Mohon tunggu...
Moh Zahirul Alim
Moh Zahirul Alim Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati sosial, politik, pendidikan sekaligus pemilik blog www.paradigmabintang.com

Pemerhati sosial, politik, pendidikan sekaligus pemilik blog www.paradigmabintang.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perang Rusia-Ukraina dan Pentingnya Bernalar Sehat

14 April 2023   04:04 Diperbarui: 14 April 2023   04:07 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: wikipedia free picture

Beberapa waktu terakhir saya menahan diri untuk tidak menulis tentang perang Rusia-Ukraina karena saat pertama kali saya mencoba menulis khusus tentang hal tersebut dan mempostingnya di blog pribadi saya langsung disurati Google dan mengancam akan membekukan postingan di blog saya. Menurut Google, saya berpihak pada Rusia yang dianggap Google sebagai musuh bersama yang harus dilawan. Okelah saya turuti kemauan Google, postingan yang telah tayang saya hapus. Pertanyaannya, bagaimana jika sekarang saya menulis lagi tentang perang Rusia-Ukraina? Apakah masih akan disomasi Google? Kita lihat saja setelah ini.

Saya ingin menyampaikan bahwa perang Rusia-Ukraina tidak berdiri sendiri. Perang dua negara yang pernah bersatu tersebut jika dianalisis secara jernih sungguh sangat pelik. Pemicu dasarnya adalah rasa tidak nyaman Rusia terhadap Ukraina dan negara-negara Barat yang terus memprovokasi Rusia dengan perluasaan keanggotaan NATO ke negara-negara Eropa Timur eks Uni Soviet. Ukraina bahkan dijanjikan akan menjadi anggota NATO dalam KTT NATO di Bucharest, Romania tahun 2008. Janji surga akan dijadikan sebagai anggota NATO inilah yang membuat Ukraina lebih nyaman bergaul dengan negara-negara Barat daripada dengan Rusia. Ukraina bahkan membuat langkah-langkah taktis agar segera menjadi anggota NATO. Tidak sekadar ingin menjadi anggota NATO, Ukraina rupanya juga berambisi menjadi anggota Uni Eropa, sebuah blok kerja sama ekonomi politik negara-negara Eropa.

Dilihat dari kacamata Ukraina, memang tidak ada yang salah dengan semua manuver yang dilakukan Ukraina. Namun, akan berbeda jika dilihat dari kacamata Rusia, pewaris puing-puing kebesaran Uni Soviet. Bagaimanapun, dalam perspektif Rusia utamanya dalam sudut pandang Presiden Rusia, Vladimir Putin, Ukraina masih dianggap satu identitas dengan Rusia sehingga Rusia tidak rela Ukraina lebih dekat ke Barat serta berapling meninggalkan Rusia. Dalam pengakuannya di artikel yang ditulis panjang lebar berjudul "On the Historical Unity of Russians and Ukrainians", Putin mengidentifikasi Ukraina sebagai saudara Rusia dan ia bertekad akan mengembalikan kejayaan Uni Soviet yang keruntuhannya ia anggap sebagai tragedi geopolitik terbesar di abad ke-20. Salah satu Langkah nyata yang dilakukan Putin untuk mewujudkan ambisi mengembalikan kejayaan Uni Soviet adalah dengan melindungi Ukraina tidak menjadi anggota NATO apa pun caranya. Hal ini cukup beralasan, secara strategis, Ukraina adalah negara penyangga, halaman belakang Rusia yang menjadi vital bagi pertahanan dan keamanan Rusia.

Apa jadinya jika Ukraina menjadi anggota NATO? Tentu akan memungkinkan segala logistik persenjataan seperti nuklir dan personil militer negara-negara NATO bisa leluasa berada di wilayah Ukraina. Hal inilah yang dianggap oleh Rusia sebagai ancaman terhadap kedaulatan mereka. Rusia tidak mau diusik oleh NATO. Kalau dinalar masuk akal juga, analoginya,, bagaimana perasaan Amerika Serikat jika seumpama Meksiko beraliansi dengan Rusia dan Rusia menempatkan pangkalan militernya di wilayah Meksiko yang notabene merupakan negara penyangga Amerika Serikat? Pasti Amerika Serikat akan merasa tidak nyaman juga. Inilah yang dirasakan Rusia selama bertahun-tahun. Rasa ketidaknyamanan Rusia ini menemukan momentum ketika pada akhirnya Rusia menerima permintaan tolong dari para pemberontak di Luhansk dan Donetsk, dua wilayah di Ukraina yang ingin memerdekakan diri dari Ukraina yang diwujudkan dengan dimulainya operasi militer khusus Rusia ke Ukraina pada 24 Februari 2022.

Semenjak invasi resmi dilancarkan Rusia terhadap Ukraina hingga kini negara-negara Barat pro-Ukraina ramai-ramai menjatuhkan sanksi terhadap Rusia, mulai dari sanksi ekonomi, sosial, politik hingga yang paling esktrem Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) yang berbasis di Den Haag, Belanda memerintahkan kepada negara-negara ICC agar menangkap Vladimir Putin jika ia berkunjung ke negara mereka. Namun, apakah semua hal tersebut efektif menghentikan perang Rusia terhadap Ukraina? Jawabannya, tidak. Rusia tidak mempan dengan segala sanksi negara-negara Barat. Buktinya, sampai saat ini Rusia masih survive, masih berdiri tegak sebagai negara bangsa yang berdaulat yang tidak kekurangan sedikit pun.

Mereka mungkin lupa kalau Rusia itu adalah negara berdikari yang secara fundamental ekonomi tidak bisa dibandingkan dengan negara-negara lain yang belum atau tidak berdikari karena masih harus bergantung pada bantuan lembaga dunia seperti IMF atau World Bank. Ingat, ini Rusia, bukan Sudan, bukan Afganistan, bukan Somalia, bukan pula Sri Lanka dan sebagainya. Ingat juga, Rusia bukan anggota ICC, Rusia tidak terikat dengan ICC alias terlepas dengan segala yurisdiksi ICC. Jadi jangan bermimpi mau menangkap Vladimir Putin yang dinilai sebagai penjahat perang. Kalaupun ini benar, bagaimana dengan kekejaman Israel yang sekian dekade mencaplok bumi Palestina, membunuh bangsa Palestina? Bagaimana juga dengan kezaliman Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden George Herbert Walker Bush junior yang melakukan invasi ke Afganistan tahun 2001 dan invasi ke Irak tahun 2003? Mengapa hanya kepada Rusia ICC bersikap beringas namun tidak kepada Israel dan Amerika Serikat? Nalar sehat tentu akan meminta ICC tidak memainkan standar ganda agar dunia benar-benar adil dan berimbang. Dunia tidak saja dimiliki oleh negara-negara Barat sehingga selain negara-negara Barat akan diperlakukan seenaknya. Hal-hal seperti ini yang perlu dikritisi untuk memastikan bahwa keadilan sosial bagi penghuni bumi itu benar-benar ada dan tatanan dunia tidak hanya dimiliki atau dimonopoli oleh Barat. Mari bernalar sehat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun