Sendu dan senyap menjamah tubuhku tak seperti sedia kala. Serdadu angin tiba-tiba saja mengempas setiap kali dedaunan itu gugur dari batang liuknya. Kering kerontang dedaunan terpecah menjadi serpih belulang. Hujan turun deras menampar-nampar atap gedung tanpa ampun. Masih terdengar pekik duka dari kursi paviliun ini. Katanya, ia adalah saksi bisu. Beberapa hari setelah perbincangan dengan ibu tak jumpa lagi, seringkali aku mengunjungi taman gubukku ini. Ibu telah meninggal dunia karena terjangkit penyakit mematikan. Virus-virus itu menelan dengan lembut sistem imun tubuh ibuku. Apalagi yang hendak disalahkan jika tak salah manusiawi sendiri. Barangkali saja ada yang salah dengan tabiatnya.
"Tetap saja anak haram dari ibu haram," cemoohan itu datang bak angin lantas hilang. Aku geram tatkala terdengar segelintir cemoohan dari kerabat dekatku menyempatkan diri di tengah rintik hujan menegur sapa keburukan. Mataku terbelalak tepat pada gadis itu. Dengan jantung yang terasa seperti mencelus langkahku tersaruk-saruk mengekor kerabatku itu. Aku tak ingin tahu. Ludah yang semula kutegukkan ingin terempas seperti muntahan kebencian. Mengekor dengan cepat menyelingkit hingga kerumunan para insan menghalangi pandanganku pada gadis itu. Kuurungkan niatku. Lantas bergegas kembali ke rumah menerjang derasnya hujan begitu saja sebab jam sekolahku telah tiba. Â
      "Kalau ibunya terjangkit, jelas saja anaknya juga ya, Pak? Betulkan, Nin? Pertanyaan itu mengerjapku perlahan. Tak disangka pekik tawaan menggema ruang kelas ini. Kelas matematika menyapa siangku. Tak hanya kali ini saja. Seringkali atau bahkan setiap jejak langkahku, cemoohan itu tersirat bahkan tersurat dalam perkataan mereka. Mencercaku seperti keadaan tersalah adalah aku sepenuhnya. Padahal aku tak pernah berbuat atau bahkan tega mencelakakan diriku sendiri. Meski raga adalah sakit yang dahulu tak menerpa hingga sekarang menjumpa.
      Seperti manusia penuh dosa. Padahal kesalahan tak bersumber dari diriku, tetapi ibu sendiri. Menyalahgunakan kewibawaan hingga lupa diri. Ibu seringkali bergonta-ganti pasangan semenjak kematian ayah ketika usiaku beranjak empat tahun. Aku adalah anak tunggal, ibu sering kali pergi senja pulang fajar. Kata para tetangga, ibuku murahan. Pelacur sebutnya. Rumahku bak hana. Aku seperti hidup di hutan rimba. Perhatian pun tak kunjung ada. Aku ingin hibat dari ibuku.
Sebab tabiatnya, ia terjangkit HIV-AIDShingga menurun padaku ketika usia sembilan tahun. Jarum suntik yang tak pernah lepas darinya, dengan tega disuntikkan padaku akibat guncangan jiwa yang menderanya. Mungkin saja ia takjub dengan penyakit yang divonisnya. Aku hanya diam saat itu. Â Aku yakin seorang ibu tak setega itu. Barangkali saja ibu ingin anaknya pun merasakan. Barangkali saja ibu terhampar kebingungan hingga lupa diri. Saat ia mengetahui penyakit yang dideritanya. Ia menghabiskan waktunya di gubuk kecil ini. Sehingga Ibu melampiaskannya padaku tatkala mengetahui penyakit yang divonisnya. Ternyata, beberapa tahun kemudian ibu meninggalkanku sebatang kara hingga aku lepas dari harapan semula.
      Beberapa hari kemudian setelah kematian ibu. Duka tak surut dari benakku lantas hasrat bersekolah pun sirna. Biaya entah  hinggap di mana. Sepeser pun tak ada. Cemoohan dalam keseharian menghasutku dari jiwa kebaikan. Aku bukanlah anak haram. Berulang kali aku membenarkan kata mereka. Hunus pedang laksana terbentang sepanjang jalan. Hingga kata haram itu sering kali menusuk hatiku perlahan lantas aku menangis tersedu-sedu atau bahkan menyembunyikannya dari keramaian. Terkadang biasa saja atau bahkan kemarahanku terluap bak orang gila. Manusia seperti mereka penuh dengki mengegah bahunya meludahku penuh bahari, katanya.
Hari ini awan cerah, tetapi tak secerah saat itu.
"Aninda, ini ada surat dari Waka Kesiswaan," papar Ibu Hasna wali kelasku. Ia mengunjungi istanaku. Aku menyebutnya istana walaupun seperti gubuk. Sudah tiga bulan aku tak sekolah. Awalnya dugaan telah menerka-nerka saat Ibu Hasna pertama kali mengetuk pintu gubukku. Aku pikir sekolah akan mengeluarkanku. Dugaanku benar. Ku buka perlahan amplop  coklat itu hingga selembar kertas putih bertuliskan "DropOut" terpampang jelas. Dada kuelus. Hasrat tabah tetap saja tak mampu. Sekolah juga tak mungkin menerima murid yang terjangkit HIV-AIDS, walau bukan dari ulahnya  sendiri.
Kemalasanku tak kunjung usai menerpa tubuh dari kediamanku di gubuk kecil dan taman paviliun. Aku selalu rindu  daun-daun kering yang menyaksikan kematian ibuku di taman ini. Padahal kami sedang duduk berdua berbincang tentang daun kering yang patah digerogoti musim hingga gugur lantas menjadi humus. Ibu saat itu baik-baik saja. Namun imunnya terserang dengan tega. Sehingga kematian menerpa setelah sekian lama ibu merasakan sakit dan merasakan obat-obatan yang setiap hari dijejeli ibu secara paksa.
      Daun-daun kering di tamanku ini selalu saja gugur setiap detiknya. Ibu sering kali mengelus rambutku di taman ini. Terkadang daun kering itu jatuh tepat di rambutku hingga ibu segera menyingkirkannya. Ibu sering kali mengatakan daun layu pun tanpa hujan dapat terpatah dengan tega. Gelagah pun ikut mengering ketika kematian menimpa ibu.
"Aninda, hidup tak harus semalas ini," Ibu Hasna menegaskanku. Ia adalah wanita yang sabar menghadapi murid sepertiku yang kesekian harinya menghabiskan waktu dengan lamunan membicarakan daun-daun kering saksi bisu kematian ibu akibat penyakit yang dideritanya.
"Hidup ibarat air terjun dengan kawasannya penuh bebatuan. Tuhan akan menguji seberapa kuat engkau menyingkirkannya," Ibu Hasna menyugestikanku. Ibu Hasna lantas berbicara tentang para penderita HIV-AIDS selain diriku. Banyak dari mereka mengakhiri dengan kematian sengaja dan sebagian lainnya meninggalkan suatu kebanggaan.
"Apa kamu akan menjadi salah satu dari keduanya, Nak?' papar Ibu Hasna. Penderita sepertiku seharusnya memanfaatkan waktu saat kematian belum menjumpai. Hanya gejala-gejalanya saja. Tetapi itu pun menyakitkan. Belum terhitung tekanan batinnya serta cercaan yang berulang kali datang. Ada air mata, ada sedu sedan. Kesenduan itu terlalu pilu berantai. Akan kerasnya kaki-kaki kehidupan. Batinku pilu hingga aku lupa akan garis waktu.
      "Aku hanya rindu ibu, walaupun kesalahannya menjadikanku pilu. Tetapi aku tak rindu tabiat ibu, ketika penyakit itu menjadikanku berseru," aku mengeluh padanya. Anggap saja ia adalah pengganti ibu ketika segala gundah kucurahkan padanya. Hanya ia wanita terdekat yang kumiliki sekarang.
Ibu Hasna menjawab, "Tetapi, Nak. Situasi ini jangan menggelayutkanmu pada suramnya hidup. Coba berpikir lagi ketika kamu menyisakan suatu kebanggaan tersendiri sebelum kematianmu datang,"
"Sudah beberapa tahun Aninda terserang HIV-AIDS. Setiap hari obat sudah terjejali untuk meredam sakit yang kuderita bahkan gejala-gejala seperti ruamnya kulit, kuku berjamur, mati rasanya tubuhku, rasa tidak enak pada perutku, berat badanku yang menurun telah menelaahku perlahan, Bu," rasanya keluhan itu terus menggeliat dalam pembicaraanku pada Ibu Hasna.
      Beberapa jam setelah Ibu Hasna kembali ke rumahnya.
