Dari Namanya pun sudah bisa kita ketahui, "social media" yang mengandung kata "social" berarti banyak orang. Banyak orang, banyak cara berpikir dan cara menanggapi. Â Â
Tidak hanya di Tik Tok, namun di platform lain juga banyak yang menyebarkan infromasi yang kurang valid kebenarannya, sehingga menjadi hoax dan ujaran kebencian. Yang perlu diperbaiki agar produksi konten lebih sehat ialah, memperbaiki minat baca, dan cara berpikir.
Pelecehan seksual juga sangat marak terjadi di media social. Tidak dengan menyentuh, ataupun memperkosa secara langsung. Namun, hanya dengan menulis kalimat kalimat yang tidak pantas itu sudah termasuk ke dalam pelecehan seksual.
Tidak semua pengguna social media memiliki etika dasar dalam bermedia social. Saat ini, bagi mereka yang tidak menyukasi seseorang, mereka akan mulai "menyindir" orang lain yang mereka tidak sukai. Padahal, hal tersebut tidak perlu dilakukan.
Banyak ditemukan pengguna social media yang masih dibawah umur, ketika mereka melihat konten sejenis tersebut, maka tanpa piker panjang mereka akan mengikuti cara bermedia social "sindiran" tersebut.
Dengan begitu, semakin lama media social tidak sehat bagi mental. Akan terbentuk mental "jago ketikan doang", "mental sosmed", ataupun sejenisnya. Dengan intensitas penggunaan media social yang terbilang tinggi, dapat menyebabkan pola piker yang berbeda.
Pentingnya kecerdasan dan kehati-hatian dalam menggunakan media social. Apabila belum memasuki usia untuk bermedia social, lebih baik jangan memaksakan untuk mendaftar akun media social.
Usia juga mempengarhui kualitas konten. Namun tidak sepenuhnya. Usia 7-15 tahun masih tergolong sangat anak anak. usia remaja memiliki pemikiran sendiri, dan sulit terbantahkan. Keinginan dan pikiran mereka yakin bahwa apa yang mereka unggah, memang benar adanya tanpa berpikir lebih jauh.
Apa yang perlu diperbaiki dalam conten creations? Yang pertama ialah minat membaca. Kebanyakan konten yang tidak sehat, berawal dari kurangnya minat membaca.
Berbagai survei menunjukkan hasil yang kurang menggembirakan. Survei Progamme for International Student Assessment (PISA) pada 2015 misalnya, memosisikan Indonesia berada di urutan ke-64 dari 72 negara. Selama kurun waktu 2012 -- 2015, skor PISA untuk membaca hanya naik 1 poin dari 396 menjadi 397, sedangkan untuk sains naik dari 382 menjadi 403, dan skor matematika naik dari 375 menjadi 386. Hasil tes tersebut menunjukkan bahwa kemampuan memahami dan keterampilan menggunakan bahan-bahan bacaan, khususnya teks dokumen, pada anak-anak Indonesia usia 9 -- 14 tahun berada di peringkat sepuluh terbawah. (Panduan GLN 2017, Kemdikbud)
Berdasarkan data dari Kemendikbud di atas, anak berusia 7 tahun sudah diberi kebebasan oleh orang tua untuk menggunakan ponsel secara bebas. Tanpa disadari, usia anak-anak juga mempengaruhi sehat atau tidaknya kualitas konten.