Mohon tunggu...
Zahra QurratuAinii
Zahra QurratuAinii Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Ahmad Dahlan

What are you seeing here?

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Childfree, Tren atau Pilihan Hidup?

17 Juli 2024   20:00 Diperbarui: 17 Juli 2024   20:28 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Oleh: Zahra Qurratu Ainii dan Iyan Sofyan

(Mahasiswi Pendidikan Bahasa Inggris dan Dosen PG PAUD Universitas Ahmad Dahlan)

      Banyak anak banyak rezeki?atau not having kids is indeed natural anti aging?. Di era modern ini, khususnya di kalangan generasi muda, fenomena childfree, pilihan untuk tidak memiliki anak biologis maupun adopsi, menjadi perbincangan hangat. Menurut kamus Merriam Webster, kata child-free yang berarti tanpa anak sudah dikenal sejak 1901. Lain halnya fenomena childfree di Indonesia,fenomena ini masih sangat tabu. Menurut data dari Susenas 2022, persentase perempuan childfree di Indonesia saat ini sekitar 8 persen, hampir setara dengan 71.000 orang (Sumber:Kompasiana.2023).

      Walaupun Indonesia terkenal dengan budaya timur yang penuh toleransi, bukan berarti pemikiran childfree mudah di terima, maka bersiaplah menghadapi gunjingan sosial, karena pada dasarnya pemahaman ini akan sangat tidak bersahabat di Indonesia yang mana di negara ini masih banyak yang menganut pemikiran bahwa kodrat perempuan terbesar adalah memiliki anak.  Perempuan yang memilih untuk tidak memiliki anak tentu tidak menjalankan fungsi reproduksi secara sepenuhnya. Pada dasarnya fungsi reproduksi berupa menstruasi (haid), mengandung (hamil), melahirkan, dan menyusui hanya dimiliki oleh wanita. Lalu, bila ada wanita yang memilih childfree, maka sudah tentu dianggap berlawanan dengan kodratnya sebagai seorang wanita. Dan bila tidak segera mendapat keturunan,maka perempuan tersebut dianggap tidak subur.

      Childfree bukan sekadar tren, melainkan keputusan sadar perempuan atau pasangan untuk tidak memiliki keturunan. Beberapa penganut childfree mengatakan bahwa keputusan memiliki anak adalah tanggung jawab yang besar. Sebagai orang tua kita diharuskan untuk memiliki sikap being responsible serta menjaga agar si anak tumbuh dengan mental yang sehat. Menurut saya pribadi, keputusan untuk memilih mengandung atau tidak, sepantasnya hak absolut bagi yang memiliki rahim, 9 bulan bukan waktu yang sebentar untuk merasakan rasa sakitnya sampai puncaknya saat melahirkan, hal itu merupakan gambaran bahwa yang berhak memutuskan untuk mempunyai anak atau tidak, merupakan hak bagi setiap perempuan, karena yang tahu mengenai badan ya perempuan itu sendiri.

      Faktor ekonomi dan sosial lah yang menjadi alasan seseorang untuk memilih childfree. Beberapa orang memiliki kekhawatiran tidak akan bisa memenuhi biaya hidup anak kelak. Sedangkan yang lainnya merasa bahwa anak hanya akan menjadi beban yang menghambat kesuksesan karirnya. Ada pula yang mengaku tidak menyukai anak-anak. Bahkan ada yang memiliki pengalaman traumatis di masa kecil hingga ia khawatir tidak akan bisa menjadi orang tua yang baik. Adapun beberapa pertimbangan yang membuat seorang individu memutuskan untuk childfree,di antaranya:

      Pertama adalah ingin fokus pada pengembangan diri, karir, atau kebebasan untuk mengejar passion dan hobi. Faktor ini juga membuat mereka tidak ingin bergantung secara finansial pada pasangannya. Selain itu, perempuan yang memilih childfree berpikir bahwa dengan tidak mempunyai anak kemungkinan akan memudahkan dalam mencapai jenjang karir yang lebih tinggi karena memiliki lebih banyak waktu dan energi untuk didedikasikan pada pekerjaan serta dapat mengurangi stres dan kecemasan terkait keseimbangan antara pekerjaan dan pengasuhan anak. Memiliki seorang anak itu juga membutuhkan waktu yang banyak sehingga jika mereka tetap berkarir, mereka tidak ingin anaknya kurang kasih sayang dan tidak terurus. Oleh karena itu, mereka memilih untuk childfree.

       Kedua adalah mengenai kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan kehamilan atau pengasuhan anak. Perempuan yang hamil memiliki risiko  terhadap berbagai jenis penyakit yang dapat  muncul, di antaranya risiko tinggi mewariskan kelainan genetik kepada anak, seperti cacat lahir dan alzheimer. Kelainan genetik tidak selalu menurun pada anak. Namun, ketika orang tua mengidap penyakit genetik dominan, maka kemungkinan anak untuk memiliki penyakit ini bisa lebih besar. Faktor lain adalah adanya penyakit keturunan serta pernah mengalami komplikasi serius saat hamil sebelumnya, seperti keguguran berulang, preeklamsia, atau persalinan prematur.

      Ketiga adalah tentang kepedulian lingkungan agar bisa mengurangi jejak karbon dan populasi manusia untuk kelestarian bumi. Menurut professor di Monash Bioethics Centre, memiliki anak , lebih sedikit dapat membantu menyelesaikan masalah ketidakadilan yang disebabkan oleh kerusakan iklim. Jika tingkat kesuburan global turun sebesar 0,5 kelahiran per perempuan, kita bisa menghemat sekitar 5,1 miliar ton karbon per tahun sampai akhir abad ini. Ini sama dengan menghemat 16% sampai 29% dari total penghematan emisi yang kita perlukan untuk menghindari bencana perubahan iklim.

      Keempat karena adanya prinsip hidup yang tidak ingin melanjutkan garis keturunan, misalnya antinatalisme. Antinatalisme adalah filosofi yang berpendapat bahwa memiliki anak secara moral salah. Pandangan utama dari antinatalisme menyatakan bahwa membawa seseorang ke dunia berarti memaksakan penderitaan ini kepada mereka,lebih baik tidak dilahirkan sama sekali daripada mengalami penderitaan hidup. Antinatalisme juga  menganggap bahwa orang tua memiliki beban moral karena  telah secara tidak adil membawa anak mereka ke dunia yang penuh penderitaan.

      Membedakan childfree sebagai tren dan pilihan hidup sangat penting. Tren mengacu pada fenomena yang bersifat sementara dan mudah terpengaruh, sedangkan pilihan hidup merupakan keputusan tetap dan berdasarkan pertimbangan matang. Childfree sebagai tren mungkin didorong oleh faktor eksternal, seperti paparan media sosial yang menampilkan gaya hidup bebas anak atau tekanan sosial dari lingkungan yang memandang childfree sebagai hal yang "keren". Di sisi lain, childfree sebagai pilihan hidup muncul dari refleksi diri yang mendalam, diskusi dengan pasangan, dan pemahaman akan konsekuensi jangka panjang. Keputusan childfree pun memiliki dampak sosial dan demografis, seperti berkurangnya angka kelahiran dan potensi menurunnya populasi usia produktif. Namun, penting untuk dicatat bahwa dampak ini dipengaruhi oleh banyak faktor lain, dan bukan semata-mata disebabkan oleh pilihan childfree.

      Selain itu, stigma bahwa tidak mempunyai anak adalah suatu kecacatan bagi perempuan dan bahwa kodrat perempuan adalah mesin yang melahirkan generasi-generasi manusia agar tidak punah masih menjangkiti pemikiran masyarakat kita. Gagasan bahwa perempuan tidak sempurna dan bahwa mereka tidak  pantas disebut perempuan kecuali mereka memiliki anak harus disingkirkan dari sistem sosial kita. Setiap orang berhak menentukan arah hidupnya sendiri, bahkan sepersekian detik sebelum tertabrak kereta. Bukan langsung menggeneralisir bahwa setiap wanita dilahirkan hanya untuk beranak-pinak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun