Mohon tunggu...
Zahra Fildza Rahmasari
Zahra Fildza Rahmasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Psikologi Universitas Sebelas Maret

explore anything

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Meningkatnya Perilaku Konsumtif pada Remaja akibat Ikut-ikutan Tren, Termasuk Fenomena Bandwagon Effect?

2 Juni 2022   22:44 Diperbarui: 3 Juni 2022   00:37 3359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://images.app.goo.gl/Kds9zX7iUT5UgdFBA

Selama masa pandemi ini, pemerintah telah sering membuat kebijakan PSBB sehingga masyarakat dianjurkan untuk mengerjakan aktivitas di rumah masing-masing dengan tujuan agar dapat menekan penyebaran wabah Covid-19. Di balik kebijakan tersebut tentu akan berdampak pada melonjaknya kebutuhan teknologi informasi dan komunikasi, yang saat ini telah menjadi sesuatu yang sangat penting bagi masyarakat dalam melakukan aktivitas baik untuk bekerja, belajar, berbelanja secara daring, dan kebutuhan berkomunikasi. Masyarakat terutama remaja menjadi lebih banyak menghabiskan waktunya dengan gadget mereka, bahkan ketika jenuh mereka juga memilih untuk bermain dengan gadget masing-masing dan mencari hiburan.

Akhir-akhir ini beberapa aplikasi seperti TikTok dan Instagram mulai menjadi platform yang ramai dan banyak digunakan oleh mayoritas orang. Platform yang awalnya difungsikan untuk mencari hiburan, kini juga menyajikan “racun” bagi para penggunanya. “Racun” yang dimaksud dalam konteks ini ialah review dan testimoni suatu barang dari para pemilik akun-akun besar yang ternyata berpengaruh besar dalam kelompok masyarakat tertentu, termasuk para remaja. Dari mulai artis, musisi, penyanyi, aktor, bahkan hingga orang-orang yang tidak memiliki status tinggi ternyata juga bisa mempengaruhi pengguna platform tersebut untuk ikut membeli barang yang mereka review atau pakai. Setiap ada suatu barang atau makanan yang sedang viral karena memiliki review bagus, orang-orang akan mulai berbondong-bondong memburunya di aplikasi belanja online.

Pada akhir tahun 2021 yang lalu, muncul sebuah tren cara makan es krim sebuah restoran fastfood. Tren ini pertama kali muncul di TikTok yang memperlihatkan beberapa orang membeli es krim berbentuk cone kemudian dimasukkan ke dalam sebuah wadah. Wafer dari cone es krim tersebut dihancurkan dan diaduk hingga wafer dan es krim tercampur secara merata, kemudian mereka memakan es krim tersebut dari wadah yang mereka bawa menggunakan sendok. Tidak ada yang spesial dari menu es krim tersebut, tetapi hanya dengan kemunculan tren cara memakan unik itu, remaja-remaja pengguna media sosial bisa membeli es krim tersebut lebih banyak dari biasanya.

https://images.app.goo.gl/Kds9zX7iUT5UgdFBA
https://images.app.goo.gl/Kds9zX7iUT5UgdFBA

Selain makanan, style baju korea juga banyak menjadi sorotan dalam beberapa waktu terakhir. Orang-orang terkenal terutama yang sedang dalam rentang usia remaja banyak yang mengikuti tren fashion ini. Ketika kita menggunakan baju oversize, blouse, sweater, dan vest rajut, banyak yang akan memuji kita karena kita mampu untuk mengikuti tren outfit masa kini. Namun, beberapa orang dinilai memiliki cara berpakaian yang kuno hanya karena mereka tidak mengikuti tren kelompok mayoritas tersebut. Kemudian, demi mengikuti tren cara berpakaian ini remaja rela mengeluarkan banyak uang untuk membeli baju-baju tersebut. Fenomena ikut-ikutan ini dapat disebut dengan bandwagon effect.

Dengan menjamurnya sebuah tren di zaman sekarang, remaja memiliki peran besar di dalamnya. Mereka memiliki kecenderungan untuk selalu ikut-ikutan tanpa memiliki alasan yang jelas dan rasional. Bahkan bila kecenderungan tersebut sulit dihentikan, maka hal itu dapat membawa remaja menuju ke arah perilaku konsumtif.

Apa itu Bandwagon Effect?

bandwagon effect
bandwagon effect

Bandwagon effect adalah sebuah fenomena psikologis di mana seseorang melakukan sesuatu karena orang lain melakukannya, terlepas dari keyakinan mereka sendiri yang cenderung diabaikan (Linda & Bloom, 2017). Kemudian, bandwagon effect menunjukkan suatu kecenderungan seseorang untuk mengadopsi perilaku, gaya, atau sikap tertentu hanya karena semua orang melakukannya (Schmitt-Beck, 2015). Semakin banyak orang yang mengadopsi tren tertentu, semakin besar kemungkinan orang lain juga akan ikut-ikutan.

