Banyak yang mengatakan bahwa cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya. Namun, bagiku itu pengecualian. Ayahku masih ada, namun tak terasa kehangatannya. Ia memang hadir, namun tak terlihat. Begitulah aku mengenal sosok ayahku.
Â
Namaku Mega, aku adalah anak perempuan pertama yang mengarungi kehidupan tanpa merasakan kehangatan sosok ayah. Aku adalah gadis yang berusia dua puluh tahun. Menginjakkan kaki di salah satu kampus negeri terbaik yang berada di kotaku. Aku senang bergaul dan mudah beradaptasi dengan lingkungan di sekitarku. Temanku pun sangat banyak. Temanku mengira aku memang benar-benar ceria, seperti tak punya masalah dalam hidup. Namun, justru sebaliknya. Aku sengaja menjadi sosok ceria demi menutupi segala luka yang tergores dalam hatiku.
Â
"Ini uang saku untuk sebulan ini ya, Kak," Ucap ibuku sembari memberikan lima lembar uang seratus ribu padaku.
Â
"Iya, Bu. Terima kasih, ya. Aku sayang ibu," Jawabku.
Â
Jika ada penghargaan ibu terbaik di dunia, ibuku pasti menjadi pemenangnya. Terkadang aku heran, hati ibuku terbuat dari apa, hingga bisa sebaik itu. Ibu bekerja banting tulang demi memenuhi kebutuhanku, adikku, dan ayahku. Bukan karena ayahku sakit dan tak bisa menjadi tulang punggung keluarga, bukan. Namun karena gaji ayahku tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga kami. Gaji ayahku sangat kecil dan tak mungkin bisa menghidupi istri dan kedua anaknya. Ibuku adalah seorang PNS yang gajinya cukup untuk menghidupi kami.
Â
Aku kesal dengan ayahku, usianya belum begitu tua, namun ia sangat malas untuk mencari nafkah. Ia hanya bergantung dengan satu profesinya, seorang guru honorer yang gajinya sangat kecil. Menurutku, jika memang ia sadar akan perannya sebagai seorang ayah, ia pasti akan mengusahakan berbagai cara untuk bisa menghidupi istri dan anaknya. Namun kenyataannya, ia hanya berpangku tangan pada ibuku. Aku tak tega melihat ibu banting tulang sendirian, hingga pernah sakit-sakitan.Â
Pernah aku meminta izin padanya untuk mencari pekerjaan agar bisa membantu perekonomian keluarga karena ayahku yang sangat malas mencari nafkah, namun ibuku tidak mengizinkan, ia memintaku untuk fokus menyelesaikan pendidikan saja. Aku pun tak bisa menolaknya.
Â
Pernah suatu ketika, aku harus menginap di rumah temanku, Arin karena tugas kelompok yang begitu banyak dan tak mungkin selesai hanya dalam satu malam. Arin adalah anak perempuan terakhir dari lima bersaudara. Ayahnya adalah seorang dokter, sedangkan ibunya adalah ibu rumah tangga.Â
Ketika menjelang malam, Arin memberitahukan kepada kami jika ayahnya mengirim pesan untuknya, ia menunjukkan isi pesan dari ayahnya. Aku pun melihat isi pesan tersebut. Inti dari pesan tersebut adalah ayah Arin bertanya padanya apakah kami sudah makan atau belum dan ayahnya berniat untuk membelikan kami sate jika kami belum makan. Air mata tak bisa lagi terbendung, pecah. Aku menangis. Teman-temanku bingung kenapa aku tiba-tiba menangis.
Â
"Megaaa, kamu kenapa??? Ihhh jangan nangis, Meg," Ucap salah satu temanku.
Â
"Megaaaa, are you ok? Kamu nangis karena kelaperan yaa daritadi kita belum makan. Aduhh... maaf ya, Mega. Aku bilang Papa dulu biar kita dibeliin sate, ya?" Ucap Arin.
Â
"E.. e...engga, Rin. Aku gak nangis karena laper kok," Jawabku sesenggukan.
Â
"What? Terus kenapaaa? Kenapa tiba-tiba nangis ihhh?," Arin menjawab dengan panik.
Â
"I envy you!" Jawabku singkat.
Â
"Envy? For what" Jawab Arin kebingungan.
Â
Aku terdiam. Aku tak mungkin menceritakan tentang ayahku pada mereka. Aku tidak ingin mereka merasakan kesedihanku. Aku selalu ingin membuat orang-orang di sampingku bahagia. Bagiku, kebahagiaan mereka adalah kebahagiaanku.
Â
"Emmm...engga gak papa. Aku cuma capek aja ini tugas ga kelar-kelar. Yuk kelarin yuk, semangat gais!" Ucapku berusaha menutupi kesedihanku dan bergegas menghadap laptop untuk melanjutkan tugas kami.
Â
Aku memang senang bercerita kepada orang lain, tetapi tidak untuk persoalan keluarga. Namun, terkadang aku juga ingin meluapkannya kepada orang lain. Aku membutuhkan telinga untuk mendengarkan ceritaku tentang ayahku. Lelah rasanya jika terus memendam.
Â
Aku tidak mengerti lagi dengan jalan pikir ayahku. Setiap pulang dari pekerjaannya, ia hanya bersantai-santai sambil tiduran di sofa dengan memainkan ponselnya bak seorang raja. Ketika ia sedang libur dari pekerjaan pun, aktivitasnya hanya seperti itu. Aku muak melihat kelakuannya. Perilakunya tak ada yang mencerminkan sosok seorang ayah yang baik.
