Mohon tunggu...
Zahrotul Aning nur faizah
Zahrotul Aning nur faizah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Membaca menulis

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Masih Perlukah Peran Orangtua di Masa Remaja?

4 Oktober 2022   23:21 Diperbarui: 4 Oktober 2022   23:32 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masa remaja memang masa yang menyenangkan sekaligus masa tersulit dalam hidup seseorang. Mereka penuh dengan mimpi, angan-angan, cita-cita,potensi, pergolakan, dan pemberontakan. Pada saat itu pula, seorang anak remaja tidak saja mengalami perubahan fisik tetapi juga psikis.

 Status pun berubah karena adanya perubahan sebutan dari sebagai anak-anak menjadi remaja. Permasalahan yang sering timbul biasanya seputar hubungan mereka dengan orangtua. Banyak di antara mereka memilih jalan yang keliru meskipun dibesarkan dalam rumah tangga yang baik dan mendidik.

    Seiring dengan cepatnya perkembangan teknologi,anak remaja tumbuh lebih cepat dan ingin bebas lebih awal.Banyak orangtua yang merasa sulit mengikuti perubahan-perubahan drastis yang dialami anak remaja mereka dan sebagai akibatnya terjadilah pertentangan. 

Tadinya si anak masih dalam pelukan orangtua, diantar ke sekolah, bermain bersama di rumah, membantu urusan rumah, dan seterusnya lalu tiba-tiba berubah. Dia mulai berani membantah, melawan, dan melanggar peraturan dari orangtua, serta tidak komunikatif lagi terhadap orangtua. 

Hal ini sebagai pertanda masa remaja sudah tiba, situasi tidak lagi dapat dikendalikan oleh orangtua. Di satu sisi orangtua memperketat kontrol, disisi lain remaja meningkatkan pula perlawanan mereka untuk mendapat kebebasan.Oleh karena itu, orangtua harus mengenal masa krisis anak remaja dan bertanggung jawab membantu anak remaja secara rohani mengatasi masa-masa krisis tersebut.

Pendapat umum mengatakan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan antara tahap kanak-kanak dengan tahap dewasa. Wright (2009) mengatakan bahwa masa remaja merupakan suatu masa krisis terus-menerus dengan diselingi beberapa masa reda dengan pengalaman yang menegangkan,stres,badai bahkan tekanan sosial memuncak. 

Mereka beranjak dari ketergantungan kepada orangtua menuju kemandirian, otonomi, dan kematangan.Perubahan ini tentunya setiap budaya akan memiliki ciri tersendiri, misalnya mengenai batasan umur.Di Indonesia, meskipun belum ada kesepakatan tentang hal ini, kategori remaja umumnya di Indonesia berkisar usia dua belas tahun hingga dua puluh tahun.

Ada dua ciri-ciri yang menonjol ketika seorang anak memasuki usia remaja (Surbakti, 2008), yaitu perubahan fisik dan psikis. Perubahan fisik bagi laki-laki ditandai dengan perubahan otot, suara menjadi besar, tumbuh jakun, tumbuh kumis; sedangkan pada perempuan ditandai dengan tumbuh payudara, mengalami menstruasi, tubuh makin seksi.

Sementara itu perubahan psikis sulit diamati secara kasat mata. Berkembangnya intelektual, emosional, minat, dan sikap dapat dipandang sebagai

ciri-ciri perkembangan psikis.Bisa saja pertumbuhan seorang anak remaja secara fisik tidak selalu diikuti secara psikis, begitu pula sebaliknya. Perubahan secara psikis berdampak besar terhadap prilaku secara emosional. 

Oleh karena itu, masa remaja merupakan masa yang rentan terhadap godaan, rasa keingintahuan akan segala hal sehingga mereka gampang terjerumus dengan hal-hal negatif, misalnya: penggunaan obat-obat terlarang, keterikatan misalnya dengan playstation, game internet.chatting,video porno, dan akses situs porno.