Bandwagon effect adalah bagian dari kelompok bias kognitif yang lebih besar, atau kesalahan dalam berpikir yang memengaruhi penilaian dan keputusan seseorang. Bias kognitif dirancang untuk membantu seseorang agar dapat berpikir lebih cepat, tetapi bias tersebut sering kali menimbulkan kesalahan perhitungan (Baddeley M., 2015).

Menurut kamus Webster’s Third International Unbridged (Rikkers, 2002), bandwagon effect merupakan (1) sesuatu yang menarik orang-orang karena waktu yang tepat, kecakapan memainkan pertunjukkan, kekuatan, atau kebaruannya; (2) suatu selera yang baru atau trendi; (3) suatu pergerakan yang mengumpulkan kekuatan atau suatu pengaruh sehingga menyatu sebagai kelompok. Rikkers (2002) juga menambahkan bahwa orang-orang yang terkena fenomena bandwagon effect pada dasarnya menerima fenomena tersebut karena alasan yang dangkal, bukan berdasarkan bukti atau rasional.

Istilah “bandwagon effect” berasal dari penggunaan kereta musik dalam suatu parade yang mendorong orang-orang untuk ikut menyaksikan dan menikmati musik yang sedang dimainkan. Efek menular dari musik dan perayaan ini memastikan bahwa sejumlah besar orang akan bergabung. Prinsip ini telah digunakan sejak abad ke-19 dalam kampanye politik untuk menghubungkan kandidat dengan gagasan bersenang-senang dan untuk menunjukkan bahwa mereka yang tidak bergabung sebagai orang yang ketinggalan. Dengan berdiri di atas bandwagon, mereka berharap nama dan wajahnya semakin terkenal. Istilah ini dinamakan jump to the bandwagon yang menjadi asal-usul dari fenomena bandwagon effect. Seiring dengan berjalannya waktu, bandwagon effect dipahami sebagai bentuk manipulasi untuk memengaruhi orang agar bergabung dengan tren politik atau perilaku konsumtif. Implikasinya adalah karena begitu banyak orang yang melakukannya, itu pasti baik, atau setidaknya dapat diterima. Fenomena ini memungkinkan setiap individu untuk tidak memeriksa ulang nilai dan keyakinan mereka untuk melihat apakah tren yang berlaku merupakan sesuatu yang mereka pilih (Linda & Bloom, 2017).

Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa bandwagon effect adalah suatu fenomena di mana banyak orang ikut melakukan suatu hal yang sama dengan yang dilakukan oleh mayoritas orang tanpa adanya alasan rasional untuk melakukannya.

Terdapat beberapa aspek dalam fenomena Bandwagon Effect ini :

  1. Conformity. Brehm dan Kassin mendefinisikan konformitas sebagai kecenderungan individu untuk mengubah persepsi, opini, dan perilaku mereka sehingga sesuai atau konsisten dengan norma-norma kelompok (Suryanto dkk., 2012). Menurut Myers, konformitas berarti perubahan perilaku pada individu sebagai akibat dari adanya tekanan kelompok. Konformitas bukan sekadar berperilaku seperti orang lain, tetapi juga dipengaruhi oleh bagaimana orang lain berperilaku (Myers, 2010).
  2. Interpersonal influence. Menurut American Psychological Association, pengaruh interpersonal merupakan tekanan sosial langsung yang diberikan pada seseorang atau kelompok oleh orang atau kelompok lain dalam bentuk tuntutan atau ancaman di satu sisi dan janji imbalan atau persetujuan sosial di sisi lain. Pengaruh hubungan interpersonal didefinisikan sebagai kebutuhan untuk mengidentifikasi atau meningkatkan citra seseorang di dalam pendapat orang lain melalui cara perolehan dan penggunaan suatu produk atau merk, kesediaan diri untuk menyesuaikan diri dengan harapan orang lain mengenai pengambilan keputusan dalam membeli atau menggunakan suatu produk, serta kecenderungan seseorang untuk mempelajari suatu produk atau layanan dengan mengamati orang lain atau mencari informasi dari orang lain (Bearden, Netemeyer, & Teel, 1989).
  3. Status seeking. Josh Kaufman menjelaskan status seeking sebagai suatu fenomena di mana manusia sangat peduli tentang apa yang orang lain pikirkan tentang mereka, dan menghabiskan banyak energi untuk melacak status relatif mereka dibandingkan dengan anggota lain dari kelompok mereka. Ketika peluang untuk meningkatkan status muncul, kebanyakan orang akan memanfaatkannya. Selain itu, ketika diberi pilihan di antara alternatif yang berbeda, orang biasanya akan memilih opsi dengan status persepsi tertinggi.

Apa saja faktor yang mempengaruhi fenomena Bandwagon Effect?

Berikut merupakan beberapa faktor yang diketahui dapat mempengaruhi terjadinya bandwagon effect (Cherry, 2019) :

  • Groupthink

Bandwagon effect pada dasarnya termasuk jenis groupthink. Dikarenakan semakin banyaknya orang yang mengadopsi mode atau tren tertentu, semakin besar kemungkinan orang lain juga akan ikut-ikutan. Tampaknya, ketika seseorang terlihat melakukan sesuatu, ada tekanan yang luar biasa untuk menyesuaikan diri yang mungkin menjadi alasan mengapa perilaku ikut-ikutan cenderung terbentuk dengan mudah (Levitan LC., Verhulst B., 2016).

  • Keinginan untuk menjadi benar

Seseorang ingin menjadi benar. Mereka ingin menjadi bagian dari pihak yang menang. Sebagian alasan orang menyesuaikan diri adalah karena mereka melihat orang lain dalam kelompok sosialnya untuk mendapatkan informasi tentang apa yang benar atau dapat diterima atau sesuatu yang harus dikerjakan (Mallinson DJ , Hatemi PK., 2018).

  • Kebutuhan untuk menjadi bagian dalam kelompok

Ketakutan akan pengucilan juga berperan dalam bandwagon effect. Pada umumnya, seseorang tidak ingin menjadi orang aneh, jadi mereka mengikuti apa yang dilakukan anggota kelompok lainnya sebagai cara untuk memastikan inklusi dan penerimaan sosial (Schmitt-Beck, 2015).

Apa itu perilaku konsumtif?

konsumtif
konsumtif

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia memberikan batasan mengenai perilaku konsumtif sebagai kecenderungan seseorang dalam mengkonsumsi tanpa memiliki batasan, serta lebih mengedepankan faktor keinginan daripada kebutuhan. Sumartono (2002) menyatakan bahwa perilaku konsumtif merupakan suatu tindakan yang dilakukan secara berlebihan terhadap penggunaan suatu produk. Selain itu, perilaku konsumtif juga diartikan sebagai tindakan memakai suatu produk secara tidak tuntas. Artinya, seseorang membeli produk bukan karena produk yang dipakai telah habis, melainkan karena adanya iming-iming hadiah yang ditawarkan atau bahkan produk tersebut sedang trend (Sumartono, 2002).

Terdapat 5 aspek perilaku konsumtif, yaitu :

  • Pembelian impulsif (Lina & Rosyid, 1997; Mangkunegara, 2005)
  • Pemborosan (Lina & Rosyid, 1997; Mangkunegara, 2005)
  • Mudah terbujuk rayuan (Mangkunegara, 2005)
  • Kepuasan (Solomon, 1996; Dharmmesta & Handoko, 2014)
  • Kesenangan (Solomon; 1996; Fransisca & Suyasa, 2005)

Apa faktor penyebab perilaku konsumtif?

Fenomena perilaku konsumtif ini tentunya akan terus berkembang dikarenakan adanya faktor yang dapat menyebabkan munculnya perilaku konsumtif, salah satunya adalah gaya hidup. Menurut Chaney (Fransisca & Suyasa, 2005) menyebutkan bahwa perilaku konsumtif terjadi karena timbulnya gaya hidup barat. Pola perilaku seperti ini diperkuat banyaknya majalah remaja, iklan, serta media lain yang secara langsung maupun tidak langsung untuk mengeksploitasi gaya hidup mewah dan mencolok (Lina & Rosyid, 1997). Dewasa ini, gaya hidup hedonis merupakan salah satu bentuk gaya hidup yang memiliki daya tarik bagi remaja. Dengan adanya fenomena tersebut, remaja cenderung untuk lebih memilih hidup yang mewah, enak, dan serba berkecukupan tanpa harus bekerja keras (Gushevinalti, 2010).