Â
Jika di rumah sedang tidak ada makanan, ia pun marah. Ia sering sekali berkata "Kok gak ada makan sih? Laper dari tadi belum makan, mbok ya masak-masak sana!"
Â
Kurang lebih begitulah perkataannya. Mulutnya sangat enteng jika mencaci maki. Tidak sadar diri. Dia saja tidak pernah memberikan uang kepada ibuku, namun permintaannya sudah seperti seorang ayah yang selalu memberikan uang bulanan pada istrinya. Semena-mena.
Â
Mengingat segala kelakuan ayahku ketika di rumah, membuatku malas untuk berlama-lama di rumah. Aku sering pergi bersama teman-temanku, entah untuk mengerjakan tugas, atau hanya sekadar berbincang santai di kafe. Setidaknya, hal itu bisa membuatku sejenak melupakan kelakuan ayahku yang menyebalkan.
Â
Kurangnya perhatian dan kasih sayang dari seorang ayah, membuatku tumbuh menjadi anak yang haus akan perhatian dan kasih sayang dari seorang laki-laki. Hal ini membuatku seringkali bergonta-ganti pasangan. Namun bukan menjadi seorang pacar, aku menjadikan mereka TTS (Teman Tapi Mesra). Bukan karena aku mudah bosan, tetapi karena aku belum menemukan sosok lelaki yang aku impikan.
Â
Aku juga aktif di salah satu organisasi di kampusku, sehingga aku cukup dikenal oleh banyak teman-teman seangkatan dan kating (kakak tingkat). Hal itu membuatku dekat dengan ketua BEM di kampusku, dia adalah Kak Angga. Awal perkenalan kami adalah ketika rapat besar kolaborasi antarorganisasi untuk membuat lomba dalam rangka Dies Natalis kampus. Aku dan Kak Angga memiliki banyak kesamaan, kami adalah anak yang terkenal ceria dan senang bercanda. Mungkin itulah salah satu faktor yang membuat kami bisa menjadi dekat.
Â
Kak Angga adalah sosok lelaki yang baik. Ia cukup dewasa dan bijak ketika menyelesaikan suatu persoalan. Selain itu, aku menemukan kenyamanan yang belum pernah aku rasakan ketika berada di dekat seorang laki-laki, bahkan ayahku sendiri. Kak Angga juga sering memberikan perhatiannya kepadaku. Ketika kami bertemu di kampus, ia selalu mengusap kepalaku.
Â
"Gimanaa hari ini, cantik? Ada cerita apa nihh??"
Â
Seringkali ia berkata seperti itu sembari mengelus kepalaku. Hal ini membuatku merasa aman dan nyaman jika bersamanya. Tak hanya itu, ia juga sering mengajakku untuk makan di luar dan mencoba berbagai kuliner baru yang ada di sekitar kampus kami. Kedekatanku dengan Kak Angga membuatku merasa seperti berkelana ke penjuru dunia karena banyak sekali hal-hal dan tempat-tempat baru yang aku ketahui karena Kak Angga. Dia juga sering mentraktirku ketika kami makan bersama.
Â
"Kak, kenapa sih sering banget traktir aku? kan aku juga bisa bayar sendiri, uangku juga masih banyak kok," Tanyaku.
Â
*Kak Angga terkekeh mendengar pertanyaanku
Â
"Dengar yaa, cantikk.. aku itu cowok, kamu itu cewek. Aku gak akan mungkin ngebiarin kamu bayar sendiri makanan atau apapun yang kamu mau, selagi uang aku masih, biar aku yang bayarin kamu, ya. Itu salah satu bentuk tanggung jawabku sebagai seorang cowok, apalagi aku perginya sama cewek cantik nan imut ini," Jawab Kak Angga sembari mengusap kepalaku.
Â
"Kenapa gitu? Kan kita cuma temen, bukan pacar. Gak seharusnya Kak Angga bayarin aku," Jawabku
Â
"Ohhh temen ya, menurut kamu? Kalau aku sih nganggep kamu itu pacar, ya walaupun gak ada surat tertulis bermaterai yang isinya tanda tangan kita kalau kita pacaran sih, tapi apa kamu ga ngerasa kalau selama ini kita udah kayak orang pacaran?" Jawabnya dengan serius. Kali ini ia memasang raut wajah serius.
Â
"Udah gak usah dijawab. Mau pacar apa bukan, aku bakal selalu ada buat kamu, apa pun yang pengen kamu certain ke aku, silakan banget, feel free buat nampung semua keluh kesah kamu. Oiya, inget ya, kamu itu gak sendirian. Jangan pernah ngerasa sendiri, ya! Banyak banget yang sayang sama kamu, terutama aku. Aku pengennya liat kamu bisa bahagia terus, gak mau liat kamu sedih. Janji ya sama aku, jangan pernah sedih! Kalau kamu sedih, aku juga sedih," Timpalnya.
Â
Aku terkejut dengan perkataan Kak Angga. Aku tidak pernah menyangka akan merasakan perhatian dan kasih sayang dari seorang laki-laki sebaik Kak Angga. Kak Angga jauh lebih bisa menghargai dan mengerti keadaanku dibanding ayahku sendiri. Justru cinta dan kasih sayang seorang laki-laki yang aku rasakan datang dari lelaki yang baru aku kenal beberapa bulan, bukan dari ayahku yang sudah bersamaku selama ini.
Â
Tidak ada alasan untuk aku menyayangimu, ayah. Tidak ada cinta yang aku rasakan darimu, ayah. Tidak ada perhatian yang aku terima darimu, ayah. Tidak ada kalimat penyemangat yang terlontar dari mulutmu untukku, ayah. Serta tidak ada alasan untuk aku tidak membencimu, ayah.
Â
-Tamat-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H