Lingkungan tempat mereka beradapun sangat berpengaruh besar.Tahap-tahap keterlibatan narkoba atau obat-obat terlarang dimulai dari coba-coba, pertemanan,dsb.

   Pembentukan jati diri merupakan suatu proses berkesinambungan melampaui masa remaja.Identitas atau jati diri adalah gambar atau pemahaman tentang siapakah kita ini.

Pada masa kanak-kanak, kita sangat tergantung pada orangtua sedangkan pada masa remaja dapat dikatakan sudah dapat hidup secara mandiri, kecuali dalam aspek keuangan. Pada saat itu kita mulai bisa melihat gambar atau pemahaman tentang jati diri dan semakin menyadari keinginan-keinginan dalam diri kita.

Pada masa remaja, kehidupan sosial meluas sehingga peran orangtua mulai menciut. Orangtua yang tadinya merupakan pusat kehidupan sosial anak sekarang tersisihkan dan digantikan dengan teman-teman sebayanya.Sebelumnya anak selalu bertanya bila hendak melakukan sesuatu.

Sekarang anak mulai menunjukan keengganannya meminta pendapat apalagi izin orangtua.Jika dahulu anak selalu menceritakan semua peristiwa yang dialaminya, sekarang anak mulai menyimpan rahasia. 

Acapkali orangtua menafsirkan perilaku anak ini secara negatif,seolah anak merahasiakan hal yang buruk.Kesalahan orangtua dalam merespons sikap remaja terkadang mengarah kepada pengekangan.Tindakan ini akan membuat potensi mereka tumpul,tidak berkembang, dan banyak di antara mereka menjadi frustasi:

Pengekangan tentu akan merugikan perkembangan seorang remaja yang akan mengakibatkan:tidak mandiri dan tidak berani berkompetisi; tidak berani mengambil keputusan; tidak mampu melakukan lompatan besar dalam studi; tidak berani memulai sesuatu yang baru dan tidak bertanggung jawab;lebih senang dipimpin daripada memimpin; sulit bersosialisasi (inferior).Beberapa hal tersebut merupakan dampak akibat pengekangan yang berlebihan (Surbakti, 2008).

Orangtua perlu arif dan bijaksana dan perlu memberikan toleransi kepada anak remajanya.Adakalanya anak menyimpan hal yang buruk, namun biasanya mereka merasa tidak perlu lagi untuk menceritakan setiap peristiwa yang dialaminya kepada orangtua. Hal inilah yang disebut dengan gap antara orangtua dan anak-anak.

Menurut Susabda (2011),gap atau jurang pemisah terjadi karena kekurangtahuan orangtua tentang prinsip-prinsip pendidikan anak-anak yang berakibat renggannya hubungan antara orangtua dan anak-anak.Anak remaja cenderung mengungkapkan pengalamannya dengan teman sebaya bahkan akan lebih bersemangat dalam penyampaian.

Teman sebaya sudah pasti lebih memiliki kesamaan dengannya karena hidup dalam dunia yang sama.Di sinilah dituntut kesediaan orangtua untuk mempelajari dunia anak remaja agar mereka dapat melihat bahwa orangtuanya sungguh memahami pikirannya.

Di sisi lain perlu dipahami secara benar bahwa anak-anak adalah produk langsung dari orangtua dan bukan produk langsung dari pendidikan atau sekolah ataupun gereja. Tanggung jawab untuk membesarkan anak pada pundak orangtua dimulai dari keluarga.

Oleh karena itu perlu dimaknai keluarga sebagai tempat seseorang bertumbuh dan berkembang menjadi individu yang berkepribadian dan berkarakter (Surbakti,2008:251). Kehidupan keluarga dan cara orangtua membesarkan anak dalam keluarga akan berdampak langsung pada perkembangan anak.Sikap orangtua sangat menentukan pembentukan konsep dari anak tentang dirinya, tentang hidup dan terlebih tentang Tuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun