Mohon tunggu...
Zahra Fauziah Rahmah
Zahra Fauziah Rahmah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia

Halo! Saya adalah seorang Mahasiswa Sastra Indonesia di Universitas Padjadjaran. Hobi membaca novel dan menonton series.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kasus Kekerasan di Perguruan Tinggi: Aman atau Rawan?

31 Juli 2023   20:14 Diperbarui: 31 Juli 2023   20:14 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan yang merendahkan, menghina, melecehkan, atau menyerang tubuh dan fungsi reproduksi seseorang karena ketimpangan relasi kuasa atau gender. 

Perbuatan ini dapat berakibat penderitaan psikis maupun fisik terhadap korban. Berdasarkan jenisnya, kekerasan seksual dapat digolongkan menjadi kekerasan seksual yang dilakukan secara langsung (verbal), fisik, nonfisik, dan melalui media sosial. 

Kekerasan Seksual di Indonesia saat ini menjadi isu yang terus-terusan diperbincangkan. Hal ini disebabkan oleh kasus kekerasan seksual yang terus bertambah setiap tahunnya. 

Berdasarkan CATAHU (Catatan Tahunan) yang dikeluarkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bahwa sepanjang tahun 2021 tercatat sebanyak 338.496 kasus kekerasan seksual. Hal ini menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual di Indonesia meningkat 50% dari tahun sebelumnya.

Kekerasan Seksual dapat terjadi di mana saja, salah satunya terjadi di lingkungan pendidikan. Komnas Perempuan memaparkan data bahwa perguruan tinggi menempati urutan pertama untuk kekerasan seksual di lingkungan pendidikan pada periode tahun 2015-2021. 

Beberapa penyebab terjadinya kasus kekerasan seksual di lingkungan universitas (kampus) salah satunya disebabkan oleh adanya relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan juga korban kekerasan seksual. Dengan adanya kekuasaan yang lebih tinggi dari korban, pelaku menggunakan kuasanya sehingga korban memiliki rasa takut untuk melaporkan kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku. 

Selain itu, budaya patriarki yang mengakar kuat di Indonesia menjadi salah satu penyebab kekerasan seksual. Perempuan dijadikan sebagai objek pemuas laki-laki yang menganggap bahwa kedudukan perempuan tidak setara dan tugas perempuan adalah hanya untuk memuaskan hasrat laki-laki. Pelaku kekerasan di tingkat universitas biasanya dilakukan oleh petinggi universitas, para aktivisme kampus, seperti fungsionaris BEM, dan juga mahasiswa.

 Menurut Akademisi Universitas Pendidikan Indonesia, Hani Yulindrasari, kekerasan seksual di kampus yang paling sering terjadi ialah berbentuk pemerkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, serta pemaksaan aborsi. Pelaku dan korban bisa siapa saja, baik itu mahasiswa, dosen, tenaga pendidik, dan tenaga penunjang. Kampus yang merupakan tempat belajar mahasiswa untuk mengembangkan kemampuannya seharusnya menjadi tempat yang aman bagi civitasnya. Namun, kasus kekerasan seksual tidak melihat waktu, tempat, maupun jabatan. Hal ini menunjukkan bahwa di kampus pun kekerasan dapat terjadi.

 Untuk menghindari hal tersebut, terdapat upaya-upaya pencegahan yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual. Salah satunya adalah dengan meningkatkan keamanan dan pemantauan di area kampus. 

Mengenai hal ini, Menteri Pendidikan, Kebudayaa, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, menyosialisasikan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud) Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. 

Pada Permendikbud No.30 ini, setiap perguruan tinggi harus memiliki Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) yang dapat melakukan pengawalan untuk setiap korban kekerasan seksual sehingga kampus dapat menjadi lingkungan yang sehat, aman, nyaman, dan juga tanpa kekerasan seksual. 

Selain itu, hal yang dapat dilakukan untuk mencegah kekerasan seksual adalah dengan menyosialisasikan mengenai norma-norma sosial yang melindungi dari kekerasan seksual, menyosialisasikan pembelajaran sosial emosional, memberikan kesempatan untuk memberdayakan perempuan, serta mendukung korban untuk mengurangi terjadinya kembali kasus kekerasan seksual.

Selain upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah kekerasan seksual, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pencegahannya terdapat tantangan-tantangan yang terjadi. Adapun tantangannya adalah masih kurangnya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, terutama di lingkungan kampus. Hal ini dapat terjadi karena minimnya laporan atas kekerasan seksual. 

Korban kekerasan seksual sering disalahkan sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual, dalam hal ini korban sering merasa tidak berdaya sehingga korban memilih untuk bungkam. Minimnya laporan mengenai kasus kekerasan seksual di kampus memperlihatkan bahwa kasus yang terlihat tidak menjamin jumlah kasus yang sebenarnya ada. Tantangan selanjutnya berada di pihak kampus yang menutupi kasus kekerasan seksual demi mempertahankan citra atau nama kampus. 

Hal ini menyebabkan orang-orang percaya bahwa lingkungan kampus yang mereka tempati aman dari kekerasan seksual. Akan tetapi, hal yang sebenarnya adalah kampus justru menjadi tempat rawan kekerasan seksual. Oleh karena itu, pentingnya peran kampus dalam mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual di wilayah kampus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun