Letak geologis Indonesia yang berada pada ring of fire, zona subduksi, dan juga dilewati sirkulasi angin global menyebabkan Indonesia rawan akan bencana geologis maupun hidrometeorologis. Kondisi ini menyebabkan pentingnya pendidikan bencana sedini mungkin sebagai bentuk peningkatan kapasitas masyarakat terhadap bencana. Dilihat pada laman DIBI BNPB, bencana banjir memiliki angka tertinggi yakni 859 kejadian, disusul kemudian dengan cuaca ekstrem 174 kejadian, tanah longsor 104 kejadian, kebakaran hutan dan lahan 90 kejadian, 25 kekeringan, 8 Gempa bumi, 7 Gelombang pasang dan abrasai, dan 3 erupsi Gunungapi. Tentunya untuk membentuk generasi muda yang memiliki perhatian penuh terhadap pengurangan risiko bencana, maka diperlukan didikan sedari dini baik dari sekolah maupun keluarga. Menanggapi hal tersebut, pemerintah menginisiasi program SPAB (satuan Pendidikan Aman Bencana) sejak tahun 2018 dan mulai diimplementasikan pada tahun 2019. Program ini menjadikan Sendai Seven Framework yang dikeluarkan oleh PBB sebagai dasar penyusunan program. Awal implementasi program, hanya terbatas 4 titik yang tersebar di 4 provinsi di Indonesia. Tentu jumlah ini masih sangat kurang jika dibandingkan dengan jumlah sekolah yang ada di Indonesia.Â
Program Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) sendiri didefinisikan sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan dampak bencana pada satuan pendidikan. Penyelenggaraan program SPAB diatur melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 33 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Program SPAB. Kegiatan ini dilaksanakan pada saat situasi normal atau pra-bencana, pada situasi darurat dan pasca bencana. Tujuan dari penyelenggaraan Program SPAB:Â
1. Meningkatkan kemampuan sumber daya di satuan pendidikan dalam menanggulangi dan mengurangi risiko bencana.Â
2. Melindungi investasi pada satuan pendidikan agar aman terhadap bencana.Â
3. Meningkatkan kualitas sarana dan prasarana satuan pendidikan agar aman terhadap bencana.Â
4. Memberikan perlindungan dan keselamatan kepada peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan dari dampak bencana di satuan pendidikan.Â
5. Memastikan keberlangsungan layanan pendidikan pada satuan pendidikan yang terdampak bencana.Â
6. Memberikan layanan pendidikan yang sesuai dengan karakteristik risiko bencana dan kebutuhan satuan pendidikan.Â
7. Memulihkan dampak bencana di satuan pendidikan.Â
8. Membangun kemandirian satuan pendidikan dalam menjalankan program SPAB.
Kami telah berkeliling di sekolah sekolah yang berada di Malang Selatan dan mengambil 2 sampel sekolah yang berstatus SPAB sesuai dengan yang terdata dalam laman webgis milik BNPB dalam link berikut https://inarisk2.bnpb.go.id/spab/. Namun, melalui observasi kami dapatkan hasil bahwa pihak sekolah tidak mengetahui bahwa status sekolah tersebut adalah SPAB. Terdapat 3 pilar yang telah disusun oleh diknas daerah yang kami observasikan ke sekolah yakni Fasilitas aman bencana, managemen bencana, dan pendidikan pengurangan risiko bencana. Dari ketiga aspek tersebut, persentase tertinggi hanya mencapai 67%.  Adapun grafik dapat dilihat pada diagram berikut.
Melalui observasi, kami juga menyadari bahwa diperlukan penyesuaian program terhadap sekolah berdasarkan KRB yang telah ditetapkan dan disetujui oleh pemerintah setempat. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan implementasi SPAB yang tepat dan tujuan nasional serta dapat diwujudkan dengan efisien. Pemerintah daerah khususnya perlu untuk memperhatikan hal tersebut karena berkaitan juga dengan tujuan dunia yang ingi memperkuat kapasitas masyarakat terhadap bencana guna meminimalisir kerugian materiil maupun non materiil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H