UIN Raden Mas Said Surakarta
Zahrotul Mu'arifah (212111082)
Hukum Ekonomi Syariah - 5 c
Identitas Buku:
Judul Buku                   : Yurisprudensi: Titik Puncak Positivisme Hukum
Penulis                       : Wayne Morrison, LLB, LLM, PhD
Penerjemah                  : Khozim
Diterjemahkan dari judul    : Jurisprudence: from the Greek to post-modernism
Penerbit                      : Nusamedia
Terbit digital                 : 2021
Dalam buku ini terdapat beberapa pokok pembahasan yang merupakan terjemahan karya dari pemikiran seorang Hart. Tidak hanya ide pemikirannya yang tertuang, tetapi Hart juga menyertakan perspektif tokoh lain, diantaranya Austin dan Ludwig Wittgenstein yang warisan pengetahuannya sangat berpengaruh bagi Hart.
Dikatakan bahwa zaman kehidupan masyarakat selalu disertai peraturan, hokum ataupun bukan, sudah tentu terdapat kemungkinan adanya ketegangan antar masyarakatnya yang di satu sisi menerima bahkan secara sukarela bekerjasama menjalankan peraturan, dan yang di sisi lain menolak peraturan dan hanya mematuhi dari sudut pandang eksternal dengan berpatokan pada kemungkinan hukuman. Dan sebagai pihak berwenang, kita harus seimbang dalam menyikapinya, tidak boleh mengesampingkan salah satu atau bahkan  kedua pihak ini
"The Concept of Law: Permata Yurisprudensi Modern, atau Kesaksian Zamannya" yang merupakan karya HLA Hart bertuliskan bahwa konflik dan paksaan asalah bagian dari jagat social hokum, tetapi alur utamanya menomorduakan unsur paksaan, perintah dan kebiasaan patuh di dalam hokum, mengganti gambaran kekuasaan dan kekerasan.
Di dalam buku ini Hart juga menjelaskan perubahan konsep positivitis awal tentang paksaan pihak penegak hokum dan membuat subyek merasa 'diwajibkan' melalui ancaman kekerasan agar tetap sah, menjadi gambaran tentang kewajiban normatif di pihak subyek hokum untuk mematuhi peraturan hukum. Selain itu, Hart juga mengerti bahwa positivisme pada mulanya telah salah mengerti watak dari kewajiban hokum dengan melihat legalitas sebagai sesuatu yang secara politis dikenakan pada tatanan social, yang tanpa itu maka akan kacau. Padahal sebenarnya legalitas adalah sesuatu yang berkembang dengan jalan evolusi melalui pertumbuhan system yang kompleks dari berbagai jenis peraturan. Atau dalam artian yang lebih singkat, Hart menaklukan kekerasan yang sebelumnya senantiasa menjadi bagian dari imajinasi kelembagaan legalitas liberal.
Di dalam buku yang menerjemahkan karya Hart ini juga menjelaskan bahwa tujuannya menulis The Concept of Law adalah untuk meneruskan pemahaman hukum, paksaan dan moralitas sebagai fenomena social yang berbeda namun terkait. Yang mana ditulis dengan kritik gencar terhadap model pendekatan positif yang bertolak dari pembacaannya atas karya Austin, yang disebut oleh Hart sebagai 'upaya paling jelas dan menyeluruh untuk menganalisis konsep hukum dari tinjauan yang tampak gamblang berupa elemen perintah dan kebiasaan'.
Di dalam treori imperativ Hart juga menampakkan beberapa kelemahan; diantaranya Hart mengklaim bahwa Austin gagal memahami kompleksitas legalitas karena gambaran Austin tentang hokum adalah gambaran tentang seseorang atau sekelompok orang yang mendesakkan kehendak mereka kepada yang lain, dalam artian melalui perintah dan sanksi. Disini Hart menarik satu pembedaan penting mengenai pandangan 'apakah perintah penjahat yang didukung ancaman kekerasan mirip dengan perintah petugas pemerintah? Jawabannya adalah:
Memberikan perintah berarti secara khas melaksanakan otoritas terhadap orang-orang, bukan kekuasaan untuk menimbulkan kerugian, dan meskipun bisa dipadukan dengan ancaman mendatangkan kerugian sebuah perintah pada pokoknya adalah seruan bukan untuk takut, melainkan untuk hormat kepada otoritas.
Dalam bukunya, Hart tidak hanya menolak kedudukan sejarah dari berbagai tulisan Austin, tetapi juga mengabaikan gagasan dasar Austin yang menyatakan bahwa semua hokum saling berkaitan.
Selain teori dalam karya Austin, Hart juga menyertakan karya Ludwig Wittgenstein yang memberikan pengaruh kuat padanya. Dimana dalam karya awalnya Wittgenstein percaya bahwa kata-kata berfungsi untuk menunjuk pada sesuatu (menggambarkan realitas). Menurut Hart, dengan memeriksa cara kita menggunakan berbagai istilah terkait hokum, maka kita dapat mendapatkan pengetahuan mengenai makna sesungguhnya. Karena teori Wittgenstein ini sangat mempegaruhi Hart, jadilah dia mengakhirinya dengan menggunakan kata 'hukum' untuk mengacu sebagai perkara kepatuhan kepada peraturan.
Dalam bukunya, Hart beranggapan bahwa semua kehidupan social melibatkan peraturan normative, dan mengajak kita untuk membayangkan bagaimana sebuah masyarakat tanpa badan legislative, pengadilan, atau petugas apapun. Hart juga menambah penjelasan bahwa meskipun akan ada banyak sekali norma-norma primer di antara berbagai masyarakat, pasti ada satu inti yang sama berupa 'peraturan yang jelas-jelas diperlukan untuk kehidupan sosial'.
Bagi Hart, hukum hanya terletak pada sejauh mana peraturannya membentuk system, dari situ konsep 'hukum' melibatkan dan memerlukan konsep 'sistem hukum' untuk mewadahinya. Syarat pertama dari adanya system hokum adalah berbentuk peraturan yang valid, harus secara umum dipatuhi. Yang kedua, peraturan sekunder pada sebuah system harus secara efektif diterima sebagai standar public yang merupakan tindakan resmi oleh pihak berwenang.
Mengenal aspek eksternal hukum, yaitu supaya peraturan 'ada' ia harus memiliki konsekuensi bagi perilaku orang-orang yang menjadi subyeknya. Sedangkan untuk aspek internalnya adalah bahwa mereka memiliki sikap khas atau tanggapan subyektif tertentu; dimana yang diperlukan adalah sikap reflektif kritis terhadap bentuk perilaku tertentu.
Perbedaan pemikiran antara Austin dengan Hart telah menemui ujung, yang menurut Austin bahwa di dalam masyarakat yang ideal orang-orang akan gercerahkan dan menerima rasionalitas peraturan. Sedangkan menurut Hart, di dalam masyarakat yang sehat orang-orag akan menerima peraturan sebagai standar umum perilaku dan pengakuan akan kewajiban untuk mematuhinya.
Salah satu ciri umum positivisme hokum adalah adanya perhatian kepada upaya mengidentifikasi apa yang menjadikan sebuah peraturan itu menjadi valid. Karena sebuah peraturan hanya akan teridentifikasi valid jika mengandung konsekuensi. Di dalam sebuah system peraturan yang operatif, peraturan yang valid adalah yang oleh hakim akan diterapkan dan seharusnya ditetapkan di dalam kasus yang tepat, dan berkenaan dengan subyek hokum, dan menciptakan anggapan bahwa itu harus dipatuhi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H