      Aku sempat berpikir keras mengakhiri hidupku. Sendu sering kali menjajaki kehidupanku. Obat menggiurkanku untuk tak menghentikannya. Gejala yang sering kali muncul dalam sembilan tahun terakhir ini muncul dengan berbagai efek yang kurasakan. Aku berambisi untuk mengakhiri hidupku dengan cara gantung diri, menggoreskan nadi hingga putus, sengaja menabrakkan diri, menelan obat-obat yang tak sesuai dosis, atau bahkan cara lainnya yang mematikanku. Tetapi setelah Ibu Hasna menyirnakan rasa masygulku. Aku bertolak belakang. Sugesti yang selama ini diberikan memerakkan hatiku. Jati diri yang mulanya lunglai. Kujadikan kobaran tanganku merasuk menjadi wanita penuh juang. Aku ingat akan beberapa tabiat ibu dahulu sehingga aku menjadi seperti ini. Atau akan menghentikannya begitu saja? Ku buang jauh-jauh niatku itu.
      Suatu hari di keheningan malam ku tutup selak gubukku. Ku duduk di dekat jendela dan menatap rindu ibu pada kursi paviliun itu. Raga ingin cipta suatu karya. Tetapi kesakitan itu selalu saja hadir di kala niat baik merajaiku. Aku bersaksi pada malam itu. Hingga keesokan harinya akan ku buat suatu hal istimewa sebagai kado terindah untuk ibu. Aku berusaha tak acuh akan hal yang menimpaku.
      Saat fajar tiba. Suasana masih tetap sama. Namun semangatku termaktub besar dibandingkan sebelumnya. Tentu saja ada hal yang menjadi tuntutan terbaruku dalam kehidupan. Aku berpikir untuk membuat sesuatu dari kering kerontangnya dedaunan saksi itu. Kujadikan humus-humus itu menjadi sebuah pupuk yang menjadi pendukung bunga-bunga yang kutanam sejak fajar ini. Barangkali saja gubukku menjadi taman bunga. Bunga yang kutanam tak jauh dari bunga-bunga yang seringkali dibeli di pasar sekitar. Setiap hari kuhujam waktu 'tuk bersikeras menanam sesuatu sebelum waktunya tiba, kematian. Anehnya, taman ini terkesan biasa saja. Tetapi banyak sekali tetangga yang dahulu mencemoohku sebagai anak haram justru mengunjungi taman ini. Kata mereka, taman ini sangat memesona sekali. Ada suatu hal yang mencetarkan relung jiwa para pengamat ketika penanamnya adalah sang penderita HIV-AIDS yang tak pernah gubris akan vonis kehidupan yang berkurang hari demi hari.
      "Untuk apa meratapi nasib sebab penyakit ini. Toh aku telah menjadi orang baru," pikirku dalam batin.
      Beberapa hari kemudian. Saat itu aku tak mengunjungi taman paviliun. Badanku terasa sakit. Untuk beranjak dari tempat tidur pun tak bisa. Bahkan berbicara pun terasa kaku. Ku pandangi sekitar taman paviliun itu. Rupanya banyak pengunjung ingin membeli bunga-bunga yang ku jual di taman paviliun ini. Satu persatu meneriakiku, "Aninda!" berulang kali kudengar pekik itu. Berulang kali aku berusaha menjawab panggilan itu. Apalah daya ketika tubuh tak sanggup lagi.
      Barang kali saja kupu-kupu kebaikan datang.  Barang kali saja hanya kebetulan sakit. Barang kali saja kelelahan. Barang kali saja malaikat maut datang.
"Braaakk!" kudengar pintu terdobrak oleh seseorang. Kudengar keramaian menghampiriku. Kudengar jejak kaki yang mendekatiku perlahan. Kudengar kerumunan orang mengatakanku telah tiada. Kudengar  banyak percakapan di antara mereka hingga aku tak mendengarnya lagi. Hingga suara mereka tak terjamah lagi. Aku berusaha mencerna kembali tapi bukan mereka lagi yang mendatangiku. Mataku kaku. Bahkan seperti gadis buta. Tetapi sesok lelaki berjubah putih dengan cahaya diikuti ibuku dengan lelaki berjubah hitam dari  belakang. Aku tak mengetahui keberadaanku. Tenyata aku telah tiada. Rupanya HIV AIDS yang kuderita telah merenggut nyawaku pada cahaya taman paviliun itu. Sehingga taman paviliun itu sudah tak bernyawa lagi. Ya, aku telah tiada. Bukan penghuni taman paviliun lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H