"Tapi dia kan sudah mati. Atau bahkan sekarang mayatnya sudah penuh cacing dan ulat. Itu sama saja musrik, nyembah setan."
"Kalau kau tidak mau, terserah! Mungkin besok pagi kau akan mati." Dan keesokan paginya, si lelaki ini mati saat mau mandi.Â
Hari ke-7, setelah ada dua puluh delapan laki-laki yang mati. Kuburan laki-laki tua dan buta itu dibongkar juga. Tapi mereka terkejut setengah mati, kuburan itu kosong. Jangankan mayat, seekor ulat atau cacing saja tidak ada. Membawa tanda tanya besar di kepala, orang-orang itu pulang. Dan malamnya, dua lelaki yang menggali kuburan itu tadi siang, mati bersamaan saat meneguk sisa kopi di warung seorang janda.
Karena kematian-kematian misterius itu, para lelaki menjadi sangat ketakutan. Bisa saja, nanti atau besok giliran satu di antara mereka yang mati. Para istri-istri pun menjadi cemas jika mereka menjadi janda, dan anak-anak menjadi yatim piatu.Â
Rupanya, kutukan kematian tersebut juga melanda di kampung sebelah. Lalu di kampung sebelahnya lagi. Sebelahnya lagi, sampai ke kampung seberang. Jika keadaan terus seperti ini, negeri mereka akan menjadi negeri tanpa lelaki. Lalu bagaimana cara berkembang biak?
***
Hari ke-21, kutukan kematian ini menjadi sumber malapetaka yang menyedihkan. Aktifitas yang dikerjakan oleh para lelaki一khususnya, lumpuh total. Sopir angkot, tukang ojek, satpam toko-toko perbelanjaan, preman, tukang copet, sampai tukang begal yang biasanya tak segan-segan mengalungkan senjata tajam pada korban. Semua memilih untuk mencari aman menyembunyikan nyawa masing-masing. Atau setidaknya mencari tempat mati yang nyaman.Â
Seperti bau bangkai tikus di pojokan langit-langit kamar yang mudah menyebar melalui celah angin yang pecah, menembus lubang-lubang dingin membekukan pernapasan. Kutukan ini akhirnya sampai ke hidung para penguasa negeri.
"Kita harus bertindak!" ucap salah satu menteri di ruang sidang.
"Apa yang bisa kita lakukan, sementara penyebab kematian-kematian itu sendiri kita tidak tahu?" Menteri lain berkomentar.
"Kita harus  melindungi rakyat!"