Di antara sekian banyak fenomena politik nasional yang terjadi belakangan, sikap politik saling berseberangan antara Jokowi dan PDI-P barangkali menjadi salah satu preseden politik yang sangat langka. Dalam sejarah politik Indonesia modern, mungkin baru kali ini (momentum Pilpres 2024), seorang presiden petahana berbeda sikap dan pilihan politik dengan partai tempat ia bernaung. Jokowi secara verbal memang tidak menyatakan dukungan pada salah satu pasangan capres-cawapres tertentu. Namun demikian, dari sikap dan tindakan politik Jokowi seperti pernyataannya merestui pencalonan Gibran sebawai cawapres berpasangan dengan Prabowo dan konsolidasi dirinya dengan organisasi relawan (Projo) yang kemudian mereka mendeklarasikan dukungan kepada Prabowo-Gibran menyiratkan sebuah petunjuk  bahwa Jokowi memang berbeda jalan dan berpisah pilihan politik dengan PDI-P, partai yang selama ini telah sangat berjasa membesarkan diri Jokowi beserta anak menantunya.
Banyak yang tidak percaya hal ini akan terjadi, namun, tidak sedikit pula yang percaya bahwa Jokowi  akan berseberangan dengan PDI-P. Saya peribadi termasuk yang tidak percaya Jokowi akan mengambil sikap politik berani berlawanan dengan garis kebijakan PDI-P yang telah menetapkan dukungan kepada pasangan Ganjar-Mahfud.  Saya tidak dapat membayangkan Jokowi akan senekat itu, ia rela berhadap-hadapan dengan partai yang telah banyak berperan bagi perjalanan karier politiknya. Dan mau bagaimanapun keputusan itu benar-benar telah Jokowi ambil, ia mantap berbeda jalan politik dengan PDI-P. Tak ayal, banyak kader PDI-P yang kecewa berat dengan akrobat politik Jokowi meninggalkan PDI-P. Bahkan, Hasto Kristiyanto, Sekjen PDI-P dalam sebuah acara podcast politik, tak kuasa menahan tangis ketika menjelaskan perbedaan pilihan politik Jokowi dengan PDI-P. Bahwa PDI-P benar-benar telah ditinggalkan Jokowi.
Secara hukum, memang tidak ada yang salah dengan langkah politik Jokowi. Namun begitu, secara etika dan kepantasan, sepertinya Jokowi perlu berkontemplasi. Tidakkah pilihan politiknya mendukung Prabowo-Gibran telah melukai PDI-P? Pantaskah Jokowi memperlakukan PDI-P seperti ini di saat beberapa bulan lagi ia akan mengakhiri puncak kariernya sebagai Presiden dari PDI-P? Secara objektif, sikap politik Jokowi yang berlawanan dengan PDI-P dan mendukung pencalonan Gibran ini memicu banyak respon negatif dari pihak-pihak yang sebelumnya pro dengan Jokowi.
Begitu banyak akademisi, pakar, aktivis, dan orang-orang yang memiliki nalar politik dan sikap kritis merasa kecewa dengan Jokowi, mereka tidak menyangka Jokowi yang sebelumnya mereka perjuangkan akan seperti sekarang. Menurut mereka, Jokowi telah berubah tidak seperti Jokowi yang mereka kenal, Jokowi yang sekarang menurut mereka adalah Jokowi yang beriorientasi kekuasaan, mengabaikan etika politik demi terwujudnya dinasti politik Jokowi.Â
Dalam perjalanannya, sejarah membuktikan bahwa pencalonan Gibran, Â anak kandung Jokowi ternyata cacat etik karena adik ipar Jokowi bernama Anwar usman terlibat konflik kepentingan lantaran ikut memutus perkara gugatan uji materi batas usia capres-cawapres yang seharusnya secara norma hukum peradilan ia tidak boleh terlibat karena yang diputus adalah menyangkut peluang seseorang yang memiliki kedekatan keluarga dengannya sehingga oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang bersangkutan diberhentikan dari posisi Ketua Mahkamah Konstitusi serta dilarang mengadili perkara Pemilu 2024 dalam semua tingkatan (pileg dan pilpres). (Sumber)
Anggapan analis dan pengamat politik yang memprediksi Jokowi tidak  mungkin bersikap diametral dengan PDI-P ternyata salah. Sebelumnya mereka memberikan analisis, tidak mungkin Jokowi mengorbankan hubungan baiknya dengan PDI-P hanya untuk mendukung Prabowo yang ternyata berhasil membujuk Jokowi merestui Gibran menjadi cawapresnya. Ternyata, semua premis pengamat meleset.Â
Fakta menunjukkan Jokowi kini berada di barisan pasangan Prabowo-Gibran, tidak berada di kubu Ganjar-Mahfud. Bagi penulis, ini anomali politik yang sangat tidak biasa, sungguh-sungguh di luar kalkulasi akal sehat. Â Jokowi rela relasi politiknya dengan Megawati, Ketua PDI-P berjarak dan bahkan kini Megawati dan PDI-P cenderung konfrontatif terhadap Jokowi. Dalam beberapa kesempatan terbuka misalnya, Puan Maharani, Ketua DPP PDI-P membakar semangat kader dan simpatisan PDI-P agar terus bersemangat memenangkan Ganjar-Mahud dan bersikap militan menghadapi mantan kawan yang kini menjadi lawan. Bahkan, Megawati mengekspresikan rasa jengkelnya kepada pihak penguasa yang dinilainya bersikap seperti Orde Baru. Megawati jengkel karena dirinya merasa tidak dihormati dan munculnya perlakuan intimidatif yang dilakukan penguasa.
Kader PDI-P lainnya seperti Adian Napitulu dan Hasto Kristiyanto juga mengungkap perubahan sikap politik Jokowi terjadi karena harapannya agar masa jabatan presiden bisa diperpanjang tiga periode tidak dituruti PDI-P sehingga Jokowi menerima sikap penolakan ini namun ia berharap kekuasaannya kelak dapat diteruskan oleh anak kandungnya meski dalam prosesnya ada hal etik yang diterabas adik ipar Jokowi serta mengorbankan hubungan baik dengan PDI-P.
Kekuasaan terbukti menjadikan orang lupa bahkan tidak sadarkan diri ihwal dampak negatif yang akan ditimbulkan dari suatu sikap politik yang diambilnya. Jokowi termasuk di dalamnya. Kini ia masa bodoh dengan sikapnya mendukung dan merestui Gibran berpasangan dengan Prabowo di Pilpres 2024. Ia juga tidak mau ambil pusing terkait hubungannya dengan PDI-P, partai tempat ia berproses menempa karier politik selama 18 tahun terakhir. Ironisnya, semua ini terjadi menjelang Jokowi akan purna tugas. Seyogianya Jokowi dapat menutup masa bakti kepresidenannya dengan baik, jauh dari polemik, kontroversi, dan hubungan yang tidak harmonis dengan PDI-P. Namun, apa mau dikata, politik kekuasaan menghalangi itu semua. Jokowi lebih memilih hubungannya dengan PDI-P retak daripada pasangan jagoannya di Pilpres 2024 (Prabowo-Gibran) tidak terwujud dan gagal maju di Pilpres 2024.
Demikian narasi singkat tentang Jokowi menjelang beberapa bulan lagi akan purna dari tugas sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Fenomena yang ditampilkannya telah menegaskan bahwa beginilah kondisi rill demokrasi dan politik nasional Indonesia dewasa ini. Selebihnya silakan simpulkan sendiri!