"Panca" dan "sila". Dua kata yang terangkai menjadi ideologi negara Indonesia. Berasal dari bahasa Sanskerta dan terbentuk pada tanggal 1 Juni 1945. Kelima silanya berfungsi sebagai norma, jiwa, dan cita-cita bangsa Indonesia. Dijaga dengan segenap jiwa dan raga, demi keutuhan dan kesatuan bangsa.
Tiga perempat abad telah Pancasila lewati. Beberapa generasi pun telah berhasil dilalui. Layaknya manusia, Pancasila juga merasakan dampak globalisasi. Beragam perkembangan di berbagai bidang sudah terjadi, seperti teknologi dan informasi. Ditambah lagi, budaya dari berbagai arah juga telah menjelajahi negeri ini, sehingga terbentuklah akulturasi dan asimilasi.
Ketika menyebut globalisasi, tak lengkap rasanya bila tidak menyinggung salah satu generasi yang ada. Generasi yang terkenal akan berbagai ide dan inovasinya. Ya, generasi milenial namanya. Generasi Y adalah julukan lainnya. Sebutan tersebut diberikan kepada manusia yang lahir di tahun 80-an sampai 90-an, atau sebelum abad 21 tiba. Di generasi inilah, banyak kemajuan teknologi dan informasi yang tercipta.
Adalah media sosial, yang menjadi salah satu perubahan besar yang aktual di bagian teknologi. Media sosial menjadi wadah bagi manusia untuk berkomunikasi. Beratus-ratus kilometer sudah tidak menjadi pengaruh yang berarti. Bahkan komunikasi antar planet pun bukan lagi menjadi sebuah ilusi. Sebut saja Facebook yang diciptakan oleh Mark Zuckerberg sebagai alat untuk berinteraksi.Â
Lalu diikuti dengan kemunculan media serupa seperti Whatsapp, Line, dan Instagram yang menjadikan dunia komunikasi semakin bervariasi. Berkat media sosial, Indonesia menjadi lebih leluasa untuk dimasuki oleh globalisasi.
Tentu saja sebuah pertanyaan akan timbul di benak masyarakat. Apakah Pancasila-yang berusia tiga perempat abad-masih tetap diingat? Atau, Pancasila dan nilai-nilai di dalamnya telah habis terbabat? Mengingat, akibat dari globalisasi yang tidak memandang waktu dan tempat.
Mulai dari sila pertama yaitu "Ketuhanan Yang Maha Esa", hingga sila kelima yang berbunyi "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Keberhasilan atau kegagalan implementasi kelima sila tersebut dapat dilihat secara nyata. Dengan catatan, tidak ada sesuatu yang sempurna.Â
Toleransi beragama masih tetap ada, meskipun belum terlaksana sepenuhnya. Rasa kemanusiaan masih tetap aman terjaga, meskipun ada beberapa orang yang kehilangan hati nuraninya.Â
Persatuan dan kesatuan masih melekat di jiwa masyarakat Indonesia, meskipun sempat terjadi demo dan kerusuhan di berbagai area. Suara rakyat masih memiliki peran penting bagi kelangsungan bangsa, serta hak dan kewajiban masyarakat yang masih terwujud dengan semestinya.Â
Seluruh implementasi Pancasila tersebut terekam jelas di media sosial sebagai jejak digital yang sebenarnya. Seperti bumerang, keberadaan media sosial dapat menjadi bukti pengamalan Pancasila, sekaligus pengaruh buruk bagi Pancasila.
Secara tidak langsung, media sosial telah memberikan beberapa hal kepada manusia, khususnya generasi milenial, untuk dipahami. Pertama, perpindahan keyakinan tidaklah pantas untuk dicaci maki. Keyakinan adalah hak masing-masing pribadi, sehingga diperlukan adanya toleransi. Kedua, memanusiakan manusia adalah sesuatu yang penting bagi semua generasi.Â
Manusia adalah makhluk sosial yang saling memerlukan rasa kemanusiaan yang tinggi. Ketiga, persatuan dan kesatuan Indonesia yang perlu dilindungi. Elemen tersebut tentunya akan berdampak pada keutuhan negeri.Â
Keempat, musyawarah merupakan jalan terbaik dalam pengambilan kesepakatan opini. Itulah yang membedakan Indonesia dari berbagai negara di dunia ini. Kelima, keadilan sosial harus terus ditegakkan dan dijalani. Bersikap adil dan menghargai sesama akan menjadikan Indonesia lebih nyaman untuk ditinggali.
Di sisi lain, berbagai pengaruh buruk media sosial juga menggerus nilai-nilai Pancasila. Pertama, tidak sedikit orang yang menghina figur publik  yang berpindah agama. Beragam komentar pedas hingga sarkasme dilontarkan kepada mereka.
Kedua, tidak sedikit orang yang kehilangan rasa kemanusiannya, sehingga dengan mudah memberikan komentar yang tidak etis kepada sesama.Â
Ketiga, tidak sedikit orang dan/atau kelompok yang berusaha memecah belah persatuan bangsa dengan menghasut dan memanipulasi orang lain untuk mengutarakan ujaran kebencian kepada suku atau agama lainnya.Â
Keempat, tidak sedikit orang dan/atau kelompok yang tidak melibatkan suara rakyat sehingga prinsip musyawarah menjadi terbengkalai. Kelima, tidak sedikit orang yang menuntut terlalu banyak hak tetapi tidak menjalankan kewajiban secara pasti.
Keburukan dalam kehidupan adalah hal yang wajar dan tidak dapat dihilangkan dengan sempurna. Meski begitu, tetap diperlukan sebuah pedoman agar keburukan menjadi lebih sirna.
Sehingga, kebaikan akan semakin merajalela. Begitu pula dengan keberadaan Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan bernegara.Â
Pancasila berperan sebagai pembatas arus globalisasi yang derasnya tidak terkira. Kelima sila tersebut telah disusun sedemikian rupa sehingga akan selalu relevan dengan berbagai generasi yang ada.Â
Pancasila bukanlah sebuah penjara yang membatasi warganya dari dunia luar, tetapi Pancasila adalah pagar yang melindungi identitas asli warga negara Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H