Dibalik ruang kelas yang penuh dengan semangat dan keceriaan, tersimpan kisah sedih para guru yang harus menangis dan memohon untuk sekedar tidak diabaikan oleh para pemangku jabatan. Kisah para pendidik di Indonesia bercerita tentang sebuah dedikasi dari orang-orang yang memilih untuk mengabdikan hidup mereka demi tujuan mulia, namun seringkali luput dari perhatian dan tertutupi oleh hiruk pikuk kehidupan yang tiada henti.Â
Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa dalam sistem pendidikan Indonesia, bekerja tanpa lelah di belakang layar untuk memastikan bahwa generasi penerus bangsa dibekali dengan keterampilan dan pengetahuan demi menyongsong masa depan. Namun sangat disayangkan bahwa memang Kurangnya apresiasi pemerintah terhadap tenaga pendidik di Indonesia merupakan satu masalah serius, yang memiliki konsekuensi luas bagi sistem pendidikan negara dan masa depan anak-anak bangsa.Â
Kegagalan pemerintah dalam memberikan dukungan dan sumber daya yang memadai, termasuk kondisi kerja yang buruk dan kesempatan pengembangan profesional yang terbatas, semakin memperparah masalah tersebut. Kurangnya apresiasi menjadi mendorong tingkat pergantian guru yang tinggi.Â
Pengabaian pemerintah terhadap kesejahteraan guru dan kurangnya pengakuan atas kontribusi mereka terhadap pendidikan juga melanggengkan budaya rendahnya semangat kerja dan ketidakpuasan di antara para tenaga pendidik. kondisi ini dapat mengakibatkan siklus kekurangan guru yang terus menerus yang berdampak negatif pada kualitas pendidikan di Indonesia. Kekurangan guru yang berkualitas dapat menyebabkan penurunan kualitas pendidikan, karena siswa tidak menerima pengajaran yang terbaik. Hal ini dapat  menyebabkan kinerja akademik dan hasil pendidikan yang lebih rendah.
Dalam narasi ini, banyak sekali kisah-kisah pilu yang dialami oleh guru-guru di Indonesia. Banyak sekali guru honorer yang bekerja tanpa lelah untuk memberikan pendidikan berkualitas meskipun dibayar dengan upah yang sangat rendah, dan sering kali harus kewalahan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.Â
Salah satu kasus yang menyoroti perjuangan guru honorer di Indonesia adalah kasus Hervina, seorang guru dari Bone, Sulawesi Selatan. Setelah 16 tahun mengabdi, Hervina menghadapi kesulitan keuangan yang parah dan secara terbuka membagikan total gajinya yang hanya sebesar Rp700.000 selama empat bulan di media sosial. Â Kasus lainnya yaitu dialami oleh Emen Suparman, seorang guru honorer di Garut, Jawa Barat, yang telah mengabdi selama 40 tahun.Â
Meski telah mendedikasikan dirinya, Emen hanya mendapatkan gaji bulanan sebesar Rp500.000 dari dua lembaga tempat ia bekerja. Kisah Emen dan hervina tersebut mewakili ketidakadilan yang diderita oleh banyak guru honorer di Indonesia, yang meskipun telah mengabdi selama bertahun-tahun dan memberikan kontribusi signifikan, masih menghadapi kesulitan ekonomi dan kurangnya perhatian dari pemerintah. Narasi ini menggugah banyak orang dan mengundang simpati dari para netizen yang berharap pemerintah lebih memperhatikan nasib para pengajar honorer.
Ironisnya, tanggapan pemerintah terhadap situasi tersebut tidaklah sesuai dengan apa yang diharapkan. Pihak yang berwenang bukan saja tidak mengatasi masalah mendasar dari upah rendah namun juga  ketidakpastian kerja yang melanda para guru honorer di seluruh Indonesia. Kurangnya rencana pemerintah yang komprehensif untuk mendukung pengembangan karir dan masa depan para pendidik ini terus membuat banyak dari mereka berada dalam posisi yang tidak menentu, memaksa mereka untuk mencari pekerjaan tambahan untuk bertahan hidup sembari tetap berkomitmen pada murid-murid mereka, karena kecintaan mereka pada profesi mulia tersebut. Kasus ini mencerminkan masalah sistemik yang luas dalam sistem pendidikan di Indonesia, di mana kontribusi guru honorer sering diabaikan dan kurang dihargai.
Kisah-kisah pendidik yang kurang dihargai di Indonesia memberikan gambaran suram tentang sebuah profesi yang sangat penting namun seringkali diabaikan. Guru-guru seperti Ermen dan Hervina, yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan gaji yang tidak seberapa, menjadi contoh pengabaian sistemik yang dihadapi oleh banyak orang di lapangan. Terlepas dari komitmen mereka yang teguh untuk membentuk pikiran generasi masa depan, para pendidik ini sering kali menemukan diri mereka dalam siklus kesulitan keuangan dan moral yang rendah, yang diperparah oleh pemerintah yang gagal mengakui kontribusi mereka.
 Menggarisbawahi urgensi untuk mengatasi masalah ini, tanpa dukungan dan penghargaan yang memadai, kualitas pendidikan di Indonesia terancam, sehingga banyak siswa yang tidak mendapatkan bimbingan yang mereka butuhkan. Kurangnya pengakuan dan remunerasi yang adil tidak hanya mempengaruhi semangat kerja guru, tetapi juga mengancam kualitas pendidikan di Indonesia secara keseluruhan. Â
Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran akan masa depan generasi muda bangsa. Sangat penting bagi pemerintah untuk mengambil tindakan yang berarti untuk meningkatkan dan menghargai para pendidik, memastikan bahwa mereka menerima pengakuan dan sumber daya yang diperlukan untuk berkembang dalam peran penting mereka. penting juga untuk meningkatkan retensi guru dan memastikan sistem pendidikan yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H