Mohon tunggu...
Siti Zahliyatul M
Siti Zahliyatul M Mohon Tunggu... -

just a student in Thailand

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Sehari, Menyusuri Jalur Kematian bersama Sang Ular Besi

10 April 2011   14:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:56 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saiyok Namtok dan Gua Wang Badan

Kereta sampai di stasiun Saiyok, boleh dikata ini adalah akhir dari perjalanan. Lebih dari dua jam kami diberi waktu. Pertama, kami menuju Saiyok Noi Namtok atau air terjun Saiyok kecil, letaknya hanya sekitar 100 meter dari pemberhentian kereta. Sampai di depan air terjun, kami agak kecewa, airnya tak begitu jernih mungkin karena beberapa hari ini hujan. Terpaksa niat untuk berenang pun diurungkan. Akhirnya baju ganti yang sudah saya persiapkan seolah hanya penambah beban saja. Hanya beberapa saat kami di sana, mengambil gambar secukupnya. Tujuan kami berikutnya adalah sumber air terjun Saiyok, mungkin di sana kami akan menemukan air yang jernih. Untuk mencapai sumber air kami harus menaiki tangga. Sangat melelahkan, tersadarlah kami bahwa selama ini kurang exercise. Berbeda dengan Znedek, peneliti anggrek dari republik Ceko ini tak sedikit pun terlihat letih. Kaki panjangnya membuat dia bisa menaiki dua anak tangga dalam sekali langkah.

Sampai di tanah lapang, kami ditawari ojek menuju ke Gua Wang Badan. Hanya 100 bath atau 30 ribu rupiah untuk perjalanan pergi dan pulang sejauh 2,3 kilometer. Wow, tawaran menggiurkan bagi kami orang Asia, tapi tidak bagi Znedek. Akhirnya kami berenam berojek ke Gua Wang Badan sedang Znedek memilih berjalan kaki menuju ke sana. Jalanan setapak yang dilalui ternyata tidaklah mulus, naik turun, kadang juga becek sehingga sesekali tukang ojek terpaksa menggunakan kaki untuk menahan supaya motor tidak terpeleset atau oleng. Kami melewati hutan, di sepanjang perjalanan banyak kerumunan kupu-kupu beraneka warna. Sangat menggoda untuk menekan shutter kamera, tapi tidak mungkin, tak cukup waktu.

Setelah 20 menit perjalanan, sampai lah kami di dekat anak sungai yang airnya sudah mongering. Sepeda motor hanya bisa sampai di situ. Selanjutnya kami berjalan kaki ke mulut gua. Untuk mencapai gua, kami harus menaiki sebuah bukit. Memang cukup terjal, tali yang sengaja di pasang di sepanjang jalur menuju gua pun sangat membantu kami.

Hanya sepuluh menit, sampailah kami di mulut gua. Aura mistis menyeruak, seperti biasanya, patung sang Budha serta bermacam-macam persembahan tersaji di mulut gua. Kami cukup mengucapkan salam untuk “penghuni” gua. Di sana sudah siap ranger dengan lampu petromaknya. Dia menyalakan lampu petromak lalu berjalan turun ke gua, kami mengikutinya. Jalan menuju bagian dalam gua ternyata cukup sempit, terpaksa kami membungkukkan badan supaya kepala tidak terbentur bebatuan gua. Beberapa bagian jalan masuk berupa tangga, kami harus menuruni tangga tersebut, terkadang juga menaikinya. Lembabnya udara di dalam gua membuat keringat tak berhenti mengalir. Berkali-kali harus melepas kacamata, mengelapnya supaya kaca menjadi jernih.

Sampai lah kami di bagian indah dari sebuah gua. Jajaran stalaktit menggantung dari langit-langit gua. Berbeda dengan gua-gua di Jawa yang sudah diperindah dengan lampu-lampu, gua Wang Badan ini dibiarkan alami. Tak ada penerangan permanen di dalam gua, sinar yang bisa membawa kami untuk menikmati keindahan stalaktit dan stalakmit di gua ini adalah cahaya yang dibawa ranger kami. Untuk memotretnya pun kamera saya tak cukup mampu menangkap keindahannya. Kekecewaan akan air terjun yang tak seindah bayangan, terbayar oleh keperawanan gua ini.

Sebenarnya, masih ada beberapa bagian gua yang bisa dieksplorasi, tapi waktu tidak memungkinkan lagi. Akhirnya kami keluar gua dengan jalur yang sama ketika masuk. Karena menyusuri jalur yang sama, kesulitan pun terasa lebih ringan, meskipun lebih banyak jalan menanjak dan naik tangga. Waktu tempuhnya pun terasa lebih singkat. Begitu sampai di mulut gua, ternyata Znedek baru tiba. Terpaksa kami tidak menyarankan dia untuk memasuki gua. Lubang gua terlalu kecil baginya, tinggi badannya yang mencapai 196 cm pasti kesulitan untuk menuruni anak tangga yang berbelok. Dia pun berbalik arah dan kembali berjalan kaki, sedangkan kami tetap berojek ria.

Tepat pukul 2 siang kami tiba di tanah lapang, tempat tukang ojek mangkal. Sambil menunggu Znedek kembali, kami meneguk air penghilang dahaga dan beristirahat. Tak begitu lama, Znedek muncul, kami pun menuruni tangga untuk kembali ke kereta. Jalur yang sama akan dilewati kereta ini. Kesempatan untuk menggambil gambar apa-apa yang sudah terlewatkan sebelumnya.

World War II Memorial Park

Kereta berhenti di beberapa stasiun, pemberhentian yang cukup lama adalah di stasiun Kanchanaburi. Kami dipersilahkan untuk mengunjungi World War II Memorial Park. Di luar stasiun sudah ada beberapa song tew yang mengantar kami ke area pemakaman tentara sekutu yang gugur untuk membangun “Death Railway”. Karena kami tidak sempat makan siang, akhirnya kami bernegosiasi dengan supir songtew supaya bisa mengantarkan ke World War II Memorial Park and warung makan sekaligus. Hujan turun begitu lebat saat itu, sehingga kami hanya sempat mengambil gambar dari gate. Ternyata World War II Memorial Park hanya sebuah taman yang dibuat seperti pemakaman. Para tentara sekutu dan pekerja yang gugur dalam membangun “Death Railway” itu sendiri dimakamkan di tempat lain.

Kembali ke Bangkok

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun