Kekerasan terhadap anak di satuan pendidikan merupakan salah satu isu krusial yang saat ini dihadapi oleh dunia pendidikan di Indonesia. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi anak-anak untuk tumbuh, berkembang, dan belajar justru sering kali menjadi arena terjadinya kekerasan. Kekerasan tersebut dapat berupa kekerasan fisik, verbal, maupun psikologis. Kasus perundungan, pemukulan, serta penghinaan secara verbal kerap terjadi di lingkungan sekolah baik dilakukan oleh sesama siswa maupun oleh tenaga pendidik itu sendiri. Fenomena ini menjadi perhatian serius karena dampaknya yang luas tidak hanya pada fisik anak tetapi juga pada psikologis dan emosional mereka. Anak-anak yang menjadi korban kekerasan di sekolah tidak hanya menderita luka fisik namun juga trauma psikologis yang dapat berlangsung lama  bahkan hingga mempengaruhi prestasi akademis dan kesehatan mental mereka di kemudian hari. Â
Berdasarkan data yang dirilis oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), jumlah kasus kekerasan terhadap anak di lingkungan pendidikan mengalami peningkatan signifikan setiap tahunnya. Fakta ini memperlihatkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih belum mampu memberikan perlindungan yang memadai bagi anak-anak. Terlebih lagi dengan adanya laporan yang menunjukkan bahwa sebagian besar kekerasan yang terjadi di sekolah tidak terlaporkan atau tidak ditindaklanjuti secara serius semakin menggarisbawahi perlunya perbaikan sistemik untuk menangani masalah ini. Kekerasan di sekolah bukan hanya persoalan fisik tetapi juga persoalan sosial yang menyentuh masalah dasar hak asasi anak untuk mendapatkan pendidikan yang aman dan bebas dari ancaman kekerasan dalam bentuk apa pun.
Salah satu faktor utama penyebab terjadinya kekerasan di sekolah adalah budaya kekerasan yang masih mengakar dalam sistem pendidikan. Di beberapa sekolah, kekerasan fisik masih dianggap sebagai bagian dari metode disiplin yang sah dan efektif untuk menegakkan aturan serta menanamkan kedisiplinan pada siswa. Misalnya, hukuman fisik seperti dijewer, dipukul, atau dimarahi di depan umum masih sering digunakan oleh beberapa guru untuk mengatasi siswa yang dianggap bermasalah. Praktik ini sering kali tidak disadari dampaknya pada kesehatan mental dan emosional anak. Padahal berdasarkan penelitian psikologi anak tindakan-tindakan semacam itu justru dapat menyebabkan trauma, menurunkan rasa percaya diri, dan membuat anak mengalami tekanan emosional yang berat.
Undang-Undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014 sebenarnya telah dengan jelas melarang segala bentuk kekerasan terhadap anak termasuk di lingkungan pendidikan. Namun, implementasi aturan ini di lapangan sering kali belum berjalan efektif. Banyak sekolah yang belum memiliki kebijakan yang tegas dan komprehensif terkait pencegahan kekerasan. Selain itu, keterbatasan peran guru dan tenaga pendidik dalam menangani siswa yang bermasalah turut memperburuk kondisi ini. Banyak guru yang belum terlatih dalam mengelola kelas tanpa kekerasan sehingga cenderung menggunakan kekerasan sebagai solusi instan. Anak-anak yang menjadi korban pun sering kali merasa terisolasi dan takut melapor serta khawatir akan balasan dari pelaku atau dianggap lemah oleh teman-temannya. Akibatnya, dampak kekerasan terhadap psikologis anak semakin parah dan berlarut-larut.
Untuk mengatasi kekerasan di sekolah dibutuhkan kolaborasi aktif antara berbagai pihak mulai dari pemerintah, sekolah, guru, hingga orang tua. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu meningkatkan pengawasan terhadap implementasi kebijakan anti-kekerasan di sekolah. Setiap sekolah harus memiliki aturan yang jelas dan tegas tentang pencegahan serta penanganan kasus kekerasan. Selain itu penting untuk memberikan pelatihan khusus kepada guru dan staf sekolah agar dapat menangani perilaku siswa tanpa menggunakan kekerasan.
Peran konselor sekolah juga sangat penting, konselor harus menjadi tempat yang aman bagi siswa untuk melaporkan pengalaman kekerasan mereka dan mendapatkan bantuan yang tepat. Selain itu program anti-bullying harus diintegrasikan ke dalam sistem pendidikan dengan melibatkan siswa, guru, dan orang tua. Pendekatan ini akan membantu menciptakan budaya sekolah yang menghargai hak-hak anak dan menolak segala bentuk kekerasan. Di samping itu pendidikan karakter yang mengutamakan empati, rasa hormat, dan kerja sama harus terus dikembangkan di sekolah-sekolah.
Kekerasan terhadap anak di sekolah bukan hanya mengganggu proses belajar-mengajar tetapi juga berdampak buruk pada masa depan generasi muda. Anak-anak yang menjadi korban kekerasan berpotensi mengalami masalah psikologis yang berkepanjangan, seperti kecemasan, depresi, hingga kehilangan motivasi untuk belajar. Akibatnya, mereka tidak bisa mengoptimalkan potensi akademik maupun sosial mereka. Dampak negatif ini pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas generasi penerus bangsa.
Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk menjaga anak-anak dari kekerasan di sekolah. Menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, nyaman, dan bebas dari kekerasan adalah langkah nyata yang bisa dilakukan oleh semua elemen masyarakat. Jika kita bisa memberikan rasa aman bagi anak-anak maka kita telah turut serta dalam membangun generasi yang cerdas, sehat, dan berkarakter kuat generasi yang mampu memimpin bangsa ini menuju masa depan yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H