Mohon tunggu...
Zahra HP
Zahra HP Mohon Tunggu... -

13 tahun, labil, pemuja cinta pertama :')

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surat Kaleng Untuk Seniorku

13 Februari 2012   07:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:43 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Halo, kakak kelasku. Apa kabarmu, kak? Baik-baik, bukan? Sudah lama sekali rasanya tak bertemu denganmu, dan... hey! Aku merindukanmu, ternyata. Hmm...

Maaf kalau aku lancang menuliskan surat tanpa identitas ini kepadamu. Sedikit info saja, aku adalah adik kelasmu. Lebih tepatnya, aku bersekolah di sekolah yang sama denganmu dahulu. Aku-pun merupakan salah satu follower twittermu, kak. Orang yang selalu menunggu update terbaru darimu. Orang yang selalu mencuri kesempatan untuk membuka profilmu. Juniormu, yang senang sekali mengamati avatarmu.

Kau tahu, tidak? Sebelum aku benar-benar merasakan ini, aku mengalami hari-hari dimana aku senang sekali membicarakan betapa buruknya kamu. Ya, fisikmu memang tak semenarik teman-temanmu. Jika berjalan bersama teman-temanmu, kau terlihat paling ‘menonjol’. Tubuh kecilmu, kulit gelapmu, membuatmu terasa tak enak dipandang mata dibanding dengan teman-temanmu itu, yang rata-rata bertubuh tinggi dan berkulit putih. Itu membuatku sering membicarakan kekuranganmu. Meremehkanmu.

Aku tak tahu pasti sejak kapan, tetapi aku bisa merasakan ada yang berbeda saat aku membicarakanmu. Ada yang berubah, kak. Aku tak bebas lagi menjadikanmu bahan banyolanku. Rasanya... ada sesuatu dari dalam diriku yang membuatku merasa harus berhenti berbuat seperti itu. Astaga! Demi Tuhan, ini... tak wajar sekali! Bukan, ini bukan perasaan bersalah atau semacamnya. Entahlah... aku tak dapat mendeskripsikan macam apa itu. Yang ku tahu, sejak saat itu aku menyadari ada sisi lain dalam dirimu, yang entah bagaimana mampu menimbulkan gejolak aneh pada diriku. Gejolak yang sama ketika aku pertama bertemu dengan mantan kekasihku, satu tahun lalu.

Sejak hari itu —hari dimana aku tak lagi memandangmu dari perspektif yang sama seperti dulu— aku tak lagi membicarakanmu dengan nada yang sama seperti dulu. Aku tak lagi meremehkanmu seperti kebiasaanku dulu. Aku lebih banyak diam, menjernihkan pikiranku yang diburamkan oleh imaji dirimu. Kenyataan bahwa aku mulai memikirkanmu, seketika membuatku terpaku. Benarkah aku jatuh cinta denganmu, kak? Sial! Mengapa hanya pertanyaan sesederhana itu pipiku terasa panas? Demi Tuhan, ini absurd! Bagaimana bisa aku yang dulu selalu meremehkanmu, tiba-tiba berbalik intens memikirkanmu menjelang masa lelapku?

Aku mencoba mencari jawaban mengapa sekarang memikirkanmu menjadi sesuatu yang menjadi rutinitasku. Ini susah dijelaskan. Berkali-kali kugumamkan bahwa ini hanya perasaan sesaat, perasaan yang timbul dikala terlalu rutin membicarakan. Namun aku salah. Perasaan itu masih tetap menghantui. Tak goyah, meski berkali-kali kusanggah. Aduuuh... aku sebal kala sedang mengerjakan tugas sekolahku, imaji senyummu seketika tercetak dalam lembar bukuku. Ku kerjapkan mataku, mencoba menjernihkan pikiranku yang mulai melantur tak teratur. Namun yang ada justru kepingan-kepingan senyummu, yang membuat ribuan kupu-kupu seakan menggelitik manja perutku. Mamaaaaaaa, bantu aku! Ku rasa aku terjerembab dalam sebuah kenyataan perasaan yang sama sekali tak kuinginkan. Tuhan, karma-kah ini? Apakah ini buah dari pandangan miringku tentangmu dulu, kak?

Kak, aku malu mengakui ini, tapi kurasa aku harus mengatakannya. Tiba-tiba saja, semua pandangan miringku mengabur. Kau biasa saja, sederhana, sangat sangat sangat jauh dari kata sempurna. Tubuh kecilmu tak lagi menjadi bahan olok-olokanku. Kulit gelapmu memang bukan sesuatu yang indah dipandang mata, namun entah mengapa terlihat begitu mempesona. Dan... olala! Kau-kah pemilik dua lesung pipi itu, kak? Astaga... harus kuakui, lesung pipi itu semakin mampu melelehkanku. Senyuman dengan dua lesung pipi itu, seakan menambah daya pikatmu. Berani bertaruh, mungkin aku tak mampu berdiri tegak kala berhadapan dengamu yang menyuguhkan senyum itu. Sepertinya... aku jatuh cinta denganmu, kak.

Ya, kini aku mampu menjawab semua tanda tanya besar tentang perasaanku padamu, kak. Aku terkena syndrom gagu saat melihat senyummu. Aku tak lagi meremehkanmu, karena sekarang semua berbalik menjadi aku yang tanpa ragu mengatakan aku mengagumimu. Perasaanku bisa tiba-tiba menjadi lebih baik ketika memikirkanmu, kak. Merindukanmu menjadi sesuatu yang terasa wajar, yang belakangan ku tahu.

Hai, kakak kelasku. Benar, aku menyukaimu. Mungkin aku terlambat menyadari, tapi aku percaya kalau aku memang terjerat pesonamu. Semua terasa benar, tak lagi diragukan. Tak ada yang salah untuk cinta, bukan? Meskipun bermula dari aku yang suka meremehkanmu. Meskipun awalnya aku sama sekali tak mau mengakui kalau memang aku merindukanmu.

Mungkin kau tidak mengenalku sebelumnya, kak. Karena memang saat kita masih bersekolah dalam atap yang sama, aku pun tak mengenalmu dengan baik. Aku hanya tahu namamu. Hanya sebatas itu. Saat itu, aku masih remaja lugu yang pertama kali menginjak masa-masa putih biru. Dan kau adalah kakak kelasku, yang tengah sibuk dengan les ini-itu, juga tengah sibuk dengan soal-soal untuk persiapan ujian nasional. Aku jatuh cinta padamu, kak. Dan itu terjadi saat kau telah melanjutkan pendidikanmu, saat kau tak lagi mengenakan seragam putih biru. Astaga, itu adalah hal absurd yang kembali tercatat dalam sejarah hidupku. Aku tak mempedulikan kenyataan kalau kau tak lagi tercatat sebagai siswa di sekolahku. Aku tak mempedulikan kenyataan kalau kau sama sekali tak mengenalku. Ah... bukankah justru itu realita dalam masyarakat kita? Cinta datang dari hal sederhana, tak terduga, absurd, namun nyata.

Kak, apakah kau ingin tahu siapa sebenarnya aku? Aku tak akan memberi identitasapapun padamu. Biarlah sementara benakmu dijejali rasa penasaran yang ditimbulkan dari suratku . Hey, tunggu aku dua tahun lagi, kak, saat aku tercatat sebagai siswa di sekolah menengah yang sama denganmu. Nanti akan tiba saatnya, dimana kita akan bertemu dalam balutan putih abu-abu.

Pada sepotong malam dibawah rengkuhan pendar rembulan, Februari 2012

Dari wanita yang mentionnya masih kau abaikan.

Juniormu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun