Mohon tunggu...
Zahra Nur Fatma
Zahra Nur Fatma Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Sosiologi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Krisis Agraria di Negara Agraris

25 Desember 2016   12:00 Diperbarui: 25 Desember 2016   12:09 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia merupakan negara agraris di mana kepemilikan tanah memiliki kedudukan yang penting bagi kehidupan warga negara terutama untuk faktor produksi. Tanah memiliki peran yang begitu krusial bagi warga negara Indonesia sehingga tanah menjadi penentu kesejahteraan warga, semakin banyak tanah yang dimiliki maka semakin sejahteralah kehidupannya. Menurut Lukman Setrisno dalam bukunya menuju masyarakat partisipatif kebutuhan pokok tanah orang Indonesia ada tiga. Pertama tanah digunakan untuk memperoleh pendapatan guna mencukupi kebutuhan hidup. Kedua, tanah digunakan untuk membangun rumah sebagai tempat tinggal. Dan yang ketiga, tanah digunakan untuk tempat tinggalnya yang terakhir setelah kehidupan.

Meskipun tanah merupakan kebutuhan dasar warna negara Indonesia, tidak semua orang memiliki tanah. Terdapat ketidak merataan kepemilikan tanah, contohnya saja ada yang memiliki tanah lebih dari satu sementara ada juga yang sama sekali tidak memiliki tanah. Sehingga bagi pihak yang tidak memilki tanah, ia harus menggarap atau menyewa tanah kepada pemilik tanah atau biasanya disebut tuan tanah. Untuk mengatasi permasalahn tersebut, pemerintah sejak tahun 1960 mengeluarkan dua buah undang-undang, yaitu UU Pokok Agraria dan UU Bagi Hasil. Akan tetapi dalam praktiknya dua UU tersebut belum mencapai tujuan yang diinginkan.

Adanya ketidak merataan kepemilikan tanah inilah yang sering kali menimbulkan konflik akibat hubungan khusus patron client, antara pemiliki tanah dengan penggarap. Di mana sifat dari konflik ini hanya terjadi di dalam internal mereka saja. Namun, saat ini konflik sudah berubah sifatnya, konflik bukan lagi hubungan antara pemilik dan penggarap tetapi konflik antara pemilik tanah dengan pemilik modal besar. Mirisnya lagi, konflik yang saat ini sering terjadi konflik antara pemilik tanah melawan pemerintah. Artinya, yang menjadi permasalahan besar saat ini adalah bagaimana pihak pemiliki tanah mempertahankan hak miliknya dari pihak yang ingin mendapatkan tanahnya. Memisahkan rakyat dari tanahnya sama saja memisahkan rakyat dari negaranya.

Jika seharusnya pemerintah menjadi pihak yang netral, bahkan seharusnya menjadi pihak yang berada di sisi rakyat, kini pemerintah menjadi pihak yang tersangkut dalam persoalan. Keterlibatan pemerintah dalam persoalan ini tentu tidak lepas dari kepentingan proyek-proyek pembangunan bahkan proyek pembangunan wisata yang menganak tirikan masyarakat lokal.

Jika pembangunan-pembangunan tersebut ditujukan untuk kepentingan rakyat, di mana rakyat ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan maka pembangunan sah-sah saja. Tetapi, yang terjadi saat ini adalah proyek pembangunan sama sekali tidak memiliki makna bagi rakyat baik dari segi ekonomi maupun sosial. Maka tidak heran, jika krisis-krisis agraria menjadi kejadian yang sedang marak terjadi di negara agraris ini. Oh negri ku~

Daftar pustaka:

Soertrisno, lukman. 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun