Mohon tunggu...
Zahra Vee
Zahra Vee Mohon Tunggu... -

Nasib kita ialah akibat, tidak semata menunjuk pada takdir. Karena kita adalah sebab. Blog pribadi: bilikzahra.WordPress.com zahra2508.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kutunggu Jandamu

6 Maret 2016   16:21 Diperbarui: 6 Maret 2016   21:53 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

; Kisah Cinta Diam-diam Seorang Sipir

 

'Bukankah sebuah dosa mencintai perempuan yang sudah bersuami?'

 

**

Perempuan itu datang lagi. Seperti biasa. Setiap satu minggu sekali. Tidak pernah telat. Tidak pernah tidak. Dengan mimik muka yang sama—senyum yang berusaha ia ciptakan menghiasi langit-langit wajahnya. Menutupi mendung hitam yang mencoba ia sembunyikan. Dan di tangan kanan perempuan itu, selalu tergenggam tas berwarna biru berisi rantang makanan. 

Selalu begitu. Berulang-ulang. Selama hampir enam bulan terakhir. 

Aku hanya sekilas melihat perempuan itu lewat. Menundukkan kepala, tersenyum datar. Tanpa ekspresi yang berlebihan ketika menyapaku—jadwal kerjaku. 

 Bukankah sebuah hal yang biasa, keluarga napi datang untuk menjenguk sanak keluarga, teman, atau kerabat yang menjadi penghuni rumah tahanan?

Aku menjadi sipir sudah empat tahun. Menjadi pengawas, teman bicara, bahkan menjadi orang yang mencoba mengerti psikologis mereka atas tekanan hidup di dalam jeruji besi. Berusaha mendekati mereka dengan tindak dan input positif, agar secara mental menjadikan mereka lebih baik.

Seiring waktu berjalan. Sesering aku melihat perempuan itu. Perasaan aneh ini tiba-tiba ada begitu saja. Perasaan yang entah apa. 

Melihat perempuan yang selalu membalut kepala dengan kain hijab itu datang, seperti ada sebuah kebahagiaan yang melintas. Bahkan mendapat senyuman datarnya saja, serasa mendapat keindahan dunia yang teramat mahal. Senyuman yang pada setiap malam, serupa mimpi-mimpi yang selalu menghiasi tidurku. 

Perasaan apakah ini, Gusti?

Seperti ada sebuah kekaguman dalam hati. Simpati. Hingga beranak menjadi rasa ingin menjaga, melindungi..., saat tahu betapa mulianya hati yang ia miliki. 

Dan perasaan aneh inilah, yang begitu memaksaku untuk terus mencari tahu. Siapa perempuan itu sebenarnya?

Namanya Nur Safitri. Perempuan berusia 24 tahun itu adalah seorang istri dari salah satu napi penghuni rumah tahanan tempatku bekerja, Sarjono. Seorang gembong narkoba yang telah terbukti menyelundupkan barang-barang haram tersebut, dan dijatuhi hukuman mati. 

Nur menikah karena dipaksa oleh orang tua—menurut informasi yang kudapat dari beberapa tetangga rumahnya. Dengan sebuah alasan klasik, melunasi hutang keluarga. Sebagai seorang anak, tak ada kebahagiaan yang lebih berharga selain melihat kedua orang tua bahagia. Meski kebahagiaan itu harus dibayar dengan keterpaksaan. Terlebih Nur yang tahu siapa itu Sarjono. Tak lebih hanya lelaki yang suka ganti-ganti perempuan, mabuk serta judi. Namun bakti tetaplah bakti. 

 Pernikahan Nur sudah berjalan hampir satu tahun. Pernikahan yang tak pernah menemukan kebahagiaan atas cinta—mungkin, karena hanya Nur saja yang tahu. 

Hingga pada enam bulan yang lalu, aksi penyelundupan narkoba oleh Sarjono tertangkap ketika hendak menerbangkannya lewat Bandara Juanda. Dan ia dijatuhi hukuman mati.

Nur selalu datang. Membawa senyuman untuk Sarjono. Meski sikap Sarjono pada Nur tak pernah berubah. Tak acuh. Tak peduli. Bahkan sering laki-laki berbadan gempal itu memaki-maki Nur, mengatai dia perempuan goblok. Perempuan pembawa sial. Nur tak pernah tidak datang. Sekalipun.

Ketaatan Nur-lah sebagai seorang istri yang begitu mengabdi kepada suami. Yang dengan setia menjenguk meski berulang kali dihina, dimaki. Dan meskii Nur juga tahu perihal hukuman mati sang suami. Namun ia tetap datang. Tetap berbuat baik kepada Sarjono. Dari alasan-alasan itulah, lambat-laun, perlahan namun pasti. Aku mulai mengagumi sosoknya. Dan diam-diam mulai mencintainya. Cinta tanpa ia tahu. Cinta yang seharusnya dosa karena ia masih berstatus sebagai istri.

Lalu siapa yang berdosa? Akukah? Cinta, atau hati?

Terkadang aku senang, saat mengingat bahwa suami Nur—Sarjono, kelak akan mendapatkan hukuman mati. Setidaknya Nur akan bebas dari status bersuaminya. Dan hal itu akan menjadi sebuah peluang bagiku. Namun terkadang aku juga begitu takut. Takut akan dosa. Yang tak hanya secara diam-diam mencintai istri orang. Namun takut jika perasaan ini hanya milikku saja. 

Aku lelaki. Ada begitu banyak pilihan dalam hidupku. Termasuk tentang perempuan. Namun tentang cinta yang benar-benar mampu menggetarkan jiwa, tak ada yang selain Nur dalam hidupku. 

Kini aku hanya bisa pasrah. Menyerahkan segala kepada Gusti. Tentang hari esok, biarlah menjadi misteri yang akan indah buatku. Bukankah jika jodoh akan bertemu juga? 

Namun semakin aku menolak perasaan ini, sketsa wajah dan senyum sederhana Nur..., serupa rembulan yang menyinari tiap kegelapan di dalam diri. Serupa hujan-hujan yang menyirami pohon ranggas. Dan pohon itu ialah aku. 

Lalu aku harus bagaimana, Gusti? Aku juga takut laknat-Mu. Haruskah aku teruskan cinta ini? 

Hingga pada sebuah kesadaran yang teramat sadar. Kuputuskan untuk mempertahankan cinta. Keputusan untuk menunggu jandanya. Menunggu rasaku menjadi halal untuknya.

Dan kali ini, salahkah keputusanku?

 

#Vee, 13 Februari 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun