Kasus mengenai seorang balita berusia 3 tahun di Samarinda, Kalimantan Timur, yang awalnya dikira kesurupan ternyata positif mengonsumsi narkoba, telah mengundang perhatian publik dan menjadi isu yang sangat memprihatinkan. Peristiwa ini tidak hanya menyorot mengenai kesehatan dan kesejahteraan sang anak, tetapi juga mengarah pada pertanyaan-pertanyaan mengenai bagaimana sistem hukum Indonesia dalam melindungi hak-hak anak dan menangani kasus penyalahgunaan narkoba yang melibatkan anak-anak. Apa saja undang-undang yang seharusnya ditegakkan dalam kasus ini dan bagaimana proses peradilan hukumnya harus dilakukan? Selain itu, peran orang tua dan pemerintah dalam mencegah dan menangani kasus serupa juga menjadi sorotan penting.
Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014)
Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014) merupakan landasan hukum utama dalam melindungi hak-hak anak di Indonesia. Undang-undang ini memberikan jaminan dan perlindungan komprehensif bagi anak-anak, termasuk dalam kasus penyalahgunaan narkoba yang melibatkan anak-anak.
- Pasal 59 mengatur bahwa pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, termasuk anak yang berhadapan dengan hukum.
- Pasal 67AÂ menyatakan anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya berhak mendapatkan rehabilitasi medis dan sosial.
- Pasal 76C melarang setiap orang dari lingkungan keluarga, pengasuh, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, aparat penegak hukum, lembaga sosial, atau masyarakat untuk menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi, atau distribusi narkotika dan psikotropika.
Undang-undang ini memberikan kerangka hukum yang kuat untuk melindungi anak-anak dari segala bentuk penyalahgunaan narkoba dan menjamin hak-hak mereka untuk mendapatkan rehabilitasi medis dan sosial. Penerapan undang-undang ini secara konsisten dan tegas akan sangat membantu dalam menangani kasus-kasus serupa di masa depan.
Undang-Undang Narkotika (UU No. 35 Tahun 2009)
Undang-Undang Narkotika (UU No. 35 Tahun 2009) merupakan landasan hukum utama dalam penanganan penyalahgunaan narkotika di Indonesia, termasuk dalam kasus yang melibatkan anak-anak. Undang-undang ini mengatur berbagai ketentuan penting terkait narkotika, mulai dari penggolongan narkotika, persyaratan penggunaan, sanksi pidana, hingga upaya rehabilitasi.
Beberapa pasal penting dalam UU Narkotika yang berkaitan dengan kasus balita di Samarinda ini antara lain:
- Pasal 55: Setiap orang yang dengan sengaja menyuruh, memberi, atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memudahkan perbuatan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan penyalahgunaan narkotika, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
- Pasal 128: Orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur, wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi.
- Pasal 133: Dalam hal penyalahguna narkotika adalah anak di bawah umur, orang tua atau wali dari anak tersebut wajib mengikuti seluruh proses pembinaan dan/atau pengobatan dan/atau rehabilitasi.
Dengan adanya pasal-pasal tersebut, UU Narkotika memberikan landasan hukum yang kuat untuk menindak tegas tindak pidana narkotika yang melibatkan anak-anak, serta mewajibkan orang tua atau wali untuk bertanggung jawab dalam melakukan rehabilitasi bagi anak yang menjadi pecandu narkotika.
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU No. 11 Tahun 2012)
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU No. 11 Tahun 2012) menjadi landasan hukum penting dalam menangani kasus-kasus pidana yang melibatkan anak-anak, termasuk dalam kasus penyalahgunaan narkoba oleh balita di Samarinda. Undang-undang ini menekankan pada upaya perlindungan, pembinaan, dan rehabilitasi bagi anak yang berhadapan dengan hukum, dengan tetap menjunjung tinggi hak-hak anak.
- Pasal 3Â menegaskan bahwa setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak atas perlindungan dari upaya pembalasan, perlakuan diskriminatif, kekerasan, dan pelanggaran hak asasi manusia.
- Pasal 6Â menyatakan bahwa setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan rehabilitasi, baik fisik, mental, maupun sosial.
- Pasal 16 ayat (3) mengatur bahwa dalam hal anak belum berusia 12 (dua belas) tahun diduga melakukan atau diduga turut serta melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk: (a) menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau (b) mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
- Pasal 82Â mengatur tentang tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak yang berkonflik dengan hukum, seperti pengembalian kepada orang tua/Wali, penyerahan kepada seseorang, perawatan di rumah sakit jiwa, penjatuhan batasan kebebasan gerak, atau penyerahan kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan.
