Gus Baha mengurai maksud dari kisah ini. Dimana sebagian besar orang membenci pelaku maksiat karena mereka bukanlah keluarganya sendiri.
"Biar bagaimanapun kamu membenci orang yang maksiat, itu karena yang bermaksiat bukan keluargamu. Lalu bagaimana jika yang bermaksiat itu anakmu atau keluargamu," papar Gus Baha yang juga Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini.
Gus Baha menjelaskan, sekarang misalkan Mustofa melihat perempuan bercelana pendek naik moge. Dia lalu menyindir anak siapa itu.
"Misal Mustafa weruh cah wedok numpak motor liwat ndalu ndalu. Anake sopo iku cah wedok numpak moge katokan cekak. Tapi pas dikabari, lha niku putune njenengan. Astaghfirullah sepurane sing ageng Gusti, Gusti," ungkap Gus Baha dalam logat bahasa Jawa.
Gus Baha menyimpulkan seseorang semangat menghujat pelaku maksiat, pastilah karena dia bukanlah keluarganya. Namun jika yang bermaksiat adalah keluarganya sendiri tentu dia akan bersikap berbeda.
"Lalu bagaimana bila yang maksiat adalah keluarganya. Tentu dia tidak akan menghujat. Berarti letak benci seseorang kepada pelaku maksiat karena dia pelaku maksiat atau plus karena pelakunya orang lain, bukan keluarganya," tanya Gus Baha.
Sementara pelaku maksiat, tutur Gus Baha masih diharapkan untuk bertaubat memperbaiki kesalahannya. Karena bisa jadi saat ini, seseorang adalah pelaku maksiat. Di masa datang dia mendapat hidayah lalu bertaubat dan menjadi taat. (soliha)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H