Materi I : Dr. Rismawati, S.Sos, MA.
Antropologi agama merupakan cabang ilmu antropologi yang mempelajari tentang hubungan manusia dengan agama dalam hal keyakinan, sikap, dan perilaku. Antropologi agama terbagi atas empat metode, yaitu:
1. Metode historis: menelusuri pikiran dan perilaku manusia tentang agama yang berlatar belakang sejarah.
2. Metode normatif: mempelajari norma-norma, kaidah-kaidah, patokan-patokan, dan sastra suci agama.
3. Metode deskriptif: berkaitan dengan kaidah-kaidah ajaran agama yang tercantum dalam kitab-kitab suci atau kitab-kitab ajaran agama.
4. Metode empiris: mencakup pelaporan tentang buah pikiran, sikap, dan perilaku manusia yang menyangkut agama dalam kenyataan yang terwujud dalam penggunaan metode ini.
Metodologi yang digunakan dalam antropologi agama harus berfokus pada kenyataan yang nampak berlaku, yaitu kenyataan yang terwujud dalam penggunaan metode ini. Maka dari itu, dalam studi antropologi agama juga memasukkan metode normatif, deskriptif, dan empiris. Metode normatif membantu memahami kaidah-kaidah ajaran agama yang tercantum dalam kitab-kitab suci atau kitab-kitab ajaran agama. Metode deskriptif membantu mencatat, melukiskan, menguraikan, dan melaporkan tentang buah pikiran, sikap, dan perilaku manusia yang menyangkut agama dalam kenyataan. Metode empiris yang mencakup pelaporan tentang buah pikiran, sikap, dan perilaku manusia yang menyangkut agama dalam kenyataan yang implisit dalam penggunaan metode ini.
Materi II : Yulianti Bakari, S.Sos, MA.
Antropologi agama membahas tentang sistem kepercayaan agama tertua suku Jawa.
Kapitayan adalah salah satu agama kuno masyarakat pulau Jawa yang terutama dipraktikkan oleh mereka yang beretnis Jawa sejak era paleolitik, mesolitik, neolitik, dan megalit. Kapitayan merupakan salah satu bentuk monoteisme asli Jawa yang dianut dan dijalankan oleh masyarakat Jawa secara turun temurun sejak zaman dahulu.
Dalam konteks "agama angin muson", agama kuno yang disebut Kapitayan merupakan agama yang dianut penghuni Nusantara, yang menurut cerita kuno adalah agama purbakala yang dianut oleh penghuni lama Pulau Java berkulit hitam.
Sanghyang Semar telah mengajarkan kapitayn di Jawa dan dia memiliki saudara yang disebut Sang Hantaga (Togog) yang memberikan ajaran yang sedikit berbeda dengan yang diajarkan Danghyang Semar. Sang Manikmaya adalah saudara lainnya yang menjadi penguasa di alam gaib.
Sembahan dalam ajaran Kapitayan disebut Sang Hyang Taya, Tuhan yang bersifat abstrak. Tuhan Kapitayan bersifat abstrak, tidak bisa digambarkan dan tidak bisa dipikirkan atau dibayangkan.
Sang Hyang Taya diartikan sebagai Tu atau To yang bermakna daya gaib yang bersifat adikodrati. Tuhan ini bersifat tunggal dalam Dzat dengan dua sifat, yaitu Kebaikan dan Kejahatan.
Sanghyang Wenang dan Sang Manikmaya adalah sifat saja dari Sanghyang Tunggal yang pada hakikatnya adalah sifat, bukan dari Dzat itu sendiri.
Kekuatan Sang Hyang Taya mewakili di berbagai tempat, seperti di batu, monumen, pohon, dan lain-lain.
Tokoh-tokoh dalam ajaran Kapitayan, seperti Danghyang Semar, Kyai Petruk, Nala Gareng, dan Bagong, dimunculkan sebagai punakawan yang memiliki kekuatan adikodrati yang mampu mengalahkan dewi-dewa Hindu.
Â
Materi III : Muh. Zainuddin Raddolahi, S.Sos. M.SI
Dalam konteks tradisi budaya masyarakat Bugis-Makassar, warganya menjalankan berbagai ritual dan kepercayaan. Ritual Assongka Bala merupakan salah satu cara untuk menangkal bencana, musibah, dan rintangan dalam hidup seseorang. Tradisi ini dilakukan setiap tahun pada bulan Juni saat fase bulan purnama. Tujuan dari ritual tersebut adalah untuk melindungi diri sendiri dan membawa kemakmuran, nasib baik, dan kedamaian. Dalam tradisi ini, rempah-rempah biasanya digunakan sebagai sesaji dalam suatu upacara sakral. Ritual tersebut dilakukan oleh para pemimpin dan mencakup penggunaan ramuan tradisional dan daun-daun yang diperoleh dari hutan. Pengamalan tradisi ini dipercaya dapat membawa keberuntungan dan perlindungan bagi yang mengikutinya. Kepercayaannya adalah mereka yang mengikuti ritual Assongka Bala akan mendapat keberkahan dari nenek moyang dan terbebas dari mara bahaya atau musibah.
Ritual lain yang berkaitan dengan praktik budaya masyarakat adalah Upacara Akkallabua. Ritual ini dilakukan untuk mengusir kejahatan atau kesialan. Ritual tersebut dianggap sebagai bentuk isolasi tradisional dan bertujuan untuk mencegah penyebaran penyakit dan penyakit. Dalam ritual ini, masyarakat menganut keyakinan bahwa jika ingin menjaga pola hidup sehat dan sejahtera harus bekerja keras, makan apa yang ditanam, dan hidup selaras dengan alam. Keyakinannya adalah bahwa kerja keras dan memakan hasil bumi sendiri akan mendatangkan kesehatan dan kesejahteraan.
Selain praktik budaya tersebut, masyarakat juga meyakini kekuatan nenek moyang dan menghargai ajaran mereka. Mereka memandang nenek moyang mereka sebagai sumber kebijaksanaan dan bimbingan, dan ajaran mereka memengaruhi cara mereka hidup dan mengambil keputusan. Masyarakat percaya bahwa dengan menghormati leluhur, mereka akan mendapat keberkahan dan perlindungan dari mara bahaya atau musibah. Mereka juga percaya bahwa nenek moyang mereka berperan dalam kehidupan sehari-hari dan mereka harus dihormati dan dihormati. Kepercayaan tersebut tercermin dalam praktik ritual Assongka Bala yang merupakan bentuk persembahan dan komunikasi kepada leluhur.
Assongka Bala merupakan ritual yang dipercaya dapat mendatangkan rejeki dan menangkal unsur-unsur merugikan yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. Ritual ini dilakukan setiap tahun pada bulan Juni, dan dirancang untuk memberikan kembali kepada leluhur dan masyarakat. Merupakan tradisi kolektif yang menjadi simbol kesatuan budaya masyarakat dan merupakan tanda penghormatan terhadap leluhur serta warisan leluhur yang dimiliki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H