Pernah nggak sih kalian beli item tambahan di game online? Nah, apakah semua orang yang main game online itu bisa disebut punya gaming disorder? Apa sih itu gaming disorder? Dan apakah membeli item tambahan di game itu bisa dikatakan sebagai perilaku konsumtif?
Untuk jawab semua pertanyaan itu, kita coba review jurnal yang judulnya "Kecenderungan Gaming Disorder dan Perilaku Konsumtif Pembelian Virtual Goods pada Pemain Online Game". Jurnal ini diterbitkan oleh Gadjah Mada Journal of Psychology volume 8 nomor 1 tahun 2022. Penulisnya ada Sarah Syahara Alfa Hasanah, Diana Savitri Hidayati, dan Nandy Agustin Syakarofath. Nah, berikut ini review dari jurnal tersebut. Yuk, kita bahas bareng-bareng!
Seperti yang kita tahu, teknologi sekarang udah canggih banget. Kita bisa ngelakuin apa aja lewat online, termasuk main game online. Di Indonesia, game online udah jadi hal umum, bahkan, 15,86% penduduk Indonesia suka main game online lho! Tau nggak sih kalau 77,2% dari mereka pernah beli produk virtual yang ada di game? Produk virtual ini biasanya berupa senjata, kendaraan, karakter, atau pakaian karakter. Harganya juga bermacam-macam, ada yang murah, ada juga yang mahal. Bahkan, di game Mobile Legends, harga paket senjata dan pakaian lengkap bisa sampe 5 juta!!
Tapi ada masalah nih. Soalnya, para gamers bisa beli item-item di game secara berulang dan berujung boros serta jadi konsumtif. Walaupun harganya mahal, para gamers tetap aja beli produk virtual itu. Kenapa ya? Karena mereka dapat kesenangan dari main game dan beli produk virtualnya. Biasanya, keinginan buat dapat kesenangan ini disebabkan oleh adanya adiksi, atau yang biasa disebut gaming disorder.
Gaming disorder ini adalah kondisi ketika seseorang nggak bisa kontrol diri buat utamain game dan malah ngabaikan kegiatan positif lainnya. Menurut DSM-V, ada sembilan kriteria gaming disorder, yaitu: 1) Terlalu fokus atau obsesi pada game. 2) Menarik diri dari lingkungan sosial. 3) Punya masalah toleransi. 4) Kehilangan kendali. 5) Kehilangan minat. 6) Penggunaan game yang berlebihan dan terus menerus. 7) Melakukan penipuan. 8) Melarikan diri dari perasaan negatif. 9) Mengalami gangguan fungsional.
Kalian udah tau kan kenapa fenomena ini diambil buat penelitian? Sekarang kita bahas tujuan dari jurnal tersebut, yaitu buat tau pengaruh kecenderungan gaming disorder ke perilaku konsumtif pembelian virtual goods pada pemain game online. Penelitian ini melibatkan 200 gamers di seluruh Indonesia, yang usianya antara 14-28 tahun. Mereka dipilih pakai teknik purposive sampling.
Untuk ngumpulin datanya, peneliti pakai dua skala yang disebarin secara online. Pertama, Internet Gaming Disorder Scale (IGDS) buat ngukur kecenderungan gaming disorder yang dikembangkan oleh Lemmens dan kawan-kawan (2015). Kedua, skala perilaku konsumtif yang diadopsi dari skala Pratiwi (2012), dengan nilai koefisien reliabilitas 0,871. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif non-eksperimen. Datanya diambil secara daring pakai Google Form dan disebarin lewat dua akun media sosial. Untuk analisis datanya, peneliti pakai teknik analisis regresi linear sederhana buat uji hipotesis penelitian.
Menurut penelitian tersebut, ada hubungan positif antara gaming disorder sama perilaku konsumtif dalam beli-beli virtual goods. Kecanduan ini biasanya muncul karena senang banget main game, sampai pengen beli barang virtualnya. Tapi, terkadang keputusan beli barang ini bisa jadi nggak tepat, loh. Kenapa? Karena fungsi otak yang namanya frontal cortex, yang seharusnya bisa ngendaliin diri dan ngawasin perilaku kita, jadi terganggu.
Perilaku konsumtif ini juga dipengaruhi oleh beberapa hal lain, lho. Misalnya, buat penunjang harga diri, buat naikin kepercayaan diri, dapat pengakuan dari teman-teman, dan buat ikut-ikutan trend yang lagi populer. Alasan lain yang bikin orang jadi konsumtif beli virtual goods adalah karena barang-barang virtual ini tuh banyak jenisnya. Setiap item punya ciri khas tersendiri, jadi bikin orang penasaran dan pengen punya semua jenis yang ada. Akhirnya, mereka jadi beli terus, padahal mungkin nggak semua barang itu mereka butuhin.Â
Nah, dari penelitian ini kita bisa nyimpulin kalo gaming disorder emang berpengaruh terhadap perilaku konsumtif pembelian virtual goods dalam game. Soalnya semakin tinggi kecenderungan untuk mengalami gaming disorder maka semakin tinggi juga kemungkinan untuk menunjukkan perilaku konsumtif terhadap virtual goods, begitu pun sebaliknya. Tapi untungnya, tingkat perilaku konsumtif dan taraf mengalami gaming disorder pada partisipan  di penelitian ini tuh masih berada pada taraf sedang. Kenapa sih kok bisa dibilang berada pada tahap sedang? Karena perilaku membeli mereka masih pada taraf yang dapat ditoleransi atau tidak berlebihan sampai menimbulkan pemborosan.
Kelebihan penelitian ini yaitu fenomenanya yang kekinian sehingga terdapat pembaharuan dari penelitian penelitian sebelumnya. Selain itu, metode pengambilan data peneliti dijelasin dengan lengkap lho! Jadi kalian bisa paham dengan baik nih gimana peneliti ngambil datanya. Tapi kalian tau ga kalau penelitian ini juga ada kekurangannya loh! Penelitian ini terbatas hanya pada faktor kecenderungan gaming disorder sehingga tidak memadai jika digunakan untuk memaparkan apa saja faktor yang memengaruhi secara komprehensif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H