Dengan adanya undang-undang ini, proses peradilan pidana anak diharapkan dapat berjalan lebih adil, humanis, dan berorientasi pada upaya pembinaan serta rehabilitasi, bukan semata-mata pembalasan. Hal ini sejalan dengan semangat perlindungan anak dan akan sangat membantu dalam menangani kasus-kasus serupa di masa depan.
Tanggung Jawab Orang Tua dalam Pengasuhan Anak
 terutama dalam kasus di Samarinda di mana seorang balita berusia 3 tahun terkena narkoba, menjadi fokus utama. Sebagai figur yang bertanggung jawab paling besar terhadap kesejahteraan dan pertumbuhan anak, orang tua memiliki tanggung jawab hukum untuk memastikan hak-hak dasar anak terpenuhi, termasuk aspek kesehatan dan perlindungan dari risiko bahaya. Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014) mengamanatkan bahwa orang tua harus mengasuh, merawat, mendidik, dan melindungi anak mereka, serta memastikan perkembangan sesuai dengan potensi dan minat mereka.
Namun, dalam kasus ini, orang tua diduga gagal dalam mengawasi dan melindungi anak dari paparan bahaya narkoba. Pasal 77B UU Perlindungan Anak menyatakan bahwa orang tua yang secara sengaja melalaikan kewajibannya hingga membahayakan anak, dapat dihukum dengan penjara hingga 5 tahun dan/atau denda maksimal Rp100 juta, jika hal tersebut mengakibatkan korban jiwa, luka berat, gangguan pertumbuhan anak, atau penderitaan fisik atau mental.
Lebih lanjut, Pasal 128 UU Narkotika mengharuskan orang tua atau wali pecandu narkoba di bawah umur untuk melaporkan kondisi anak mereka dan membawanya ke pusat rehabilitasi. Kelalaian dalam langkah ini juga bisa berujung pada sanksi pidana. Oleh karena itu, peran orang tua dalam mengawasi, mencegah, dan menangani kasus penyalahgunaan narkoba pada anak sangat penting.
Orang tua harus selalu memperhatikan gejala dan perubahan pada anak, membangun komunikasi yang terbuka, dan bekerja sama dengan sekolah, komunitas, dan penegak hukum untuk mencegah serta menangani masalah serupa. Komitmen orang tua dalam menjaga keselamatan dan kesejahteraan anak-anak mereka adalah kunci untuk mengatasi penyalahgunaan narkoba di kalangan anak-anak.
Sanksi Hukum bagi Pelaku Penyalahgunaan Narkoba terhadap Anak
Dalam menangani kasus penyalahgunaan narkoba yang melibatkan anak-anak, hukum di Indonesia memberikan sanksi yang tegas dan berat bagi para pelakunya. Undang-Undang Narkotika (UU No. 35 Tahun 2009) secara khusus mengatur tentang hukuman bagi orang yang dengan sengaja menyuruh, memberi, atau menjanjikan sesuatu kepada anak untuk melakukan penyalahgunaan narkotika. Sanksi yang bisa dijatuhkan berupa pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun, serta denda paling sedikit Rp 2 miliar dan paling banyak Rp 20 miliar.
Selain itu, Pasal 55 UU Narkotika juga menegaskan bahwa orang tua atau wali dari anak yang menjadi pecandu narkotika wajib melaporkan kondisi anaknya kepada pusat kesehatan atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk pemerintah. Apabila orang tua atau wali lalai melakukan kewajiban ini, mereka dapat dikenai sanksi pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 50 juta.
Tidak hanya orang tua, pihak-pihak lain yang terbukti turut serta mengupayakan, memudahkan, atau melibatkan anak dalam penyalahgunaan narkoba juga dapat dikenakan sanksi pidana yang berat. Misalnya, guru, petugas kesehatan, atau pekerja sosial yang dengan sengaja membiarkan atau menyulut keterlibatan anak dalam narkoba dapat diancam hukuman yang sama seperti orang tua.
Penerapan sanksi hukum yang tegas ini diharapkan dapat memberikan efek jera dan mencegah terjadinya kasus serupa di masa depan. Selain itu, penjatuhan hukuman yang sesuai dengan tingkat kesalahan pelaku juga diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Akan tetapi, penting pula untuk memastikan bahwa proses hukum yang berjalan tetap memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dan memberikan upaya rehabilitasi yang komprehensif bagi mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H