Lalu bagaimana perkembangan pada masa remaja? Apakah juga berpengaruh?

remaja
remaja

Menurut Piaget, remaja adalah suatu usia di mana individu menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa. Suatu usia di mana anak tidak merasa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa dirinya sama, atau paling tidak berada dalam tingkatan yang sama (Ali & Asrori, 2004). Pada masa peralihan ini, status remaja dapat dikatakan tidak jelas dan terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan. Remaja adalah generasi yang paling mudah terpengaruuh oleh era globalisasi atau era modern (Kunto, 1999). Masa remaja dianggap sebagai masa labil yaitu di mana individu berusaha mencari jati dirinya dan mudah sekali menerima informasi dari luar dirinya tanpa ada pemikiran lebih lanjut (Hurlock, 1980).

Menurut Santrock (2012), pada remaja, individu akan cenderung menyukai berbagai hal baru yang cukup menantang bagi dirinya. Hal tersebut terjadi karena remaja berupaya untuk mencapai kemandirian dan menemukan identitas dirinya.

Keterkaitan antara Fenomena Bandwagon Effect dengan Perilaku Konsumtif Pada Remaja

Ketika remaja melihat lingkungan yang mayoritas mengadopsi suatu mode atau tren tertentu, ia akan mendapatkan tekanan untuk menyesuaikan diri sehingga terbentuklah perilaku ikut-ikutan (bandwagon effect). Remaja memiliki kemungkinan untuk mengalami ketakutan akan dikucilkan jika mereka berbeda sendiri dari anggota kelompok yang lain, karena akan terlihat aneh, kuno, atau ketinggalan zaman. Jadi, mereka akan mengalami konformitas dengan mengikuti apa yang dilakukan anggota kelompok lainnya untuk memastikan mereka mendapat penerimaan sosial. Selain itu, remaja sangat peduli bahkan tergolong cukup sensitif dengan apa yang orang lain pikirkan tentang mereka, sehingga tidak heran jika remaja rela menghabiskan energi dan uang untuk mempertahakan status relatif dan citra diri mereka karena adanya interpersonal influence.

Sementara itu, remaja mengalami banyak perubahan dari mulai perubahan fisik, sikap, perilaku, dan emosi. Salah satu perubahan itu ialah perubahan perilaku yang cenderung konsumtif (Sukari, Larasati, Mudjijono, & Susilantini, 2013). Karakteristik remaja yang mudah terbujuk rayuan dan masih labil, impulsif dalam berbelanja kurang realistis dalam berpikir, serta cenderung berperilaku boros yang menjadikan remaja lebih konsumtif (Mangkunegara, 2005). Pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja. Di samping itu, gaya hidup remaja biasanya meniru teman, tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya. Lewat gaya hidup, seorang remaja juga dapat menunjukkan citra diri dan status sosialnya ditengah-tengah masyarakat (Wagner, 2009). Menurut Bush, remaja merupakan salah satu kelompok yang sangat potensial bagi pemasar sebagai target pemasaran produk mereka, sehingga remaja tumbuh dalam budaya konsumerisme yang membuat remaja terlibat dalam perilaku konsumtif (Hylander, 2013).

Setelah mengetahui karakter remaja yang masih labil dan kurang realistis dalam berpikir, kita bisa menyimpulkan bahwa remaja memang sangat mungkin untuk ikut-ikutan mengadopsi suatu tren tertentu tanpa peduli alasan apa yang membuat mereka melakukan hal tersebut, di mana ini dapat menjadi masalah dengan membawa mereka menuju perilaku konsumtif. Seperti dalam contoh cara memakan es krim yang viral, sebenarnya tidak ada bedanya antara memakan es krim cone secara langsung dengan dihancurkan terlebih dahulu. Mereka justru harus membeli lebih banyak es krim jika ingin mengikuti cara memakan es krim viral tersebut, di mana uang yang dikeluarkan juga menjadi lebih banyak dan boros. Selain itu, berkaitan dengan tren cara berpakaian juga menjadi salah satu contoh nyata bahwa remaja sangat mudah terpengaruh oleh suatu tren. Dalam hal ini, mereka tidak dapat memberi batasan tentang keinginan dan kebutuhan karena bandwagon effect tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bandwagon effect menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perilaku konsumtif pada remaja. Membeli sesuatu yang bukan merupakan kebutuhan secara terus-menerus akan menimbulkan dampak negatif. Oleh karena itu, remaja disarankan untuk lebih mempertimbangkan lagi jika ingin melakukan segala sesuatu, apakah itu kebutuhan ataukah hanya keinginan semata. Selain itu, remaja harus tetap berpegang teguh dengan prinsip masing-masing agar tidak mudah terpengaruh orang lain. Remaja hanya perlu menjadi diri sendiri dan tidak perlu mengubah diri hanya untuk bisa sesuai dengan harapan orang lain. Jika remaja telah mampu untuk mengendalikan dirinya, ia dapat terhindar dari pemborosan.

Referensi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun