu bekerja menjadi semakin rumit ketika ia bekerja di rumah atau sering disebut WFH (Work From Home), di mana anak-anaknya juga bersekolah di rumah. Hal ini menimbulkan masalah yang dihadapi oleh ibu bekerja menjadi makin banyak dan perlu solusi agar dapat menjalani peran-peran tersebut dengan baik.
Oleh karena itu, sangat penting disadari oleh para suami agar istrinya bisa lebih sehat mental dan bisa menjalani double perannya tersebut dengan baik dan seimbang.Â
Istri sendiri juga perlu menyeimbangkan diri dalam bekerja baik di ranah publik maupun domestik. Ibu bekerja bisa lebih aware dengan kondisi emosinya, jika merasa lelah beristirahatlah.
Suami juga bisa membantu dalam proses pengasuhan anak dan membantu pekerjaan rumah tangga lainnya, serta memberikan support.Â
Ibu bekerja jika telah merasa lelah, bisa mencoba relaksasi ataupun keluar dari rumah sekedar melihat-lihat pemandangan di luar rumah saat anak-anak ada yang menjaganya.Â
Ibu juga dapat mengekspresikan emosinya melalui menulis menggunakan buku ataupun laptop sehingga dapat katarsis dan emosi menjadi lebih baik.
Jika ibu merasa mengalami hambatan dalam pengasuhan dan tugas serta perannya, dapat menghubungi psikolog terdekat. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H