Wajah demokrasi Indonesia kembali tercoreng. Kasus korupsi yang melibatkan seorang mantan calon legislator Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Harun Masiku, menggambarkan kebobrokan yang menggerogoti sistem politik dan pemerintahan, yang bahkan telah menjadi bagian dari kebiasaan 'masyarakat' Indonesia.
Bermula dari munculnya dugaan Harun Masiku melakukan penyuapan kepada komisioner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, untuk menjadikannya anggota DPR RI melalui mekanisme antar waktu (PAW). Penyuapan yang dilakukan oleh Harun diduga untuk mengamankan namanya dalam daftar caleg PDIP di daerah DKI Jakarta, setelah meninggalkan posisi di parlemen. Dalam kasus ini, tercipta dua isu yang menjadi sorotan, yaitu maraknya politik uang dan hancurnya pengawasan terhadap proses demokrasi Indonesia.
Kerusakan Sistem Pemilu Oleh Korupsi
Sudah menjadi rahasia umum bahwa korupsi dalam dunia politik berakar dari adanya nafsu akan mempertahankan eksistensi dalam berkuasa, tak terkecuali politik Indonesia. Sistem pemilu yang seharusnya menjadi wadah dalam memilih wakil rakyat dengan adil dan transparan, justru sering kali disalahgunakan untuk memperkuat dan mempertahankan kekuasaan pribadi, menghancurkan proses yang seharusnya berdasarkan kehendak rakyat menjadi ajang transaksi kotor di balik layar.
Proses pemilu yang ideal untuk memilih wakil seharusnya bebas tanpa campur tangan dan tekanan dari orang lain. Namun, sengan adanya kasus Harun Masiku, sistemasi pemilu yang adil dan transparan menjadi dipertanyakan. Praktik politik uang yang menghubungkan oknum partai dengan lembaga pemilu dan pengawasan menjadi salah satu wujud dari demokrasi yang lemah.
Lemahnya Pengawasan dan Penegakan Hukum
Selain menggambarkan keserakahan individu, kasus Harun juga memunculkan pertanyaan besar tentang efektivitas sistem pengawasan dan penegakan hukum di Indonesia. Meski Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah bekerja kerass mengusut kasus-kasus korupsi, dalam kasus ini kita melihat adanya celah yang memungkinkan praktik-praktik kotor berlangsung dengan mudah.
Harun Masiku yang sempat menjadi buron setelah penetapan kasus tersangka, menunjukkan bagaimana tindakan korupsi dapat terjadi bahkan di tengah ketatnya pengawasan. Ketidakmampuan aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti kasus ini mengindikasikan adanya masalah serius dalam koordinasi dan komunikasi antar lembaga penegak hukum di Indonesia. Selain itu, kehadiran tokoh politik besar di balik kasus ini juga menambah kompleksifitas karena berkaitan dengan kepentingan politik yang bisa memengaruhi keputusan hukum.
Dampak Negatif Terhadap Publik
Korupsi yang melibatkan politisi seperti Harun Masiku bukan hanya merusak integritas partai politik, tetapi juga merusak citra lembaga legistlatif dan menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap institusi negara. Dalam demokrasi, kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin dan sistem pemerintahan sangat penting. Namun, dengan adanya kasus seperti ini, masyarakat semakin merasa bahwa para pemimpin mereka lebih memikirkan kepentingan pribadi dibanding kepentingan rakyat.
Lebih jauh lagi, korupsi dalam politik dapat menciptakan ketimpangan sosial dan ekonomi yang semakin besar. Ketika pengambilan keputusan didasarkan pada suap dan bukan pada kepentingan publik, kebijakan yang dihasilkan akan lebih menguntungkan segelintir individu.