"hai gadis seberang sudah suroan kenapa kamu tidak datang? Aku masih menunggumu (suro, 1951)".
Ah, sedih sekali si lelaki ini, gadisnya tidak menepati janjinya. Huh aku jadi kesal pada si gadis. Sinar matahari yang menembus lebatnya pohon memantulkan sebuah genangan air yang sangat kotor. Disampingnya ada puluhan mawar serupa dengan keadaan menyedihkan. Aku pun mendatanginya dan aku membukanya satu persatu.
"hai gadis seberang, masih ingatkah kamu dengan janjimu untuk melihat suroan bersama? Aku masih menunggu ditempat yang sama (suro,1952)".
"hai gadis, aku masih menunggumu dan akan tetap datang saat suroan (suro,1952)".
"hai gadis aku masih menunggumu (suro, 1953)".
Aku merasa sangat jengkel. Surat dengan isi yang sama puluhan jumlahnya hanya demi menunggu si gadis. "ah aku pulang saja" fikirku. Aku mulai berjalan pulang menuju rumah kakek. Dalam perjalanan pulang aku bertanya-tanya. Kenapa mawar itu tetap ada setelah bertahun-tahun? Kenapa si gadis tak kunjung datang ataupun membalas surat si lelaki?. Sebenarnya ada apa dengan mereka? Terutama pada si gadis.
Penuh dengan pertanyaan pertanyaan itu, tak terasa aku sudah sampai di rumah kakek. "Siang kek" sapaku. "dari mana?" tanyanya. "jalan-jalan kek". Aku pun menuju dapur untuk menuntaskan rasa dahaga setelah berjalan sekian lama. Â Saking hausnya, aku terburu-buru mengambil gelas dan malah tak sengaja menjatuhkannya sehingga gelas dari batok kelapa itu menggelinding. Mencari keberadaannya, aku menemukannya di pojok dapur. Aku sangat kaget ketika netraku menangkap mawar yang sama di pojok dapur dengan tulisan singkat"aku masih menunggumu".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H